Kemerosotan
Intelektual Mahasiswa,
Praktek
Pendisiplinan Manusia,
dan
Produksi Pengetahuan Secara Otonom
Regit Ageng Sulistyo ; Ketua Umum Aliansi Pemuda Pekerja Indonesia
(APPI); Periset Analis di Purusha Research Cooperative
|
INDOPROGRESS, 19 Januari 2015
AURA Tahun
Baru masih meliputi diri saya ketika membaca tulisan Yoga Prayoga yang
berjudul Mahasiswa, Lembaga Bimbel, dan Menteri Pendidikan di Harian
IndoPROGRESS pada 2 Januari 2015. Dalam artikel tersebut beliau mempersoalkan
Bimbel sebagai salah satu penyebab kemerosotan intelektual mahasiswa. Di
mana, dengan pola pendidikan hari ini yang mengedepankan hasil,
lembaga-lembaga Bimbel banyak bermunculan seraya menawarkan cara-cara praktis
untuk bisa memecahkan soal-soal demi kelulusan dan demi masuk ke
universitas-universitas ternama; dan cara-cara praktis ini pun terbawa ketika
sang mahasiswa telah duduk di bangku kampus.
Namun, sejauh
yang saya amati, realita tentang kemerosotan intelektual mahasiswa terjadi
tidak hanya pada universitas-universitas yang banyak dihuni oleh para
mahasiswa hasil bimbel. Bahwa budaya praktis dan jalan pintas ini juga
terjadi di universitas-universitas yang tidak mengharuskan para calon
mahasiswanya untuk memiliki passing-grade yang tinggi (baca: Universitas
Swasta). Karena itu, agaknya kemunculan lembaga-lembaga bimbel tidak dapat
dijadikan satu-satunya faktor yang menyebabkan merosotnya intelektual
mahasiswa. Pun, sejauh yang saya amati, kemerosotan intelektual mahasiswa
dalam hal ini terjadi bukan hanya karena mahasiswanya saja yang terbawa pola
berpikir praktis – yang dihadirkanYoga Prayoga sebagai subyek yang ‘sakit.’
Agaknya kita perlu untuk melihat konteks penciptaan budaya-praktis yang
berujung pada kemerosotan intelektual mahasiswa tersebut secara lebih
menyeluruh.
Dalam hal
ini, saya kurang sepakat jika semangat Yoga Prayoga untuk ‘mengobati’
degradasi intelektual mahasiswa tersebut, lantas diletakkan pada bahu Menteri
Pendidikan Anies Baswedan, yang dinilai memiliki kompetensi di Bidang
Pendidikan. Mengapa? Karena menaruh harapan pada aparatus negara, itu sama
saja dengan mengarahkan pendidikan sejalan dengan tujuan negara saat ini,
yakni pembangunan dan pertumbuhan ekonomi! Dalam konteks pembangunan dan
pertumbuhan ekonomi, jelas bahwa ‘angka statistik’ menjadi tujuan utamanya.
Negara berkepentingan untuk mengurangi angka pengangguran, dengan jalan
menciptakan lapangan pekerjaan. Di mana syarat agar masuk ke dalam lapangan
pekerjaan tersebut adalah tingkat pendidikan dan keterampilan. Dengan arah kebijakan
pendidikan inilah, masyarakat – atau peserta didik lebih khususnya –
didisiplinkan melalui institusi pendidikan agar menjadi subyek pekerja. Maka,
dalam batas ini, pendidikan dijalankan bukan untuk memroduksi pengetahuan –
seperti yang tersirat dalam tulisan Yoga Prayoga – melainkan untuk
mendisiplinkan manusia agar menjadi subjek pekerja.
Hal ini
tampak dalam riset yang saya lakukan bersama Dodi Mantra dan Reza Istefi
tentang ‘Genealogi Outsourcing: Studi
tentang Kemunculan Mekanisme Produksi Alih Daya sebagai Ikhwal Sosial (Social
Item) dan Proses Normalisasinya di dalam Masyarakat Indonesia.’ Dari
hasil riset diketahui bahwa tiga teks utama yang menjadi landasan
penyelenggaraan pendidikan pun tercermin bahwa produksi subyek pekerja adalah
tujuan konsisten dari teknologi pendisiplinan melalui pendidikan di
Indonesia, dari awal kemerdekaan sampai dengan hari ini. Tiga teks utama ini
terdiri dari: (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950 tentang Dasar-Dasar
Pendidikan dan Pengadjaran Disekolah; (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989
tentang Sistem Pendidikan Nasional; dan (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Dalam bagian
Penjelasan Pasal 7 Ayat 3 Bab V tentang Djenis Pendidikan dan Pengadjaran dan
Maksudnja, UU No. 4 Tahun 1950, tampak jelas bahwa: “…jang kita utamakan sekarang ialah pendidikan orang-orang jang dapat
bekerdja. Baik sekolah menengah umum maupun sekolah menengah vak kedua-duanja
bertudjuan mendidik tenaga-tenaga ahli jang dapat menunaikan kewadjibannja terhadap
Negara…” Pengutamaan pada pendidikan orang-orang yang dapat bekerja ini
muncul dikarenakan pada saat itu terdapat perbedaan mendasar antara
pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan. Di mana, sekolah
menengah umum pada masa sebelumnya lebih menekankan pada pelajaran-pelajaran
teoritis dan mempersiapkan pelajar-pelajar untuk masuk ke perguruan tinggi.
Sementara, sekolah menengah kejuruan bertujuan mendidik tenaga-tenaga dengan
keahlian untuk berbagai macam pekerjaan. Peluang bagi lulusan sekolah
menengah kejuruan pada saat itu untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang
lebih tinggi sangat kecil, sehingga banyak yang lebih memilih sekolah umum
supaya dapat melanjutkan pendidikan. Dampaknya, pada masa itu perhatian
terhadap sekolah menengah kejuruan kurang, sehingga terjadi kekurangan
tenaga-tenaga ahli yang berketerampilan dan dibutuhkan dalam pembangunan
negara. Sehingga, melalui UU No. 4 Tahun 1950, sistem ini ditinggalkan, dan
digantikan dengan sistem pendidikan yang lebih mengutamakan keahlian kerja
sebagai hasilnya.
Dalam UU No.
2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional kita dapat lihat juga
keberlanjutan logika di mana jenjang pendidikan menengah diarahkan untuk
menciptakan subyek yang langsung dapat bekerja sekaligus juga dapat
melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi. Terlebih lagi, pada masa itu
industrialisasi menjadi orientasi utama dalam Pemerintahan Orde Baru. Hal ini
secara eksplisit tercantum dalam Pasal 15 Ayat (1) UU No. 2 Tahun 1989, yang
berbunyi: “Pendidikan menengah
diselenggarakan untuk melanjutkan dan meluaskan pendidikan dasar serta
menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan
mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya dan alam
sekitar serta dapat mengembangkan kemampuan lebih lanjut dalam dunia kerja
atau pendidikan tinggi,.”
Begitu pula
dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, di mana dalam
Bab X tentang Kurikulum, secara eksplisit tercantum bahwa sebagai bingkai
teknis penyelenggaraan pendidikan, kurikulum dikembangkan dengan
memperhatikan salah satunya adalah tuntutan dunia kerja. Yang menarik, terdapat perbedaan yang saya
kira cukup mendasar dalam Bagian tentang Pendidikan Tinggi. Di mana, dalam UU
No. 2 Tahun 1989 tercantum bahwa: “Pendidikan
Tinggi merupakan kelanjutan pendidikan menengah yang diselenggarakan untuk
menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan
akademik dan/atau professional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau
menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian.” Sedangkan, dalam UU No. 20 Tahun 2003: “Pendidikan tinggi merupakan jenjang
pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan
diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doctor yang diselenggarakan oleh
perguruan tinggi.” Tampak jelas
bahwa peran pendidikan sebagai suatu upaya untuk menciptakan ilmu pengetahuan
– yang masih tercantum dalam UU No. 2 Tahun 1989 – dihilangkan untuk kemudian
didefinisikan semata hanya sebagai jenjang pendidikan setelah jenjang
pendidikan menengah.
Dari sini,
jelas bahwa ketika berbicara negara, maka apa yang menjadi tujuan utamanya
adalah bagaimana meningkatkan angka pertumbuhan ekonomi dengan jalan
menciptakan subyek pekerja. Bahkan sedari Republik ini terbentuk – tampak
dalam UU No. 4 Tahun 1950 – pendidikan memang dihadirkan untuk mendisiplinkan
masyarakat agar menjadi subyek pekerja. Sehingga, secakap apapun kompetensi
yang dimiliki Menteri Pendidikan untuk menyelenggarakan pendidikan dengan
sebaik-baiknya, saya kira, akan kembali pada tujuan utama negara seperti di
atas.
Terlebih,
negara dibangun berdasarkan arah kebijakan partai pemenang Pemilu beserta
dengan koalisinya. Apa yang menjadi kebijakan Para Pembantu Presiden, saya
kira, juga tidak dapat lepas dari apa yang sudah digariskan partai pemenang
pemilu. Jadi, walaupun kali ini Menteri Pendidikan – seperti yang Yoga
Prayoga ungkapkan – dipilih bukan karena faktor kedekatan – walaupun kita
juga tahu Anies merupakan Juru Bicara Jokowi sewaktu maju sebagai Capres
Pilpres 2014 – dan juga bukan karena faktor partai; namun apa yang akan
menjadi kebijakannya ke depan tentu tidak bisa tidak berhaluan pada
kepentingan partai pemenang pemilu.
Dalam batas
ini, jika yang dimaksud Yoga Prayoga tentang ‘orang-orang berpotensi so good’
adalah orang-orang yang mampu memroduksi pengetahuan secara otonom, maka
pendidikan dalam hal ini pun harus diarahkan ke sana. Yakni bagaimana
menciptakan subjek yang mampu memroduksi ilmu pengetahuan yang didasari atas
problem-problem yang dihadapi masyarakat; subjek yang mampu mengabdikan
dirinya di tengah masyarakat, dengan basis riset yang ia lakukan atas
problem-problem yang ada di lapangan. Hanya dengan jalan ini, saya kira, akan
muncul banyak M. Kasim Arifin baru yang mampu berdikari membangun perubahan.
Dan, ketika
produksi ilmu pengetahuan ditujukan untuk mengatasi problem-problem yang ada
di masyarakat, maka pembangunan dunia pendidikan yang ditujukan untuk
mewujudkan hal tersebut hanya dapat diwujudkan melalui koperasi. Mengapa?
Karena kontrol bagaimana arah pendidikan dibangun ada di tangan masyarakat,
sebagai pemilik lembaga pendidikan yang bernaung di bawah koperasi.
Masyarakat atau lebih khususnya anggota koperasi lah, yang menentukan
bagaimana pengorganisasian lembaga pendidikan tersebut dan bagaimana pola
produksi pengetahuan yang dibentuk. Dalam koperasi pendidikan ini,
pengetahuan tidak lagi dipandang semata sebagai komoditas yang
diperjual-belikan – seperti layaknya bimbel – melainkan sebagai aset/sumber
daya yang dibagikan kepada para peserta didik agar menjadi modal sosial yang
mampu mengatasi kebuntuan imajinasi atas alternatif sistem hari ini dan mampu
menelurkan pemodelan yang berbasis pada riset-riset transformatif.
Saya kira,
hanya dengan jalan ini lah apa yang tersirat dalam tulisan Yoga Prayoga dapat
terwujud: yakni lahirnya golongan cerdik pandai yang memiliki gelora
idealisme. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar