Menghidupkan
Demokrasi Demokrat
Gede Pasek Suardika ; Kader Partai Demokrat,
Anggota Dewan Perwakilan Daerah
|
KORAN
SINDO, 06 Januari 2015
Membangun
budaya demokrasi itu tidak mudah. Cendekiawan Nurcholish Madjid pernah
mengatakan bahwa membangun demokrasi dapat memakan waktu lebih satu generasi
dan prosesnya juga rumit, ibarat naik ke puncak gedung pencakar langit
melalui tangga biasa.
Terkadang
kita demikian mudah mengucap demokrasi, memberi nama demokrasi kepada
lembaga-lembaga yang kita dirikan agar tampak gagah dan modern, tetapi abai
dalam menerapkan nilai-nilainya. Di masa lalu, dalam perjalanan sejarah
bangsa kita, muncul berbagai penamaan sistem demokrasi.
Ada demokrasi
terpimpin, demokrasi Pancasila yang hampir keseluruhannya hanyalah
otoritarianisme berjubah demokrasi. Dalam kondisi kita hari ini, dengan
sistem demokrasi multipartai, partai politik merupakan organisasi terbesar kedua
setelah negara. Partai menjadi pertaruhan keberlangsungan demokrasi kita hari
ini dan di masa depan.
Tanggung
jawab partai politik dalam membangun demokrasi di Indonesia sangat besar.
Untuk dapat berkontribusi membangun demokrasi di level kebangsaan dan
kenegaraan, partai politik dituntut mampu menyelenggarakan demokrasi di
lingkup internalnya. Sebab bagaimana mungkin dapat menularkan ke luar jika di
partai sendiri masih bermasalah.
Potret
kepartaian kita secara umum memiliki kecenderungan memunggungi kepentingan
publik atau sekurang-kurangnya tidak responsif terhadap kepentingan publik.
Partai terjebak dalam urusan internalnya akibat elite oligarkis di dalam
partai memaksakan kepentingan eksklusifnya untuk terus mendapat privilege .
Hal ini berdampak pada menguatnya antagonisme publik terhadap partai politik
DPR. Kondisi ini harus menjadi peringatan bersama para kader partai politik
di Indonesia.
SBY dan Demokrat
Sejak berdiri
tahun 2001, Partai Demokrat (PD) menempuh perjalanan yang unik dan mengejutkan.
Momen debutnya dalam Pemilu 2004 langsung mengantar partai berlambang bintang
mercy ini ke puncak kekuasaan di negeri ini, yakni terpilihnya SBY sebagai
presiden RI. Pada penampilan keduanya, Pemilu 2009, PD bahkan memenangi dua
laga sekaligus, yakni pileg dan pilpres.
Pada Kongres
II di Bandung tahun 2010, PD berhasil menggelar kongres dengan demokratis
yang memilih Anas Urbaningrum sebagai ketua umum partai politik termuda.
Inilah puncak kejayaan PD. Setiap kekuasaan ada masanya dan setiap masa ada
penguasanya, demikian pula yang terjadi dalam PD pasca-2010.
Serangan-serangan
eksternal dengan gencar menyulut simpul-simpul konflik di partai dan semuanya
pun terbakar. Semua keajaiban PD telah berakhir dan zaman normal bermula.
Figur SBY adalah figur utama yang brilian dan tidak ada bandingannya di PD.
Beliau adalah anugerah bagi partai.
Faktanya
figur SBY-lah yang membesarkan suara partai pada Pemilu 2004 dan 2009, bukan
sebaliknya. Namun, di sisi lain, dominannya figur SBY juga menyebabkan sistem
dan struktur partai tidak dapat berkembang, dikalahkan personalitas SBY.
Dalam salah satu bagian perjalanannya, mantan ketua umum Anas Urbaningrum
pernah bekerja sangat serius untuk membangun dan melembagakan ketokohan, ide,
dan pemikiran SBY agar dapat menularkan ”tuah”-nya kepada partai.
Namun upaya
ini terjegal, bahkan Anas menjadi korban dari intrik politik para Sengkuni.
Ketika SBY memutuskan untuk mengambil alih kewenangan partai yang kemudian
dikukuhkan dalam KLB PD 30-31 Maret 2013 selepas Anas Urbaningrum menyatakan
berhenti, keputusan itu dilandasi keprihatinan atas situasi darurat yang
sedang terjadi. SBY menyatakan hanya bersedia menjadi ketua umum partai
hingga mengantarkan partai ke Pemilu 2014.
Namun,
berkaca dari sejarah para pendahulu, situasi darurat adalah situasi paling
nyaman bagi sejumlah kalangan yang memiliki bakat mengail keuntungan di air
keruh masa darurat. Bagi mereka, jika diperbolehkan, situasi darurat harus
diperpanjang hingga waktu tak terhingga agar semakin banyak keuntungan
diperoleh. Kondisi inilah yang sedang terjadi di PD menjelang Kongres 2015.
SBY harus
diakui sebagai tokoh politik yang sangat hebat dalam kapasitas dan konteks
sebagai presiden Republik Indonesia. Namun dalam kapasitas dan konteks
sebagai ketua umum PD, masih terbuka ruang untuk didiskusikan dengan jernih.
Beberapa hal
yang dapat dicatat di sini adalah PD di bawah kepemimpinan SBY gagal
mempertahankan suara partai 15% dalam Pileg 2014, gagal memperjuangkan
peserta konvensi sebagai capres bahkan cawapres, gagal mengawal pilkada
langsung dalam pembahasan RUU Pilkada dengan skenario walkout yang tidak
bertanggung jawab, gagal menempatkan kader PD sebagai ketua MPR RI yang sudah
dijanjikan.
Pada
prinsipnya, PD di bawah kepemimpinan SBY gagal menempatkan siapa pun kecuali
SBY dan segelintir kerabatnya. Di lingkup internal partai berlangsung praktik
yang lebih buram. Puluhan ketua DPC dan DPD di-plt-kan dengan kesalahan
dicari-cari hanya karena mereka dianggap dekat dengan mantan ketua umum Anas
Urbaningrum.
Selepas pileg
berlangsung drama yang sungguh memalukan di mana 8 anggota DPR RI yang
terpilih secara sah dipecat oleh Mahkamah Partai tanpa alasan yang dapat
dibenarkan hanya untuk memberikan kursi mereka kepada 8 kroni besar yang
dekat dengan SBY. Dan saat ini sedang dilakukan penggalangan dukungan bermeterai
di DPC-DPC untuk mencalonkan SBY secara aklamasi dalam kongres yang
rencananya diadakan tahun 2015. Kesemua praktik buram di atas terjadi tepat
di depan hidung SBY dan dibiarkan saja terjadi.
Ikhtiar Membangun Demokrasi
Demokrasi
sejak diperkenalkan 2.500 tahun silam di Athena, Yunani, adalah ikhtiar
panjang untuk memerangi kepentingan eksklusif dan menyebarkannya kepada
publik luas. Demokrasi tidak ditujukan untuk terbangunnya poliarki sejumput
elite, kartel, atau bahkan oligarki yang menghisap habis seluruh sumber daya
untuk diri sendiri.
Apalagi hanya
untuk sekawanan Sengkuni yang berkomplot berbisik tiap malam, menjadi benalu
yang sibuk mencari keuntungan pribadi di dalam partai. SBY sebagai tokoh
utama, figur, dan guru politik bagi banyak sekali orang termasuk penulis
cukup lama dikenal sebagai tokoh demokrasi yang hari ini kesemuanya harus
beliau pertaruhkan.
Kondisi
kurang menguntungkan karena di seluruh dunia ini hanya Partai Demokrat yang
ketua umum dan sekjennya adalah bapak dan anak, belum ditambah urutan
panjang: ketua fraksi dijabat oleh anak kandung, bendahara fraksi dijabat
tetangga rumah Cikeas, dan wakil ketua DPR RI dijabat oleh adik dari adik
ipar.
Jika ingin
tetap dikenang sebagai sang demokrat, SBY semestinya berusaha lebih keras
untuk memenuhi standar demokrasi di PD. Beliau harus memberi contoh bagaimana
melaksanakan ajaran sendiri. Beliau boleh saja turut mencalonkan diri atau
dicalonkan sebagai ketua umum, tetapi harus mengikuti proses pertarungan yang
wajar, bukan membiarkan saja dagelan pengumpulan dukungan bermeterai yang
mengintimidasi DPC-DPC. Beliau wajib turut dalam ikhtiar membangun demokrasi
untuk membuktikan bahwa PD adalah partai milik rakyat Indonesia, bukan partai
milik keluarga dan tetangga. Inilah cara berdemokrasi di zaman normal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar