Bekerja
Melampaui Konstitusi
Ahmad Erani Yustika ; Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya, Direktur
Eksekutif Indef
|
KORAN
SINDO, 06 Januari 2015
Gurat
kegembiraan tersembul dari sebagian lapisan rakyat saat pelantikan presiden
dan wakil presiden yang baru, Joko Widodo-Jusuf Kalla. Mereka meyakini
pasangan tersebut bakal menaklukkan satu demi satu persoalan ekonomi yang
membelit bangsa.
Pasca-krisis
ekonomi 1997/1998, perekonomian telah kembali memperoleh keyakinan baru
setelah pertumbuhan ekonomi mencapai titik yang cukup tinggi meski belum bisa
menyamai era 1970-1990-an awal. Demikian pula penyakit laten ekonomi semacam
inflasi bisa diredam.
Namun di
balik itu tersembul aneka masalah yang tak kalah rumit seperti defisit neraca
perdagangan, ruang APBN yang sempit, mafia ekonomi yang makin kukuh, nilai
tukar yang mudah bergejolak, dan ragam patologi sosial ekonomi yang sulit
diberantas (pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan). Keadilan ekonomi
mengemuka dengan lantang karena ketimpangan kian parah. Di balik gemuruh
capaian itulah terselip harapan pemerintahan baru dapat menumpas soal itu
secara sistematis.
Instabilitas Ekonomi
Perekonomian
selama 2014 ditandai tiga hal penting. Pertama, efektivitas program-program
ekonomi sangat rendah akibat fokus pemerintah pada hajat politik yang
meletihkan. Sepanjang 2014 terdapat peristiwa pemilu legislatif dan pemilihan
presiden yang menghabiskan biaya, pikiran, waktu, dan tenaga.
Presiden dan
separuh menteri adalah figur penting di balik partai politik peserta pemilu.
Implikasinya, sebagian besar waktu mereka tercurah pada hajat politik
tersebut. Agenda-agenda ekonomi yang penting, khususnya terkait dengan
peningkatan kesejahteraan rakyat, terinterupsi. Pola ini sebetulnya bukan hal
yang baru karena selalu terjadi secara periodik dalam kurun 5 tahun sekali.
Demikian pula
problem yang selama ini banyak dikeluhkan pengusaha, seperti pembangunan
infrastruktur dan perbaikan iklim investasi, nyaris tak bergerak ke arah yang
lebih maju. Akibatnya bukan hanya peluang yang terbuang, tapi juga kesempatan
yang tak bisa diciptakan. Kedua, negara-negara yang selama ini menjadi
penyangga pokok ekonomi nasional, seperti AS, Jepang, India, China, dan
sebagian Eropa rontok satu demi satu.
Negara-negara
maju memang telah jatuh cukup lama, semenjak 2011 lalu. Namun perlambatan
ekonomi yang terjadi di India dan China telah memukul ekonomi nasional cukup
berat. Ekspor ke China dan India sulit didongkrak, sementara pemerintah tak
kuasa menahan laju impor sebab sebagian bahan baku industri berbasis dari
luar negeri. Defisit neraca perdagangan masih terjadi hingga kini, padahal
seharusnya tahun 2014 dapat dijadikan momentum pergerakan ekonomi.
Sebaliknya,
di pasar domestik struktur ekonomi juga tak kunjung membaik. Sektor industri
makin tertekan sehingga kontribusi terhadap PDB terus turun. Komoditas ekspor
masih terpaku kepada komoditas primer yang harganya murah dan fluktuatif.
Kombinasi dari situasi global dan domestik itu telah menjepit ekonomi
Indonesia.
Ketiga ,
instabilitas sektor keuangan mengemuka seiring perubahan kebijakan negara-negara
maju. Arus balik modal tiba-tiba terjadi apabila isu tapering-off AS menyembul
ke permukaan. Demikian pula hasrat The Fed untuk menaikkan tingkat suku bunga
menjadi pemicu pergerakan modal.
Faktor itu,
ditambah dengan inflasi domestik yang tak sepenuhnya bisa dimitigasi karena
kenaikan harga minyak pada Juli 2013, menyebabkan rupiah tertekan. Defisit
neraca transaksi berjalan juga melebar karena impor minyak yang naik drastis,
sementara ekspor komoditas nonmigas tidak bisa dipacu.
Para ekonom
ramai-ramai mengusulkan kenaikan harga minyak sebagai jalan pintas mengurai
persoalan tersebut. Namun kenyataan tak seindah khayalan. Ketika harga minyak
dinaikkan sekitar 30%, rupiah justru kian tertekan sebab masalahnya tak
sesederhana itu. Perkembangan terkini menunjukkan bahwa rupiah mengalami
pelemahan hingga akhir 2014.
Proyeksi Ekonomi 2015
Pada 2015
akan terdapat situasi yang berbeda ketimbang 2014. Harga minyak berada pada
zona rendah sehingga dalam banyak sisi menguntungkan pemerintah. Subsidi BBM
bisa ditekan dalam jumlah yang sangat rendah untuk memberi ruang fiskal yang
lebih besar. Dunia industri juga diuntungkan karena harga energi yang turun
akan mengurangi biaya produksi sehingga meningkatkan daya saing.
Tentu saja
sebuah kebijakan tak melulu memproduksi kelebihan, selalu ada ongkos di sisi
yang lain. Akibat kenaikan harga BBM pada 2014, inflasi pada 2015 masih akan
cukup tinggi (pada kisaran 6-7%). Pemerintah selama ini sulit mengendalikan
inflasi di bawah 5%, kecuali apabila dibantu oleh harga energi dan pangan
dunia yang rendah. Inflasi ini tentu akan menekan investasi akibat kenaikan
tingkat suku bunga.
Berita
baiknya, pembangunan infrastruktur akan dilakukan secara besar-besaran
sehingga bisa menjadi kompensasi atas kenaikan inflasi, khususnya terkait
dengan peningkatan investasi. Pada 2015 The
Fed (bank sentral AS) akan menaikkan tingkat suku bunga dan telah
mengurangi/menghentikan kebijakan quantitative
easing.
Implikasinya,
bakal terjadi potensi arus modal keluar (capital outflow ) yang lumayan besar
sehingga makin memperlemah rupiah. Pada 2015 diproyeksikan rupiah akan berada
pada kisaran Rp12.000-12.500/USD. Pertumbuhan ekonomi diperkirakan berada
pada kisaran 5,3-5,5%. Sumber pertumbuhan terpenting masih berasal dari
konsumsi (rumah tangga) dan pengeluaran pemerintah.
Investasi
sedikit mengalami kenaikan karena perbaikan iklim investasi domestik
(pembangunan infrastruktur, perizinan, dan penanganan mafia ekonomi),
sedangkan ekspor masih terus tertekan sebab pasar global yang masih lesu.
Peluang Indonesia adalah memanfaatkan pasar ekspor wilayah Amerika Latin dan
Afrika.
Di luar itu,
pengurangan impor menjadi tantangan yang menarik, salah satunya dengan cara
membangun industri yang berbasis bahan baku domestik. Namun, seperti
dipahami, ekonomi bukanlah semata proyeksi, tetapi lebih penting lagi
berbicara soal substansi yang mesti digapai.
Pertumbuhan
ekonomi yang tak terlampau tinggi itu dapat ditutup dengan pencapaian
indikator sosialekonomi berbasis konstitusi seperti penciptaan lapangan kerja
(dengan basis sektor produktif padat karya yang tak banyak menyedot kapital),
pengurangan kemiskinan yang impresif (eksekusi kebijakan reforma agraria,
percepatan pembangunan sektor maritim, dan penguatan aset/modal), dan
penanganan ketimpangan (pajak progresif, sistem jaminan sosial semesta, dan
pembalikan liberalisasi ekonomi).
Pemerintah
harus mencukupi kebutuhan dasar hidup layak: pangan, sandang, papan, kesehatan,
dan pendidikan. Apabila hal itu dapat ditambah dengan pelayanan publik yang
lengkap, indikator kuantitatif yang kerap dijadikan patokan itu tak lagi
terlalu relevan dipikirkan. Pemerintah mesti bekerja berdasarkan mandat
konstitusi tersebut, syukur bila bisa melampauinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar