Rabu, 07 Januari 2015

Menegakkan Konstitusionalisme

Menegakkan Konstitusionalisme

Janedjri M Gaffar  ;  Doktor Ilmu Hukum,
Alumnus PDIH Universitas Diponegoro, Semarang
KORAN SINDO,  06 Januari 2015

                                                                                                                       


Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan lembaga negara yang lahir dari peradaban negara-negara modern. Peradaban yang menyelaraskan prinsip demokrasi yang berpangkal pada kekuatan politik kuantitatif dengan prinsip negara hukum yang berpangkal pada kepatuhan terhadap hukum yang dibuat dan disepakati bersama secara rasional.

Penyelesaian konflik dan perbedaan tidak lagi didasarkan pada kekuasaan dan kekuatan politik, melainkan diselesaikan secara hukum yang putusannya dihormati dan dipatuhi bersama. Peradaban inilah yang melahirkan dianutnya prinsip demokrasi dan nomokrasi dalam konstitusi. Kita tentu berharap waktu demi waktu, tahun demi tahun, peradaban bangsa Indonesia semakin matang yang mendukung praktik berdemokrasi dan bernegara hukum.

Tahun 2014 telah kita lalui dan kini telah menapaki tahun 2015. Tahun 2014 merupakan tahun yang penting dan penuh dengan dinamika politik dan hukum. Apa yang telah terjadi akan menjadi landasan dan pelajaran untuk menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara di tahun 2015 ini.

Demikian pula halnya bagi MK, refleksi atas kinerja setahun yang lalu sangat penting untuk meningkatkan kinerja dalam menjalankan kewenangan konstitusional sebagai bagian dari upaya segenap komponen bangsa dalam menegakkan konstitusionalitas Indonesia. Bahkan pengalaman dan pelajaran yang didapat pada tahun 2014 telah menunjukkan kematangan peradaban bangsa Indonesia dalam menjalani kehidupan konstitusional.

Tahun 2014 bagi MK merupakan tahun penuh tantangan. Pertama , pada tahun lalu MK berada pada jalan terjal mengembalikan kepercayaan publik dari posisi di bawah nol untuk kembali menjadi lembaga peradilan yang tepercaya. Kedua, pada tahun lalu MK harus menjalankan salah satu kewenangan konstitusional memeriksa,

mengadili dan memutus perkara perselisihan hasil pemilu legislatif dan pemilu presiden (pilpres) sebagai bagian dari proses demokrasi dan ketatanegaraan Indonesia. Artinya, dalam kondisi tingkat kepercayaan yang sedang menurun, MK ditantang untuk dapat menyelesaikan tugas konstitusional yang menentukan keberlanjutan kehidupan ketatanegaraan.

Berkat dukungan masyarakat dan kerja keras bersama, MK telah berhasil menyelesaikan tugas konstitusional memeriksa, mengadili dan memutus perselisihan hasil Pemilu 2014 sebanyak 903 perkara perselisihan hasil Pemilu Legislatif dan 1 perkara perselisihan hasil Pilpres. Tercatat sebagai jumlah perkara perselisihan hasil pemilu terbanyak sepanjang sejarah berdirinya MK.

Namun catatan yang lebih penting dari keberhasilan tersebut sesungguhnya adalah bahwa bangsa Indonesia telah menunjukkan tingkat peradaban yang tinggi sebagai negara demokrasi dan nomokrasi. Kompetisi politik yang begitu kuat dan tajam, baik dalam pemilu legislatif maupun dalam pilpres berakhir dengan damai melalui putusan MK yang bersifat final dan mengikat sebagai amanat konstitusi.

Putusan MK telah mengakhiri konflik kontestasi politik dan sosial. Hal ini menunjukkan adanya penghormatan dan kepatuhan segenap warga masyarakat untuk menerima dan melaksanakan putusan MK yang sekaligus menunjukkan adanya penghormatan dan kepatuhan terhadap konstitusi.

Kepatuhan terhadap hukum dan putusan lembaga hukum inilah yang perlu dikembangkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam menegakkan konstitusionalisme Indonesia. Prinsip negara hukum atau nomokrasi tidak akan bermakna jika tidak ada penghormatan terhadap hukum dan putusan hukum.

Tanpa adanya penghormatan dan kepatuhan dengan jalan melaksanakan putusan hukum dengan penuh kesadaran, penyelenggaraan negara akan didominasi oleh pertimbangan kekuasaan dan kekuatan politik semata. Selain memutus perselisihan hasil pemilu, pada tahun 2014 MK juga melaksanakan kewenangan konstitusional memeriksa, mengadili dan memutus perkara pengujian Undang-Undang (PUU).

Sepanjang 2014, MK telah memutus sebanyak 131 perkara PUU dari 140 perkara PUU yang diregistrasi (94%). Jumlah perkara PUU yang diputus tersebut lebih banyak dibandingkan dengan jumlah perkara PUU yang diputus pada 2013, yaitu sebanyak 110 perkara. Namun, mengingat adanya sisa perkara PUU pada 2013 sebanyak 71 perkara yang persidangannya dilanjutkan pada 2014, maka sisa perkara PUU sampai dengan 31 Desember 2014 adalah sebanyak 80 perkara.

Adapun jumlah perkara PUU yang amar putusannya mengabulkan pada 2014 sebanyak 29 perkara (29%), meningkat dibandingkan dengan tahun 2013 sebanyak 26%, dan di atas rata-rata jumlah perkara yang dikabulkan oleh MK selama 11 tahun, yaitu sebanyak 22%.

Beberapa putusan perkara PUU penting yang diputus antara lain adalah putusan terkait pelaksanaan pemilu legislatif dan pilpres serentak mulai tahun 2019, putusan penafsiran persetujuan DPR dalam proses pemilihan hakim agung dan anggota KY, putusan memutus perselisihan hasil pemilihan kepala daerah bukan kewenangan MK, putusan tindak pidana perbuatan tidak menyenangkan bertentangan dengan konstitusi, dan putusan pembatalan keseluruhan UU Koperasi.

Pelaksanaan putusan MK merupakan tantangan dalam menegakkan konstitusionalisme Indonesia di masa yang akan datang karena hal itu merupakan wujud penghormatan dan kepatuhan terhadap konstitusi di satu sisi, dan di sisi lain MK tidak memiliki kekuatan untuk mengeksekusi putusan yang telah dijatuhkan.

Semuanya bergantung dan sekaligus merefleksikan kesadaran konstitusional masyarakat dan setiap penyelenggara negara. Kepatuhan dan pelaksanaan putusan MK oleh setiap lembaga negara akan memperkuat kematangan peradaban berbangsa dan bernegara yang telah ditunjukkan oleh masyarakat yang menerima dan menghormati putusan MK terkait dengan hasil pemilu legislatif dan pilpres.

Kepatuhan dan pelaksanaan putusan MK juga akan menjadi penentu keberhasilan mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara secara konstitusional. Sepanjang keberadaan MK, sebagian besar putusan MK, khususnya putusan perkara PUU, telah dilaksanakan oleh lembaga negara sesuai dengan lingkup kewenangan yang dimiliki.

Pada tahun 2014 misalnya, MK telah memutus bahwa pemilihan kepala daerah tidak termasuk bagian dari rezim pemilu sehingga kewenangan memutus perselisihan hasilnya tidak lagi menjadi bagian dari kewenangan MK. Putusan itu telah ditindaklanjuti dengan adanya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 yang kemudian dicabut dengan Perppu Nomor 1 Tahun 2014.

Kedua produk hukum tersebut memberikan kewenangan memutus perselisihan hasil pemilihan kepala daerah kepada MA. Namun ada beberapa putusan yang perlu segera didorong untuk dilaksanakan karena menentukan bangunan hukum dan ketatanegaraan demi tegaknya konstitusionalisme Indonesia.

Beberapa putusan tersebut antara lain adalah putusan terkait dengan kewenangan dan mekanisme pembentukan Undang-undang secara tripartit antara DPR, Presiden, dan DPD yang belum sepenuhnya terwadahi dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, dan DPD; putusan yang menyatakan pembatasan pengajuan Peninjauan Kembali (PK) bertentangan dengan konstitusi; putusan pelaksanaan pemilu legislatif dan pilpres serentak yang perlu ditindaklanjuti dengan pembentukan undang-undang, dan putusan mengenai UU Organisasi Kemasyarakatan yang perlu segera ditindaklanjuti dalam tingkat administrasi pemerintahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar