Menegakkan
Konstitusionalisme
Janedjri M Gaffar ; Doktor Ilmu Hukum,
Alumnus PDIH Universitas
Diponegoro, Semarang
|
KORAN
SINDO, 06 Januari 2015
Mahkamah
Konstitusi (MK) merupakan lembaga negara yang lahir dari peradaban
negara-negara modern. Peradaban yang menyelaraskan prinsip demokrasi yang
berpangkal pada kekuatan politik kuantitatif dengan prinsip negara hukum yang
berpangkal pada kepatuhan terhadap hukum yang dibuat dan disepakati bersama
secara rasional.
Penyelesaian
konflik dan perbedaan tidak lagi didasarkan pada kekuasaan dan kekuatan
politik, melainkan diselesaikan secara hukum yang putusannya dihormati dan
dipatuhi bersama. Peradaban inilah yang melahirkan dianutnya prinsip
demokrasi dan nomokrasi dalam konstitusi. Kita tentu berharap waktu demi
waktu, tahun demi tahun, peradaban bangsa Indonesia semakin matang yang
mendukung praktik berdemokrasi dan bernegara hukum.
Tahun 2014
telah kita lalui dan kini telah menapaki tahun 2015. Tahun 2014 merupakan
tahun yang penting dan penuh dengan dinamika politik dan hukum. Apa yang
telah terjadi akan menjadi landasan dan pelajaran untuk menjalani kehidupan
berbangsa dan bernegara di tahun 2015 ini.
Demikian pula
halnya bagi MK, refleksi atas kinerja setahun yang lalu sangat penting untuk
meningkatkan kinerja dalam menjalankan kewenangan konstitusional sebagai
bagian dari upaya segenap komponen bangsa dalam menegakkan konstitusionalitas
Indonesia. Bahkan pengalaman dan pelajaran yang didapat pada tahun 2014 telah
menunjukkan kematangan peradaban bangsa Indonesia dalam menjalani kehidupan
konstitusional.
Tahun 2014
bagi MK merupakan tahun penuh tantangan. Pertama , pada tahun lalu MK berada
pada jalan terjal mengembalikan kepercayaan publik dari posisi di bawah nol
untuk kembali menjadi lembaga peradilan yang tepercaya. Kedua, pada tahun
lalu MK harus menjalankan salah satu kewenangan konstitusional memeriksa,
mengadili dan
memutus perkara perselisihan hasil pemilu legislatif dan pemilu presiden
(pilpres) sebagai bagian dari proses demokrasi dan ketatanegaraan Indonesia.
Artinya, dalam kondisi tingkat kepercayaan yang sedang menurun, MK ditantang
untuk dapat menyelesaikan tugas konstitusional yang menentukan keberlanjutan
kehidupan ketatanegaraan.
Berkat
dukungan masyarakat dan kerja keras bersama, MK telah berhasil menyelesaikan
tugas konstitusional memeriksa, mengadili dan memutus perselisihan hasil
Pemilu 2014 sebanyak 903 perkara perselisihan hasil Pemilu Legislatif dan 1
perkara perselisihan hasil Pilpres. Tercatat sebagai jumlah perkara
perselisihan hasil pemilu terbanyak sepanjang sejarah berdirinya MK.
Namun catatan
yang lebih penting dari keberhasilan tersebut sesungguhnya adalah bahwa
bangsa Indonesia telah menunjukkan tingkat peradaban yang tinggi sebagai
negara demokrasi dan nomokrasi. Kompetisi politik yang begitu kuat dan tajam,
baik dalam pemilu legislatif maupun dalam pilpres berakhir dengan damai
melalui putusan MK yang bersifat final dan mengikat sebagai amanat
konstitusi.
Putusan MK
telah mengakhiri konflik kontestasi politik dan sosial. Hal ini menunjukkan
adanya penghormatan dan kepatuhan segenap warga masyarakat untuk menerima dan
melaksanakan putusan MK yang sekaligus menunjukkan adanya penghormatan dan
kepatuhan terhadap konstitusi.
Kepatuhan
terhadap hukum dan putusan lembaga hukum inilah yang perlu dikembangkan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara dalam menegakkan konstitusionalisme
Indonesia. Prinsip negara hukum atau nomokrasi tidak akan bermakna jika tidak
ada penghormatan terhadap hukum dan putusan hukum.
Tanpa adanya
penghormatan dan kepatuhan dengan jalan melaksanakan putusan hukum dengan
penuh kesadaran, penyelenggaraan negara akan didominasi oleh pertimbangan
kekuasaan dan kekuatan politik semata. Selain memutus perselisihan hasil
pemilu, pada tahun 2014 MK juga melaksanakan kewenangan konstitusional
memeriksa, mengadili dan memutus perkara pengujian Undang-Undang (PUU).
Sepanjang
2014, MK telah memutus sebanyak 131 perkara PUU dari 140 perkara PUU yang
diregistrasi (94%). Jumlah perkara PUU yang diputus tersebut lebih banyak
dibandingkan dengan jumlah perkara PUU yang diputus pada 2013, yaitu sebanyak
110 perkara. Namun, mengingat adanya sisa perkara PUU pada 2013 sebanyak 71
perkara yang persidangannya dilanjutkan pada 2014, maka sisa perkara PUU
sampai dengan 31 Desember 2014 adalah sebanyak 80 perkara.
Adapun jumlah
perkara PUU yang amar putusannya mengabulkan pada 2014 sebanyak 29 perkara
(29%), meningkat dibandingkan dengan tahun 2013 sebanyak 26%, dan di atas
rata-rata jumlah perkara yang dikabulkan oleh MK selama 11 tahun, yaitu
sebanyak 22%.
Beberapa
putusan perkara PUU penting yang diputus antara lain adalah putusan terkait
pelaksanaan pemilu legislatif dan pilpres serentak mulai tahun 2019, putusan
penafsiran persetujuan DPR dalam proses pemilihan hakim agung dan anggota KY,
putusan memutus perselisihan hasil pemilihan kepala daerah bukan kewenangan
MK, putusan tindak pidana perbuatan tidak menyenangkan bertentangan dengan
konstitusi, dan putusan pembatalan keseluruhan UU Koperasi.
Pelaksanaan
putusan MK merupakan tantangan dalam menegakkan konstitusionalisme Indonesia
di masa yang akan datang karena hal itu merupakan wujud penghormatan dan kepatuhan
terhadap konstitusi di satu sisi, dan di sisi lain MK tidak memiliki kekuatan
untuk mengeksekusi putusan yang telah dijatuhkan.
Semuanya
bergantung dan sekaligus merefleksikan kesadaran konstitusional masyarakat
dan setiap penyelenggara negara. Kepatuhan dan pelaksanaan putusan MK oleh
setiap lembaga negara akan memperkuat kematangan peradaban berbangsa dan
bernegara yang telah ditunjukkan oleh masyarakat yang menerima dan
menghormati putusan MK terkait dengan hasil pemilu legislatif dan pilpres.
Kepatuhan dan
pelaksanaan putusan MK juga akan menjadi penentu keberhasilan mewujudkan
kehidupan berbangsa dan bernegara secara konstitusional. Sepanjang keberadaan
MK, sebagian besar putusan MK, khususnya putusan perkara PUU, telah
dilaksanakan oleh lembaga negara sesuai dengan lingkup kewenangan yang
dimiliki.
Pada tahun
2014 misalnya, MK telah memutus bahwa pemilihan kepala daerah tidak termasuk
bagian dari rezim pemilu sehingga kewenangan memutus perselisihan hasilnya
tidak lagi menjadi bagian dari kewenangan MK. Putusan itu telah
ditindaklanjuti dengan adanya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 yang kemudian
dicabut dengan Perppu Nomor 1 Tahun 2014.
Kedua produk
hukum tersebut memberikan kewenangan memutus perselisihan hasil pemilihan
kepala daerah kepada MA. Namun ada beberapa putusan yang perlu segera
didorong untuk dilaksanakan karena menentukan bangunan hukum dan
ketatanegaraan demi tegaknya konstitusionalisme Indonesia.
Beberapa
putusan tersebut antara lain adalah putusan terkait dengan kewenangan dan
mekanisme pembentukan Undang-undang secara tripartit antara DPR, Presiden,
dan DPD yang belum sepenuhnya terwadahi dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2014 tentang MPR, DPR, dan DPD; putusan yang menyatakan pembatasan pengajuan
Peninjauan Kembali (PK) bertentangan dengan konstitusi; putusan pelaksanaan
pemilu legislatif dan pilpres serentak yang perlu ditindaklanjuti dengan
pembentukan undang-undang, dan putusan mengenai UU Organisasi Kemasyarakatan
yang perlu segera ditindaklanjuti dalam tingkat administrasi pemerintahan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar