Mempertanyakan
Urgensi UN 2015
Iwan Pranoto ; Guru Besar ITB
|
KOMPAS, 07 Januari 2015
MENDIKBUD
Anies Baswedan bersama Badan Standardisasi Nasional Pendidikan menyiratkan
akan menghentikan fungsi ujian nasional sebagai unsur penentu kelulusan. Walau
UN 2015 tetap akan dilaksanakan, fungsinya disepakati hanya sebagai pemetaan.
Namun, ini
memunculkan dua pertanyaan. Pertama, apakah soal ujian nasional (UN) seperti
yang lalu memang tepat sebagai alat pemetaan? Kedua, adakah urgensi
dilaksanakan UN 2015?
Fungsi UN
Ujian SIM
tentu tak digunakan untuk menyeleksi pebalap Formula 1. Tes internasional
seperti PISA (Programme for
International Student Assessment) atau TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study) tentu tak digunakan untuk menentukan juara
Olimpiade Matematika atau Sains. Demikian pula sejatinya PTN tak menggunakan
UN, yang fungsi aslinya menurut pembuatnya sebagai pemetaan, menjadi alat
seleksi mahasiswa baru.
Ada pendapat
tanpa bukti oleh pemimpin Kemdikbud terdahulu bahwa UN seperti multi-tester;
dapat mengukur apa saja, dari mengukur pencapaian dan kelulusan siswa,
keberadaan guru mata pelajaran, kompetensi guru tertentu, sampai kondisi
fasilitas sekolah. UN bak pisau lipat
tentara Swiss yang dapat menyediakan fungsi apa saja yang diminta. Dan,
dengan jurus melompat dari satu fungsi ke fungsi lain itulah taktik birokrat
UN berkelit jika ditanya apa manfaat UN.
UN terdahulu
dibanggakan fungsi utamanya sebagai alat pemetaan, kelulusan, dan seleksi
masuk PTN. Padahal, karakteristik desain soal untuk setiap fungsi itu
berbeda. Ini dapat dikenali dari sebaran hasilnya.
Sebaran hasil
ujian pemetaan idealnya berbentuk lonceng yang simetris ke kiri dan ke kanan
atau distribusi normal. Sementara sebaran hasil ujian sebagai penentu
kelulusan akan berbentuk lonceng yang gemuk di kanan, condong ke kanan.
Contohnya dalam ujian SIM sebagai alat penentu kelulusan tentu lebih banyak
peserta nilainya baik dan lulus.
Adapun
distribusi hasil ujian seleksi masuk perguruan tinggi negeri (PTN) haruslah
berbentuk lonceng yang condong ke kiri, gemuk di kiri. Artinya, murid yang
memperoleh angka tinggi tak terlalu banyak sehingga mudah diurutkan.
Misalnya, ini dapat diamati di hasil ujian SPMB dan sebelumnya. Dapat
dibayangkan betapa sulit dan besarnya galat—kekeliruan—yang terjadi jika
harus mengurutkan murid bernilai baik pada ujian yang tadinya sebagai alat
kelulusan. Ini disebabkan ujian kelulusan tak seharusnya digunakan untuk
membedakan yang sangat istimewa dan yang istimewa, atau dengan yang sekadar
lulus. Analoginya, ujian ELTS/TOEFL tidak akan mampu membedakan kepiawaian
George Orwell dengan Oscar Wilde menulis.
Sebaliknya,
soal ujian seleksi masuk PTN, seperti halnya soal kompetisi/lomba, justru
harus mampu membedakan yang paham dengan yang luar biasa istimewa pemikiran
dan kreativitasnya. Sementara soal ujian penentu kelulusan justru harus mampu
membedakan murid yang paham dan tak paham.
Dengan
mengamati hasil sebarannya, UN sampai tahun 2014 memang condong sebagai alat
penentu kelulusan. Yang lulus dan memperoleh nilai baik sangat banyak,
seperti layaknya ujian SIM. Pada UN 2014 tingkat SMA, yang lulus 99,52
persen. Terlebih lagi, kelulusan SMK sampai 99,90 persen. Bahkan di
daerah-daerah pelosok yang taraf layanan pendidikannya kurang, hasilnya tetap
bagus.
Jasa
bimbingan tes mampu membuat anak tak paham dalam beberapa bulan jadi cekatan
menjawab soal UN. Ini menunjukkan UN tak andal mengenali siswa yang tak
paham.
Artinya,
untuk alat pemetaan saja, sampai hari ini UN belum terbukti sahih dan andal,
apalagi UN sebagai alat seleksi mahasiswa baru belum ada penelitian
pendukungnya. Padahal, PTN akan mau menerima nilai UN ini jika Balitbang
Kemdikbud dan BSNP mampu menunjukkan bahwa skor UN berkorelasi dengan
performa studi di PT. Jika ini ada, barulah UN dapat digunakan untuk
memperkirakan keberhasilan mahasiswa di pendidikan tingginya.
Balitbang dan
BSNP punya tugas membuat riset ilmiah guna menunjukkan potensi UN sebagai
alat pemetaan yang berkorelasi positif dengan tes internasional seperti TIMSS
dan sekaligus berkorelasi positifdengan nilai siswa di perguruan tinggi. Yang bernilai UN baik
akan bernilai baik di PT dan yang kurang baik nilai UN-nya akan bernilai
kurang baik juga di PT.
Ciri utama
soal pemetaan yang baik harus mampu membedakan murid paham dan tidak.
Artinya, murid yang paham harus mampu menjawab benar, sedangkan yang tak
paham harus tak mampu menjawab benar. Sayangnya, soal UN Matematika yang
lalu-lalu, setidaknya, tak mampu membedakan murid paham dan tak paham. Murid
yang sekadar hafal rumus atau mampu meniru guru, walau sesungguhnya tak
paham, tetap dapat memilih jawaban benar pada kebanyakan soal UN Matematika
dan lulus.
Kemudian, isu
kecurangan terkait UN selalu jadi sorotan masyarakat dan DPR, padahal
kekacauan utama UN justru pada mutu substansi soalnya. Rendahnya mutu soal UN
serta kerapnya salah jawab dan salah pertanyaan tak pernah ditindaklanjuti
dengan serius. Penjagaan pasukan polisi dan tentara untuk meningkatkan mutu
UN seperti menjawab dengan benar pertanyaan yang salah.
Tindak lanjut
Sebuah
pepatah Inggris mengatakan, jika kita mengejar dua kelinci atau lebih, maka
tak satu pun akan didapat. Seperti itulah seharusnya Balitbang dan BSNP fokus
merancang soal UN yang andal sebagai pemetaan saja. Membuat soal ujian yang
bersifat nasional bukanlah pekerjaan remeh yang dapat dikerjakan sambil lalu
atau paruh waktu. Lembaga tes profesional memerlukan penyiapan soal sekitar tiga
tahun. Dalam selang waktu itu, soal harus diuji coba dalam berbagai keadaan,
lalu ditelaah keandalannya dan diperbaiki
terus- menerus. Balitbang dan BSNP juga setidaknya butuh tiga tahun
menyiapkan soal bermutu.
Akan tetapi,
bukankah sebenarnya data dan kajian hasil TIMSS, PISA, dan lainnya sudah
lengkap? Apalagi data dari UN yang katanya multi-tester itu tiap tahun sudah
dikumpulkan selama 10 tahun lebih. Data ini juga masih up-to-date guna
merancang kebijakan perbaikan setidaknya sampai tiga tahun ke depan. Jadi,
buat apa menghabiskan uang dan keringat lagi sekaligus menyusahkan siswa
sekadar untuk membuat evaluasi nasional dan mengumpulkan data lagi? Dunia
pendidikan kita kelebihan data, tetapi kekurangan kebijakan tindak lanjut
strategis. Sekarang justru saatnya Pusat Penelitian Kebijakan di Kemdikbud
berperan.
Dengan alasan
tersebut, tak tampak ada urgensinya UN di tahun 2015, apalagi jika semua
siswa diuji. Mungkin nanti, tahun 2018, baru diperlukan data baru dan saat
itu kita berharap Balitbang bersama BSNP sudah sanggup membuat soal UN
sebagai alat pemetaan yang andal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar