Era
Baru Subsidi
Erick Hansnata ; Peneliti Masalah Ekonomi Politik;
Kandidat Doktor University of
Canberra, Australia
|
KOMPAS, 07 Januari 2015
KEBIJAKAN
pemerintah menurunkan harga bahan bakar minyak pada awal tahun disambut
positif oleh banyak kalangan. Bukan karena konteks penurunan, melainkan
langkah berani pemerintah yang secara simultan menghapus total subsidi BBM
jenis premium. Ini merupakan langkah besar. Tren penurunan harga minyak dunia
memberikan momentum kepada pemerintah untuk mencabut kanker subsidi yang
terbukti telah menyandera proses pembangunan selama beberapa dekade dan
pemerintahan. Kebijakan ini memiliki konsekuensi, tetapi juga membuka
berbagai peluang kebijakan dalam membentuk sistem kesejahteraan rakyat.
Hal pertama dari
imbas penghapusan subsidi adalah pendekatan pemerintah dalam mendidik
masyarakat untuk beradaptasi dengan perubahan harga BBM. Penghapusan subsidi
BBM berarti pembentukan harga bergantung pada fluktuasi harga minyak dunia.
Tren penurunan saat ini harus disikapi dengan kesiapan apabila harga minyak
kembali naik. Tentu saja tantangan ini kembali pada seberapa cepat respons
pemerintah dalam membangun transportasi publik yang layak dan sistem logistik
yang efisien sehingga ketika harga BBM naik, masyarakat memiliki insentif dan
alternatif pilihan.
Respons
terhadap perubahan harga bukanlah hal buruk. Studi yang dilakukan Gillingham
(2011) menunjukkan, respons terhadap lonjakan harga BBM merupakan instrumen
yang positif bagi perilaku konsumsi
masyarakat. Seperti di negara maju yang sudah tidak ada subsidi BBM,
masyarakat akan mengubah perilaku dalam memilih moda transportasi, termasuk
alternatif yang tidak menggunakan bahan bakar. Implikasi lanjutan terhadap
pola konsumsi adalah porsi pengeluaran terhadap BBM akan turun dan
dialokasikan pada hal yang lebih produktif.
Subsidi orang, bukan barang
Penghapusan
subsidi juga merupakan kesempatan bagi pemerintah dalam membangun negara
berkesejahteraan (welfare state)
yang baru. Subsidi bukanlah hal tabu. Fawcett dkk (2010) dalam buku teks Social Policy for Social Change bahkan
menegaskan bahwa subsidi merupakan instrumen kunci dalam mendistribusi
kesejahteraan. Permasalahan mendasar selama ini adalah subsidi
didistribusikan pada barang yang tentunya tidak memiliki target spesifik,
bahkan terbukti banyak dinikmati kalangan menengah atas.
Dengan
realokasi subsidi yang besar, pemerintah memiliki banyak ruang dalam membantu
masyarakat. Tentu saja dengan konsep baru: subsidi ditujukan kepada orang
dengan syarat dan klasifikasi tertentu, bukan pada barang. Pilihan itu tidak
hanya terbatas pada bantuan sosial bagi rakyat miskin, seperti Bantuan
Langsung Tunai atau berbagai program kemiskinan, tetapi juga kepada pekerja
menengah bawah yang selama ini sangat rentan apabila terjadi guncangan dan
dapat jadi miskin.
Sebagai
contoh, pekerja dengan pendapatan minimum dan memiliki anak berhak menerima
subsidi, terutama untuk menjamin anak-anak mereka memperoleh nutrisi yang
baik dan akses pendidikan. Subsidi ini tergantung dari tingkat pendapatan
pekerja. Apabila di kemudian hari pendapatan yang bersangkutan meningkat dan
sudah di luar klasifikasi, ia tidak menerima kembali subsidi tersebut.
Konsep ini
lumrah terjadi di negara-negara maju dalam bentuk tunjangan pengasuhan anak (child care benefit). Dalam kondisi
standar upah yang tinggi, memiliki asisten rumah tangga bukanlah pilihan.
Mayoritas para pekerja kelas menengah yang memiliki anak akan menggunakan
jasa pengasuhan anak yang berbiaya besar dan pemerintah memberikan subsidi dengan
membantu biaya pengasuhan tersebut. Namun, sekali lagi, ini bergantung pada
tingkat pendapatan. Semakin tinggi tingkat pendapatan, semakin rendah bantuan
atau bahkan tidak mendapatkan sama sekali.
Contoh lain,
seperti tunjangan pengangguran (unemployment
benefit). Pemerintah menyalurkan subsidi kepada pekerja yang kehilangan
pekerjaan dalam batas waktu tertentu. Ini untuk memberikan sinyal bahwa
pemerintah hadir di tengah warganya ketika kesusahan datang. Namun, sekali
lagi, tunjangan itu memiliki batas dan—tentu saja—jadi kewajiban penerima
subsidi untuk kembali produktif.
Distribusi subsidi
Pertanyaan
selanjutnya, bagaimana pemerintah memperoleh data akurat agar alokasi subsidi
yang didistribusikan diterima oleh orang yang tepat. Seperti di beberapa
negara yang akuntabel, selain dari data dasar kependudukan, program
kesejahteraan selalu diiringi usaha untuk memperbaiki dan meningkatkan
pembayar pajak. Maka, mekanisme paling mudah dan kredibel dalam
mendistribusikan subsidi kepada warga negara adalah melalui data pembayar
pajak, atau dalam konteks Indonesia berdasarkan nomor pokok wajib pajak
(NPWP).
Dengan data
NPWP, pemerintah dapat mendeteksi tingkat pendapatan, baik secara
perseorangan maupun rumah tangga, yang kemudian dijadikan dasar dalam menentukan
penerima subsidi. Dengan demikian, pola subsidi baru dapat menjadi alat bagi
pemerintah untuk menaikkan rasio pajak yang selama ini stagnan di angka 12
persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Di lain pihak, warga negara—baik
pekerja formal maupun informal—memiliki insentif untuk segera memiliki NPWP
apabila ingin mendapatkan bantuan dari pemerintah.
Pola di atas
menunjukkan bahwa penghapusan subsidi BBM memberikan lembaran baru bagi
pemerintah dalam penerapan kebijakan yang berorientasi pada kesejahteraan
rakyat. Perubahan konsep subsidi dari barang ke orang lebih memberikan efek
kehadiran negara dalam kehidupan masyarakat. Bagi pemerintah, kebijakan ini
menjadi kesempatan dalam meningkatkan pendapatan melalui ekspansi pembayar
pajak. Secara makro, pemerintah akan mempunyai sistem fiskal dan siklus pajak
yang lebih sehat karena didistribusikan kepada rakyat yang membutuhkan.
Lebih jauh,
dalam jangka panjang, ini merupakan awal bagi pembalikan tren kesenjangan
ekonomi yang selama ini terus melebar. Tidak bisa dimungkiri, salah satu
sebab membesarnya indeks Gini dalam satu dekade terakhir dari 0,36 ke 0,41
adalah akibat porsi subsidi BBM yang terus membesar dan menyandera pemerintah
dalam distribusi kesejahteraan. Ini sudah diingatkan Stiglitz (2012) dalam
buku The Price of Inequality bahwa
salah satu penyebab kesenjangan adalah kegagalan pemerintah dalam siklus
pajak karena pendapatan negara dari pajak yang semestinya mengambil dari
kalangan atas untuk didistribusikan kepada kalangan bawah tidak terjadi.
Sebaliknya, alokasi tersebut kembali dinikmati kalangan atas dan memperlebar
kesenjangan.
Kita harus
mengapresiasi kebijakan BBM baru pemerintah. Sebuah awal yang baik pada tahun
baru 2015. Namun, seperti layaknya sebuah kapal, ia baru akan teruji apabila
badai gejolak harga minyak dunia datang, dan pada saat itulah komitmen dan
akuntabilitas pemerintah dibuktikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar