Aklamasi
Mengikis Demokrasi
Aminuddin ; Peneliti Politik di Bulaksumur Empat Jogjakarta
|
JAWA
POS, 05 Januari 2015
AKHIR-AKHIR ini
sering muncul fenomena aklamasi di partai politik (parpol). Tidak hanya
terjadi di partai yang dinotasikan sebagai partai keluarga, namun juga sudah
merebak ke sendi-sendi partai modern. Tragisnya lagi, partai muda juga
membonceng proses aklamasi dalam proses estafet kepemimpinan parpol.
Salah satu
contoh mutakhir terjadi di Partai Gerindra. Prabowo Subianto yang notabene
sebagai ketua dewan pembina partai harus turun gunung menjadi ketua umum
setelah kongres luar biasa September lalu. Begitupun halnya dengan Partai
Demokrat yang menunjuk secara aklamasi Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai
ketua umum pasca ditetapkannya Anas Urbaningrum oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) sebagai tersangka korupsi. Padahal, SBY merupakan ketua dewan
pembina dan secara ex-officio ketua
dewan kehormatan dan ketua majelis tinggi. Berita teranyar, SBY juga
digadang-gadang akan kembali menjadi ketua setelah mendapat lebih dari 80
persen dukungan.
Partai
Golongan Karya (Golkar) yang menghelat munas di Bali juga menetapkan Aburizal
Bakrie secara aklamasi sebagai ketua umum untuk yang kedua. Begitu juga
halnya dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang mengadakan muktamar di
Surabaya pada 16 Oktober 2014 dengan mendapuk Romahurmuziy sebagai ketua
umum. Tidak pelak, terjadi munas tandingan. Embrio dari munas tandingan
tersebut dengan memilih Agung Laksono sebagai ketua umum Golkar dan Djan
Faridz sebagai ketua umum PPP tandingan.
Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) pun tidak kalah. PDIP menunjuk kembali
Megawati Soekarno Putri sebagai ketua umum. Penunjukan Megawati mempertegas
bahwa PDIP sangat lekat dengan partai keluarga. Padahal, kader potensial di
PDIP cukup gemuk dengan kaum muda ’’berdarah segar’’. Sebut saja Puan
Maharani, Pramono Anung, dan Presiden Joko Widodo, serta Gubernur Jawa Tengah
Ganjar Pranowo. Namun, fakta membuktikan bahwa patronase kaum tua masih mendominasi.
Setali tiga
uang, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pun menunjuk secara aklamasi Muhaimin
Iskandar sebagai ketua umum. Bedanya, Cak Imin –demikian sapaan akrab
Muhaimin– relatif berusia muda. Itu berarti, dengan usia yang masih 48 tahun,
PKB menjadi partai yang berada di tangan kaum muda.
Kebangkrutan Parpol
Gaya aklamasi
yang akhir-akhir ini merebak semakin mengukuhkan kesimpulan tesis Herbert
Feith (1962) bahwa elite politik masih menjadi penentu kemajuan dan
kemunduran demokrasi konstitusional Indonesia serta menjembatani konflik di
internal dan kepentingan ideologis antarmereka. Kecanduan parpol terhadap
kaum tua masih menjadi fenomena. Contohnya, Golkar, PDIP, Demokrat, Gerindra,
dan PPP.
Fenomena
aklamasi menandakan bahwa parpol belum bisa menerapkan demokrasi di internal.
Alasan menjaga partai agar tidak pecah menjadi masuk akal. Namun, ketika
dominasi kaum tua menghiasi struktural parpol, itu menjadi alarm bahwa parpol
belum mampu mandiri secara regenerasi. Padahal, fenomena aklamasi menimbulkan
degradasi dan daya saing di parpol itu sendiri.
Gejala
aklamasi dimaknai sebagai kebangkrutan partai politik. Gejala kebangkrutan
parpol itu lebih disebabkan pengaruh budaya Timur seperti feodalisme yang
masih mendominasi bahwa kaum tua selalu ingin dituakan, dalam arti harus
dipatuhi tanpa otokritik. Selain itu, budaya politik patronase, senioritas,
dan top down menjadi salah satu penyebab mandeknya proses regenerasi dan
kaderisasi dalam tubuh partai (Bambang
A; 2014).
Ada beberapa
catatan yang harus direnungi ketika parpol menunjuk ketua umum secara
aklamasi. Pertama, hilangnya gagasan segar dalam membangun parpol ke depan.
Hal itu terjadi karena partai tidak menerapkan kompetisi yang sehat dalam
menawarkan program kerja. Ketua umum yang ditunjuk secara aklamasi lebih
condong kepada penyelamatan partai. Sedangkan program kerja yang diinginkan
tidak terlihat.
Kedua,
lahirnya apolitisme dan apatisme kaum muda terhadap parpol yang didominasi
kaum tua. Kaum muda menganggap parpol tersebut bukan tempat yang nyaman
karena mereka tidak diberi kesempatan untuk berkembang. Merebaknya apolitisme
dan apatisme kaum muda juga akan mengikis pilar generasi kepemimpinan. Sebab,
kaum muda merupakan pilar kaderisasi.
Orang Kuat
Aklamasi
tidak terlepas dari mitos ’’orang kuat’’ yang masih menghiasi parpol. Ketika
orang kuat muncul sebagai calon tunggal, kompetitornya disingkirkan begitu
saja. Orang kuat masih diposisikan sebagai sosok istimewa di struktural
parpol. Orang kuat bisa melakukan intimidasi dan bahkan ancaman psikologis
terhadap kader yang lain sehingga tidak berani muncul.
Bisa jadi,
orang kuat juga memanipulasi demokrasi dengan mencalonkan kader lain untuk
bersaing di pemilihan ketua umum. Tetapi, pemenangnya ditentukan sebelum
pemilihan berlangsung oleh kekuatan politik uang (money politic). Bisa juga, pesaing yang didesain sebagai
kompetitor sudah diiming-imingi posisi strategis di struktural. Alhasil,
proses demokrasi hanya menjadi simbol untuk menambal bobroknya proses
kaderisasi di parpol.
Untuk tetap
menjaga marwah meritokrasi di parpol, tidak ada cara lagi selain berbenah.
Salah satunya, memperhatikan regenerasi. Itu dapat dimulai dengan kesadaran
kaum tua untuk tidak lagi silau dengan kursi jabatan di internal parpol. Kaum
tua cukup menjadi pemantau arah demokrasi di internal. Jika itu tidak segera
dilakukan, siap-siap saja parpol hanya menjadi partai buram di Pemilu 2019. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar