Selasa, 06 Januari 2015

Aklamasi Mengikis Demokrasi

Aklamasi Mengikis Demokrasi

Aminuddin  ;  Peneliti Politik di Bulaksumur Empat Jogjakarta
JAWA POS,  05 Januari 2015

                                                                                                                       


AKHIR-AKHIR ini sering muncul fenomena aklamasi di partai politik (parpol). Tidak hanya terjadi di partai yang dinotasikan sebagai partai keluarga, namun juga sudah merebak ke sendi-sendi partai modern. Tragisnya lagi, partai muda juga membonceng proses aklamasi dalam proses estafet kepemimpinan parpol.

Salah satu contoh mutakhir terjadi di Partai Gerindra. Prabowo Subianto yang notabene sebagai ketua dewan pembina partai harus turun gunung menjadi ketua umum setelah kongres luar biasa September lalu. Begitupun halnya dengan Partai Demokrat yang menunjuk secara aklamasi Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai ketua umum pasca ditetapkannya Anas Urbaningrum oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka korupsi. Padahal, SBY merupakan ketua dewan pembina dan secara ex-officio ketua dewan kehormatan dan ketua majelis tinggi. Berita teranyar, SBY juga digadang-gadang akan kembali menjadi ketua setelah mendapat lebih dari 80 persen dukungan.

Partai Golongan Karya (Golkar) yang menghelat munas di Bali juga menetapkan Aburizal Bakrie secara aklamasi sebagai ketua umum untuk yang kedua. Begitu juga halnya dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang mengadakan muktamar di Surabaya pada 16 Oktober 2014 dengan mendapuk Romahurmuziy sebagai ketua umum. Tidak pelak, terjadi munas tandingan. Embrio dari munas tandingan tersebut dengan memilih Agung Laksono sebagai ketua umum Golkar dan Djan Faridz sebagai ketua umum PPP tandingan.

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) pun tidak kalah. PDIP menunjuk kembali Megawati Soekarno Putri sebagai ketua umum. Penunjukan Megawati mempertegas bahwa PDIP sangat lekat dengan partai keluarga. Padahal, kader potensial di PDIP cukup gemuk dengan kaum muda ’’berdarah segar’’. Sebut saja Puan Maharani, Pramono Anung, dan Presiden Joko Widodo, serta Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Namun, fakta membuktikan bahwa patronase kaum tua masih mendominasi.

Setali tiga uang, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pun menunjuk secara aklamasi Muhaimin Iskandar sebagai ketua umum. Bedanya, Cak Imin –demikian sapaan akrab Muhaimin– relatif berusia muda. Itu berarti, dengan usia yang masih 48 tahun, PKB menjadi partai yang berada di tangan kaum muda.

Kebangkrutan Parpol

Gaya aklamasi yang akhir-akhir ini merebak semakin mengukuhkan kesimpulan tesis Herbert Feith (1962) bahwa elite politik masih menjadi penentu kemajuan dan kemunduran demokrasi konstitusional Indonesia serta menjembatani konflik di internal dan kepentingan ideologis antarmereka. Kecanduan parpol terhadap kaum tua masih menjadi fenomena. Contohnya, Golkar, PDIP, Demokrat, Gerindra, dan PPP.

Fenomena aklamasi menandakan bahwa parpol belum bisa menerapkan demokrasi di internal. Alasan menjaga partai agar tidak pecah menjadi masuk akal. Namun, ketika dominasi kaum tua menghiasi struktural parpol, itu menjadi alarm bahwa parpol belum mampu mandiri secara regenerasi. Padahal, fenomena aklamasi menimbulkan degradasi dan daya saing di parpol itu sendiri.

Gejala aklamasi dimaknai sebagai kebangkrutan partai politik. Gejala kebangkrutan parpol itu lebih disebabkan pengaruh budaya Timur seperti feodalisme yang masih mendominasi bahwa kaum tua selalu ingin dituakan, dalam arti harus dipatuhi tanpa otokritik. Selain itu, budaya politik patronase, senioritas, dan top down menjadi salah satu penyebab mandeknya proses regenerasi dan kaderisasi dalam tubuh partai (Bambang A; 2014).

Ada beberapa catatan yang harus direnungi ketika parpol menunjuk ketua umum secara aklamasi. Pertama, hilangnya gagasan segar dalam membangun parpol ke depan. Hal itu terjadi karena partai tidak menerapkan kompetisi yang sehat dalam menawarkan program kerja. Ketua umum yang ditunjuk secara aklamasi lebih condong kepada penyelamatan partai. Sedangkan program kerja yang diinginkan tidak terlihat.

Kedua, lahirnya apolitisme dan apatisme kaum muda terhadap parpol yang didominasi kaum tua. Kaum muda menganggap parpol tersebut bukan tempat yang nyaman karena mereka tidak diberi kesempatan untuk berkembang. Merebaknya apolitisme dan apatisme kaum muda juga akan mengikis pilar generasi kepemimpinan. Sebab, kaum muda merupakan pilar kaderisasi.

Orang Kuat

Aklamasi tidak terlepas dari mitos ’’orang kuat’’ yang masih menghiasi parpol. Ketika orang kuat muncul sebagai calon tunggal, kompetitornya disingkirkan begitu saja. Orang kuat masih diposisikan sebagai sosok istimewa di struktural parpol. Orang kuat bisa melakukan intimidasi dan bahkan ancaman psikologis terhadap kader yang lain sehingga tidak berani muncul.

Bisa jadi, orang kuat juga memanipulasi demokrasi dengan mencalonkan kader lain untuk bersaing di pemilihan ketua umum. Tetapi, pemenangnya ditentukan sebelum pemilihan berlangsung oleh kekuatan politik uang (money politic). Bisa juga, pesaing yang didesain sebagai kompetitor sudah diiming-imingi posisi strategis di struktural. Alhasil, proses demokrasi hanya menjadi simbol untuk menambal bobroknya proses kaderisasi di parpol.

Untuk tetap menjaga marwah meritokrasi di parpol, tidak ada cara lagi selain berbenah. Salah satunya, memperhatikan regenerasi. Itu dapat dimulai dengan kesadaran kaum tua untuk tidak lagi silau dengan kursi jabatan di internal parpol. Kaum tua cukup menjadi pemantau arah demokrasi di internal. Jika itu tidak segera dilakukan, siap-siap saja parpol hanya menjadi partai buram di Pemilu 2019.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar