Kontroversi
Izin Terbang QZ8501
W Riawan Tjandra ; Pengajar Hukum Administrasi Negara pada FH
Universitas Atma Jaya Yogyakarta
|
KORAN
SINDO, 07 Januari 2015
Di tengah
masih berkabungnya keluarga penumpang dan seluruh rakyat di negeri ini atas
musibah yang dialami pesawat terbang AirAsia Indonesia QZ8501 dengan rute
Surabaya-Singapura yang jatuh di sekitar perairan Karimata/dekat Belitung
Timur, aksi saling melempar tanggung jawab perihal siapa pemberi izin untuk
penerbangan pesawat AirAsia QZ8501 terus berlangsung.
Dalam teori
hukum administrasi negara, izin dimaknai oleh Spelt dan Ten Berge (1993)
sebagai bentuk persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang atau
peraturan pemerintah untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari larangan
yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Dengan memberikan izin,
pemerintah selaku penguasa memperkenankan orang yang memohonnya untuk
melakukan tindakan tertentu yang sejatinya dilarang.
Masih menurut
Ten Berge dan Spelt, izin diperlukan karena aktivitas yang dilakukan pemohon
izin berkaitan dengan perkenan yang diberikan pemerintah atas tindakan yang
demi kepentingan umum mengharuskan dilakukan pengawasan khusus terhadapnya.
Perdebatan
mengenai pihak yang dianggap paling bertanggung jawab atas aktivitas
penerbangan pesawat nahas AirAsia Indonesia QZ 8501 pada Minggu pagi, 28
Desember 2014, berkembang paralel dengan pertanyaan publik mengenai peristiwa
yang melatarbelakangi musibah yang menimpa pesawat nahas tersebut meski
dugaan sementara diarahkan pada kecelakaan pesawat yang disebabkan oleh awan
cumulonimbus (awan CB) yang selama ini banyak dilansir oleh berbagai media
massa.
Pihak
maskapai AirAsia Indonesia dipersalahkan telah melanggar izin rute
penerbangan periode winter 2014-2015 26 Oktober 2014-26 Maret 2015 yang
seharusnya menjadi otoritas Kementerian Perhubungan (Kemenhub) cq Direktorat
Jenderal Perhubungan Udara.
Menurut
Kepala Pusat Komunikasi Kemenhub J.A. Barata pada 4 Januari 2015 surat izin
terbang dari Kemenhub hanya diberikan pada Senin, Selasa, Kamis, dan Sabtu
sehingga aktivitas penerbangan AirAsia pada Minggu dinilai dilakukan
menyalahi izin yang telah diberikan. Namun, Sekretaris Perusahaan Angkasa
Pura I Farid Indra Nugraha mengungkapkan, tak ada masalah perizinan pada
penerbangan AirAsia QZ8501.
Untuk rute
penerbangan tersebut, AirAsia telah mengajukan izin rute dan jadwal kepada
Indonesia Slot Coordinator (IDSC) dan di dalam slot sudah diperbolehkan.
Rapat IDSC dihadiri oleh Kemenhub selaku regulator, juga Angkasa Pura I dan
AirNav Indonesia. Slot yang diminta telah disesuaikan pula dengan kesediaan bandara
internasional tujuan seperti Australia atau Singapura.
Apabila
memang tersedia dan tak ada masalah pada jalur udara, akan diteruskan ke
Dirjen Perhubungan Udara untuk mendapatkan persetujuan. Setelah itu akan
dikirimkan ke Air Traffic Controller dan Angkasa Pura I (AP I) untuk
diumumkan. Namun, menurut General Manager Angkasa Pura I Trikora Harjo,
pemberian izin rute penerbangan bukan merupakan kewenangan AP I.
AP I bertugas
sebatas pemberian fasilitas terminal dan tempat parkir pesawat di bandara.
Melalui Surat Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Nomor AU.008/30/6/DRJU.
DAU-2014 tanggal 24 Oktober 2014 perihal Izin Penerbangan Luar Negeri Periode
Winter 2014/2015, Plt Dirjen Perhubungan Udara Djoko Murjatmodjo membekukan
sementara izin rute penerbangan Indonesia AirAsia Surabaya-Singapura pp
terhitung mulai Jumat, 2 Januari 2014.
Itu berkaitan
dengan penilaian pihak Kemenhub bahwa penerbangan rute Surabaya- Singapura
tersebut melanggar izin. Menurut versi Kemenhub, pembekuan baru akan dicabut
setelah hasil investigasi dan evaluasi terhadap jatuhnya QZ 8501 di Selat
Karimata keluar. Pembekuan rute penerbangan Surabaya-Singapura PT Indonesia
AirAsia oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kemenhub tersebut tak
urung mendapat kritik tajam dari sejumlah pilot dan mantan pilot maskapai
penerbangan di Indonesia.
Salah satunya
datang dari mantan Direktur Utama PT Merpati Nusantara Airlines Capt Sardjono
Jhony Tjitrokusumo. Menurut Jhony, alasan pembekuan rute AirAsia oleh
Kemenhub akibat melayani penerbangan pada Minggu (saat terjadi insiden
QZ8501) tidak sesuai dengan jadwal yang diberikan Kemenhub yaitu Senin,
Selasa, Kamis, dan Sabtu terlalu dipaksakan.
Mantan pilot
tersebut menilai kalaupun penerbangan yang dilakukan AirAsia tersebut dinilai
oleh pihak Kemenhub sebagai tidak berjadwal, dia yakin bahwa maskapai
tersebut pasti telah menerima flight
approval untuk melayanipenerbangan tambahan atau extra flight yang diajukan ke otoritas penerbangan nasional yaitu
Direktorat Jenderal Perhubungan Udara.
Menurut
Jhony, extra flight merupakan bagian dari pelayanan angkutan Natal dan tahun
baru sehingga tidak perlu mencari-cari kesalahan. Dia menyayangkan penerbitan
kebijakan pembekuan rute tersebut oleh Kemenhub yang dinilainya sebagai
keputusan reaktif. Padahal, Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT)
belum juga menyelesaikan investigasi atas penyebab kecelakaan nahas yang
menimpa Airbus A320-200 milik AirAsia pada Minggu lalu.
Berkaca pada
silangsengkarut kebijakan perizinan penerbangan yang berkembang pascainsiden
jatuhnya pesawat AirAsia Indonesia QZ8501 tersebut, kiranya itu
memperlihatkandengan kasatmata kelemahan administratif sistem perizinan
penerbangan pesawat. Secara paradigmatik izin telah digeser maknanya sekadar
sebagai persyaratan administratif semata-mata dari hakikat maknanya sebagai
instrumen pengawasan dan pengendalian oleh pemerintah untuk kepentingan umum.
Itu terlihat
dari ketidakjelasan rentang kendali dalam kebijakan perizinan penerbangan
yang terkesan tersebar pada berbagai tangan otoritas. Dalam hukum
administrasi negara, sejatinya kewenangan yang berhak memberikan atau menolak
izin adalah yang diberikan kewenangan secara atributif oleh undang-undang secara
langsung. Dalam kasus tersebut, sesuai dengan UU No 1 Tahun 2009 kewenangan
itu melekat pada Kemenhub yang mewakili pemerintah dalam melaksanakan “hak
menguasai negara atas penerbangan.”
Meskipun
suatu kewenangan tersebut dapat dimandatkan kepada otoritas tertentu sebagai
mandataris, pertanggungjawaban eksternal terakhir tetap berpuncak pada
Kemenhub sebagai wakil pemerintah di bidang perhubungan. Justru dengan kasus
yang menimpa AirAsia QZ8501 tersebut, kini saatnya Kemenhub menata ulang
desain rentang kendali perizinan penerbangan melalui standar operasional
prosedur yang jelas sebagai diamanatkan oleh UU No 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan.
Jika polemik
seputar otoritas perizinan terus berlanjut, dapat saja pihak keluarga korban
mengadukan kepada Ombudsman Republik Indonesia agar melakukan investigasi
untuk meneliti keabsahan perizinan tersebut. Ini penting karena itu konon
juga terkait upaya hukum klaim asuransi yang mensyaratkan legalitas
penerbangan sebagai syarat untuk mendapat santunan asuransi bagi para korban
pesawat tersebut.
Inilah
saatnya menhub berani berbenah dan melakukan bersih-bersih ke dalam agar ke
depan administrasi perizinan tidak justru menjadi kendala dalam sistem
keselamatan penerbangan karena sejumlah keuntungan haram yang dinikmati
segelintir oknum yang abai terhadap implikasinya yang mengamputasi hajat
keselamatan orang banyak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar