Berkaca
pada Peristiwa Air France AF447
Henry JJ Sumolang ; Pilot Senior
|
MEDIA
INDONESIA, 06 Januari 2015
PADA beberapa wawancara TV oleh
kolega para penerbang yang kebanyakan junior saya, analisis mereka sebagian
besar memfokuskan keadaan cuaca buruk yang disebabkan awan kumulonimbus yang diperkirakan jadi
penyebab jatuhnya pesawat Air Asia QZ8501. Bahkan ada yang memperkirakan
pesawat mengalami disintegrasi pada bagian kemudi, hingga pesawat tidak dapat
dikemudikan dan menukik seperti penerjun loncat indah yang tidak menyebabkan
percikan (spash) air sehingga
pesawat masuk ke laut dengan utuh.
Sangat disayangkan, tidak ada yang
membicarakan kemungkinan terjadinya pembentukan es (kecuali Kapten Raffi,
tetapi tidak secara spesifik) pada pesawat Air Asia QZ8501. Dengan demikian,
penulis berharap hal ini bukan merupakan representasi dari awareness atau kesiagaan akan bahaya
terjadinya icing pada pesawat
teman-teman penerbang di Indonesia.
Pada 27 Desember pagi, penulis
menerbangkan pesawat A330-300 dengan rute Singapura-Surabaya-Singapura,
berangkat dari Bandara Changi pukul 07.20 atau 6.20 WIB dengan rute yang sama
persis.Pada kedua penerbangan pergi pulang tersebut, penulis mengalami
banyaknya awan kumulonimbus tersebar di sepanjang jalur terbang dan banyak
terdapat icing pembentukan es pada
sayap dan mesin sehingga harus menggunakan engine anti-icing dan wing anti-icing selama penerbangan dengan
intensitas moderate sampai severe dan tanda kenakan sabuk
pengaman terus menyala sampai kira-kira 10 menit dari Surabaya. Demikian pula
sebaliknya saat penerbangan kembali ke Singapura. Penerbangan yang sangat
meletihkan.
Air
France AF447
Ingatan kita putar sejenak terkait
dengan penerbangan Air France AF447 jenis A330200 registrasi F-GZCP yang berangkat
dari Rio de Janeiro menuju Paris, Prancis, pada 31 Mei 2005 pukul 22.29 GMT
dengan melintasi Samudra Atlantik sebelah timur.
Menjelang 4 jam penerbangan dengan
ketinggian 35 ribu kaki, pilot melaporkan cuaca buruk (kumulonimbus) di
sepanjang jalur penerbangan yang pada saat itu kapten sedang istirahat di
ruangan tidur pilot di belakang kokpit. Karena penerbangan berlangsung selama
11 jam, setiap pilot beristirahat secara bergiliran.
Seorang kopilot duduk di kiri
menggantikan kapten sebagai pilot flying
(PF) dan kopilot yang lain duduk di sebelah kanan bertindak sebagai pilot
monitor (PM). PF memberikan informasi kepada awak kabin untuk bersiap-siap
karena akan memasuki cuaca buruk serta tanda kenakan sabuk pengaman
dinyalakan. Dari diskusi di kokpit, kedua kopilot menyadari bahwa mereka akan
memasuki inter tropical convergence
zone (ITCZ)--sama seperti keadaan cuaca di Laut Jawa pada saat kecelakaan
Air Asia QZ8501. ITCZ yang menghadang AF447 mempunyai panjang kurang lebih
100 nautical mile dan lebar 60 nautical mile.
Setelah berada di dalam awan
selama kurang lebih setengah jam, tiba-tiba indikator kecepatan menjadi tidak
akurat dan menunjukkan kecepatan pesawat berkurang.
Dengan data kecepatan yang tidak
valid, yang pertama berhenti bekerja dengan melepaskan diri off ialah autopilot disertai warning
lampu merah di depan kedua pilot, dan suara aural cavalry seperti bunyi trompet pasukan kavaleri.
Dengan sigap kopilot yang duduk di
sebelah kiri mengambil alih kemudi secara manual menggunakan joy stick. Namun, bersamaan dengan
itu, peringatan demi peringatan bermunculan di layar LCD pada electronic centralized aircraft monitor
(ECAM) yang disertai aural `ping' tanpa henti-hentinya. Data kerusakan itu
langsung terkirim melalui satelit ke pusat maintenance Air France di Paris melalui aircraft communication and reporting system (ACARS) yang membuat
petugas pusat maintenance Air France
bingung karena ada 24 kerusakan pada sistem komputer pesawat dalam waktu
bersamaan.
Kerusakan demi kerusakan yang
bermunculan membuat kedua kopilot kebingungan dan tanpa indikator kecepatan
yang akurat, yang dikerjakan PF ialah menarik joy stick ke belakang yang membuat pesawat mendongak lebih dari
15 derajat dengan kecepatan vertikal yang luar biasa, 7.000 kaki per menit,
sampai mencapai ketinggian 38 ribu kaki. Ketinggian tersebut, dengan keadaan
berat pesawat pada saat itu, merupakan ketinggian maksimum. PF tetap
mempertahankan posisi mendongak dari pesawat dengan cara tetap menahan posisi
joy stick ke belakang sehingga mencapai kecepatan minimum yang membuat
pesawat kehilangan daya angkatnya dan mulai jatuh dengan istilah stall.
Dari hasil pemeriksaan cockpit voice recorder, ada 74 kali stall warning yang berupa aural
trompet dan suara pria sintetis stall!,
stall!, stall!. Namun, peringatan itu tidak dihiraukan kedua kopilot
karena mereka berdua kebingungan tidak tahu apa yang sedang terjadi.
Seharusnya pada peringatan pertama posisi mendongak pesawat harus segera
dikurangi rata dengan horizon atau sedikit lebih ke bawah untuk mendapatkan
kembali kecepatan aman.
Pesawat mulai kehilangan
ketinggian dan jatuh dengan posisi mendongak dengan tenaga mesin penuh,
dengan kecepatan turun 5.000-10.000 kaki per menit. Pada saat kapten kembali
ke kokpit dan mengambil tempat duduk di tengah (observer seat), dan bertanya, “Apa yang sudah kalian perbuat?“ ia
mendapat jawaban, “Kita kehilangan kendali pesawat ini.“ Kapten pun tidak
tahu apa yang terjadi. Namun, akhirnya ia sadar dengan apa yang terjadi
ketika ketinggian pesawat sangat rendah dan sudah sangat terlambat. Pesawat
menyentuh permukaan Samudra Atlantik pada posisi mendongak 10 derajat dan
kecepatan vertikal 15 ribu kaki per menit!
Dari hasil penelitian black box yang ditemukan 6 tahun
kemudian diketahui, penyebab kacaunya instrumen dan segala kerusakan
ikutannya ialah sensor kecepatan yang tidak bekerja. Kerusakan tersebut
disebabkan pada saat memasuki awan di ketinggian 35 ribu kaki, banyak
terdapat supercooled water droplets
atau butir air yang sangat dingin yang mana pada ketinggian itu suhu udara di
luar pesawat -40 derajat celsius. Butir air sangat dingin itu, apabila kontak
dengan pesawat, segera akan membeku. Di pesawat Airbus ada tiga sensor
kecepatan atau dikenal dengan pitot
tube; satu milik kapten, satu milik kopilot, dan satu lagi cadangan/standby.
Pada kejadian AF447, ketiga pivot
tube itu mengalami penyumbatan karena pembekuan butir air sangat dingin
tersebut yang membuat ketiga indikator kecepatan menjadi tidak reliable dan tidak akurat. Sebenarnya
kecelakaan itu tidak perlu terjadi apabila pada saat itu pilot segera
menerapkan prosedur dengan unreliable
airspeed dengan cepat dan tepat.
Setelah insiden AF447 yang
menewaskan 228 jiwa itu, Airbus mengeluarkan instruksi bagi seluruh operator
Airbus A330 dan A340 untuk mengganti pivot tube dengan yang lebih mutakhir.
Instruksi itu tidak ditujukan kepada operator pesawat A320. Semoga apa yang
terjadi pada AF447 ini tidak terjadi pada QZ8501. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar