Belajar
Perbedaan
Nihayatul Wafiroh ; Anggota DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan
Bangsa Daerah Pemilihan Banyuwangi, Bondowoso, Situbondo
|
KORAN
TEMPO, 19 Januari 2015
Saya akhirnya
punya teman Kristen," ujar saudara sepupu saya. Ternyata memiliki kawan
dari kalangan berbeda jadi kebanggaan tersendiri untuk beberapa orang,
terlebih bagi orang yang tidak pernah keluar dari lingkaran yang dia miliki
selama ini. Mungkin kegirangan yang sama juga ada pada mahasiswa Dr Rosida
Sari dari Universitas Islam Negeri Ar-Raniry setelah ikut ceramah di gereja
Protestan di Indonesia bagian barat di Banda Aceh.
Berangkat
dari pengalamannya belajar di Flinders University, Adelaide, Australia, Sari
mengajak mahasiswa mengunjungi gereja dan berdiskusi dengan pastor soal
relasi antara laki-laki dan perempuan dalam Kristen.
Mengapa
aktivitas Rosnida Sari menjadi isu yang hangat?
Banyak orang
Aceh menentang terobosan Sari. Ketakutannya, ada mahasiswa yang pindah agama,
dari Islam menjadi Kristen, jadi "murtad". Sari bahkan mendapat
ancaman akan dibunuh, bahkan tempat mengajarnya diancam akan dibakar. Menteri
Agama Lukman Saifuddin, lewat akun Twitter, menulis bahwa Sari "harus
dilindungi."
Sari juga
pernah menjadi fellow Muslim Exchange
Program Indonesia-Australia. Ini menjadi jendela untuk Sari akan pentingnya
pengalaman melihat perbedaan dalam kehidupan nyata. Sari ingin membekali anak
didiknya agar mengerti pluralisme. Dasarnya, pluralisme dan toleransi, yang
kuat dalam diri seseorang, menjadi hal penting karena gesekan-gesekan atas
nama agama mulai sering terjadi di Indonesia, termasuk di Aceh. Ini bahaya
bila tak diatasi lewat pendidikan.
Saya punya
pengalaman serupa saat menempuh pendidikan master di Universitas Hawaii Manoa
di Kepulauan Oahu, Amerika Serikat. Saya ambil mata kuliah "Gender and Religion". Salah
satu tugas kuliah adalah menulis laporan lima kegiatan keagamaan. Saya pun
mendatangi acara keagamaan: gereja, candi, acara Yahudi, Baha'i, dan tentu
masjid.
Bila sebagian
orang Aceh khawatir seseorang akan goyah imannya dengan mendatangi gereja,
lalu bagaimana nasib ratusan muslim yang selama ini salat Jumat di lantai
bawah gereja tua St. Paul di pusat kota Boston?
Di Boston
saya merasakan nikmatnya beribadah dalam balutan toleransi keberagamaan yang
tulus. Semua orang datang dengan niat bersih untuk sujud kepada Allah. Mereka
tak memikirkan di mana mereka beribadah. Mereka tak juga dibaluti kebencian
terhadap agama lain.
Saat ini saya
masih tercatat sebagai mahasiswa doktoral di Indonesian Consortium for Religious Studies di Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta. Teman-teman sekelas saya ada kiai, pendeta, orang
Ahmadiyah, dari Indonesia, Singapura, dan Filipina. Setiap kali masuk kelas,
kami biasa baca Al-Quran, Injil, dan lainnya. Kami pernah mengikuti ibadah di
vihara, pura, gereja, maupun masjid. Tak ada satu pun yang merasa terganggu
keimanannya.
Pembelajaran
ini memperkaya saya. Saya semakin percaya bahwa agama yang saya anut ini
adalah yang terbaik bagi saya. Bila belajar pluralisme dan toleransi akan
menambah keimanan dan membuka mata akan pentingnya menghormati perbedaan,
kenapa mendatangi gereja di Banda Aceh harus disalahkan? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar