Jurus
Meregangkan Kekakuan Harga
Enny Sri Hartati ; Direktur Institute for Development of Economics
and Finance
|
MEDIA
INDONESIA, 19 Januari 2015
PASCAKEBIJAKAN penaikan harga
bahan bakar minyak 18 November 2014, ting kat inflasi 2014 menembus 8,36%.
Terlampauinya target inflasi 2014 yang dalam asumsi hanya berkisar 5%
tersebut disebabkan tekanan lonjakan harga pada November dan Desember 2014.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi November dan Desember 2014
mencapai 1,5% dan 2,46%.
Pada awal Januari 2015, pemerintah
mengoreksi kebijakan mereka dengan menurunkan harga bahan bakar minyak jenis
premium dan solar. Harga premium menjadi Rp7.600 dari Rp8.500 per liter dan
solar dari Rp7.400 menjadi Rp7.250 per liter. Masyarakat tentu berharap kebijakan
penurunan harga bahan bakar minyak tersebut akan diikuti turunnya harga
berbagai kebutuhan pokok. Namun, nyatanya harga hampir semua kebutuhan pokok
tetap bergeming.
Sebagai contoh harga beras tetap berkisar Rp195 ribu per
karung. Harga telur ayam masih berkisar Rp18 ribu-Rp19 ribu per kilogram.
Apalagi, harga cabai masih tetap bertahan berada di kisaran Rp70 ribu hingga
Rp80 ribu per kilogram. Demikian juga untuk harga bawang merah, bawang putih,
dan daging sapi.
Padahal, di samping telah terjadi penurunan
harga bahan bakar minyak, beberapa harga komoditas pangan pokok mengalami
penurunan harga yang cukup signifikan di pasar global, seperti harga kedelai,
gula, dan gandum. Bahkan, harga gula pasir masih tetap bertengger Rp10.500
per kilogram.
Sekalipun pemerintah telah menetapkan
dan menurunkan harga eceran tertinggi untuk gula, harganya tetap saja tidak
bergeser turun. Demikian juga, seka lipun harga gandum dan kedelai impor
mengalami penurunan, harga tepung terigu dan harga tahu tempe tetap saja mengalami
kenaikan.
Pertanyaannya, kenapa harga
kebutuhan pokok mengalami kekakuan untuk turun sementara sangat fleksibel
untuk naik atau terjadi rigiditas harga?
Pembentukan harga sangat bergantung
pada kondisi dan struktur persaingan yang ada di pasar. Kekakuan harga
merupakan indikasi bahwa interaksi antara permintaan (demand) dan pasokan (supply)
tidak bersaing secara sempurna. Mekanisme pasar tidak berjalan secara
sempurna atau terdapat kegagalan kerja dari mekanisme pasar untuk bersaing
secara sehat. Terdapat kekuatan yang lebih dominan yang dapat mengendalikan
harga (price maker). Kondisi
persaingan usaha yang tidak sehat itu semakin menguatkan sinyalemen
terjadinya berbagai praktik kartel dalam beberapa komoditas strategis.
Walaupun demikian, tidak dapat
dimungkiri, kekakuan harga juga disebabkan adanya dampak ekonomi berbiaya
tinggi (high cost economy). Utamanya
tekanan tingginya biaya logistik, dengan rata-rata biaya pengangkutan barang
di Indonesia sekitar US$0,34 per ton per km, sementara di Tiongkok hanya
US$0,22. Juga besarnya ketergantungan terhadap bahan baku impor yang
mengalami tekanan akibat pelemahan rupiah. Belum lagi, Bank Indonesia tetap
mempertahankan kebijakan pengetatan likuiditas dengan BI rate tetap bergeming
berada pada level 7,75% sekalipun pemerintah telah menurunkan harga bahan
bakar minyak.
Jangan
sekadar imbauan
Di tengah kondisi tersebut, ketika
pemerintah kembali mengeluarkan kebijakan penurunan harga bahan bakar minyak
untuk kedua kalinya, itu seakan hanya direspons dingin oleh masyarakat. Per
19 Januari 2015 harga bahan bakar minyak jenis premium menjadi Rp6.600 per
liter dan solar menjadi Rp6.400 per liter. Bahkan pemerintah juga menurunkan
harga liquefied petroleum gas (elpiji) dan harga semen. Harga elpiji ukuran
12 kg menjadi Rp129 ribu per tabung dan semen yang diproduksi badan usaha
milik negara (BUMN) turun Rp3.000 per sak.
Dalam menghadapi pesimisme
masyarakat tersebut, pemerintah harus segera melakukan langkah-langkah
konkret. Presiden tidak cukup hanya melakukan imbauan kepada para kepala
daerah maupun para pelaku usaha. Harus ada ke bijakan konkret untuk
meregangkan kekakuan harga kebutuhan pokok. Pemerintah harus melakukan
intervensi agar mekanisme pasar kembali berjalan sempurna, terutama untuk
memengaruhi kekakuan dari kekuatan sisi pasokan/supply.
Pemerintah harus memiliki dan
menggunakan strategi dan jurus andalan agar penurunan harga bahan bakar
minyak itu diikuti dengan penurunan harga lainnya secara umum. Beberapa
langkah dan agenda konkret mendesak dapat dilakukan melalui berbagai
kebijakan atas kewenangannya sebagai regulator dan intervensi langsung
melalui berbagai BUMN sebagai kepanjangan tangan dari pemerintah.
Pertama, pemerintah harus segera
mengevaluasi dan menetapkan standardisasi tarif transportasi umum.Dalam hal
transportasi darat, misalnya, Kementerian Perhubungan harus segera melakukan
koordinasi dengan operator seperti Organisasi Angkutan Darat (Organda) dan
pengusaha taksi untuk penetapan tarif baru.
Pemerintah juga dapat melakukan
intervensi langsung dengan memerintahkan BUMN yang bergerak pada sektor
transportasi untuk menurunkan tarif. Sebagai contoh Garuda Indonesia dapat
memulai penurunan tarif untuk transportasi udara, PT Pelni untuk angkutan
laut, dan juga PT Kereta Api. Dengan demikian, operator swasta sebagai
kompetitor akan mengikutinya.
Kedua, pemerintah harus mempunyai
instrumen untuk menstabilkan harga komoditas pangan strategis.Ketika hampir
semua komoditas, termasuk komoditas pangan strategis, diserahkan pada
mekanisme pasar, harga cenderung di bawah penguasaan dan kendali swasta yang
hanya mengejar maksimalisasi keuntungan. Untuk itu, peran badan penyangga
stok yang dapat digunakan sebagai instrumen stabilisasi harga sangat penting.
Badan itu dapat diperankan sebuah lembaga seperti Bulog dan dapat
mengoptimalkan kinerja BUMN. Peran utamanya mengembalikan mekanisme tata niaga
barang untuk cenderung mengikuti mekanisme pasar yang kompetitif dan sehat.
Ketiga, menjaga stabilitas harga
bahan bakar minyak. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No
39/2014 mengenai pemerintah akan melakukan revisi penentuan harga yang semula
setiap awal bulan diubah menjadi setiap dua pekan, jika tidak hati-hati,
justru mendorong terjadinya kekakuan harga untuk turun.
Logikanya pelaku usaha akan mengantisipasi
setiap risiko terjadinya penaikan harga bahan bakar minyak dengan membebankan
pada harga produk. Untuk itu penentuan harga bahan bakar minyak oleh
pemerintah lebih baik berdasarkan rata-rata pergerakan harga minyak dunia.
Dengannya, justru kepastian harga bahan bakar minyak akan relatif terjaga
untuk tidak memicu kembali penaikan harga barang.
Keempat, menyederhanakan dan
memperpendek pola dan rantai distribusi barang. Tingginya disparitas harga
antara produsen dan konsumen salah satunya disebabkan panjangnya rantai
pasok. Pergerakan barang dari produsen ke konsumen minimal harus melewati
sekitar lima rantai distribusi. Terdapat rangkaian pedagang
besar-distributor-agen pedagang pengecer baru barang ke tangan konsumen.
Pemerintah mestinya dapat menyederhanakan rantai pasok tersebut dengan
memanfaatkan gudang-gudang Bulog yang tersebar hampir semua daerah di seluruh
Indonesia.
Kelima, mengoptimalkan dan
mengefektifkan anggaran sektor pertanian, utamanya meningkatkan produktivitas
sektor pangan. Bahan makanan merupakan salah satu kontributor utama inflasi.
Jika pasokan kebutuhan pangan pokok terjaga, apalagi tidak bergantung pada
impor, stabilitas harga akan relatif terjaga.
Pemberian subsidi input harus
diefektifkan untuk bisa langsung diterima petani sebagai ujung tombak
peningkatan produksi. Itu juga disertai program penyuluhan yang intensif agar
petani mampu mengadopsi perubahan teknologi yang sesuai dengan dinamika
perkembangan berbagai hama tanaman, apalagi jika program rehabilitasi
infrastruktur irigasi pertanian dapat segera terealisasi dan dipercepat.
Keenam, menciptakan iklim usaha
yang sehat dan kompetitif. Pemerintah dapat mengevaluasi pemberian izin usaha
dan pemberian izin impor untuk pengusaha yang melakukan praktik usaha tidak
sehat. Hukuman atau punishment terhadap pengusaha yang melakukan praktik
usaha yang tidak sehat akan mendorong terciptanya kompetisi yang lebih
terbuka. Untuk itu, pemerintah juga harus membuka peluang usaha yang sama
kepada seluruh masyarakat sehingga tidak ada barrier atau hambatan setiap pengusaha untuk masuk pada jenis usaha
apa pun. Dengan demikian, itu akan dapat mengikis kooptasi jenis usaha oleh
kelompok usaha tertentu sehingga tidak akan lagi terjadi kekakuan harga untuk
turun. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar