Selasa, 20 Januari 2015

Jurus Meregangkan Kekakuan Harga

Jurus Meregangkan Kekakuan Harga

Enny Sri Hartati  ;   Direktur Institute for Development of Economics and Finance
MEDIA INDONESIA,  19 Januari 2015

                                                                                                                       


PASCAKEBIJAKAN penaikan harga bahan bakar minyak 18 November 2014, ting kat inflasi 2014 menembus 8,36%. Terlampauinya target inflasi 2014 yang dalam asumsi hanya berkisar 5% tersebut disebabkan tekanan lonjakan harga pada November dan Desember 2014. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi November dan Desember 2014 mencapai 1,5% dan 2,46%.

Pada awal Januari 2015, pemerintah mengoreksi kebijakan mereka dengan menurunkan harga bahan bakar minyak jenis premium dan solar. Harga premium menjadi Rp7.600 dari Rp8.500 per liter dan solar dari Rp7.400 menjadi Rp7.250 per liter. Masyarakat tentu berharap kebijakan penurunan harga bahan bakar minyak tersebut akan diikuti turunnya harga berbagai kebutuhan pokok. Namun, nyatanya harga hampir semua kebutuhan pokok tetap bergeming. 

Sebagai contoh harga beras tetap berkisar Rp195 ribu per karung. Harga telur ayam masih berkisar Rp18 ribu-Rp19 ribu per kilogram. Apalagi, harga cabai masih tetap bertahan berada di kisaran Rp70 ribu hingga Rp80 ribu per kilogram. Demikian juga untuk harga bawang merah, bawang putih, dan daging sapi.

Padahal, di samping telah terjadi penurunan harga bahan bakar minyak, beberapa harga komoditas pangan pokok mengalami penurunan harga yang cukup signifikan di pasar global, seperti harga kedelai, gula, dan gandum. Bahkan, harga gula pasir masih tetap bertengger Rp10.500 per kilogram.
Sekalipun pemerintah telah menetapkan dan menurunkan harga eceran tertinggi untuk gula, harganya tetap saja tidak bergeser turun. Demikian juga, seka lipun harga gandum dan kedelai impor mengalami penurunan, harga tepung terigu dan harga tahu tempe tetap saja mengalami kenaikan.

Pertanyaannya, kenapa harga kebutuhan pokok mengalami kekakuan untuk turun sementara sangat fleksibel untuk naik atau terjadi rigiditas harga? 

Pembentukan harga sangat bergantung pada kondisi dan struktur persaingan yang ada di pasar. Kekakuan harga merupakan indikasi bahwa interaksi antara permintaan (demand) dan pasokan (supply) tidak bersaing secara sempurna. Mekanisme pasar tidak berjalan secara sempurna atau terdapat kegagalan kerja dari mekanisme pasar untuk bersaing secara sehat. Terdapat kekuatan yang lebih dominan yang dapat mengendalikan harga (price maker). Kondisi persaingan usaha yang tidak sehat itu semakin menguatkan sinyalemen terjadinya berbagai praktik kartel dalam beberapa komoditas strategis.

Walaupun demikian, tidak dapat dimungkiri, kekakuan harga juga disebabkan adanya dampak ekonomi berbiaya tinggi (high cost economy). Utamanya tekanan tingginya biaya logistik, dengan rata-rata biaya pengangkutan barang di Indonesia sekitar US$0,34 per ton per km, sementara di Tiongkok hanya US$0,22. Juga besarnya ketergantungan terhadap bahan baku impor yang mengalami tekanan akibat pelemahan rupiah. Belum lagi, Bank Indonesia tetap mempertahankan kebijakan pengetatan likuiditas dengan BI rate tetap bergeming berada pada level 7,75% sekalipun pemerintah telah menurunkan harga bahan bakar minyak.

Jangan sekadar imbauan

Di tengah kondisi tersebut, ketika pemerintah kembali mengeluarkan kebijakan penurunan harga bahan bakar minyak untuk kedua kalinya, itu seakan hanya direspons dingin oleh masyarakat. Per 19 Januari 2015 harga bahan bakar minyak jenis premium menjadi Rp6.600 per liter dan solar menjadi Rp6.400 per liter. Bahkan pemerintah juga menurunkan harga liquefied petroleum gas (elpiji) dan harga semen. Harga elpiji ukuran 12 kg menjadi Rp129 ribu per tabung dan semen yang diproduksi badan usaha milik negara (BUMN) turun Rp3.000 per sak.

Dalam menghadapi pesimisme masyarakat tersebut, pemerintah harus segera melakukan langkah-langkah konkret. Presiden tidak cukup hanya melakukan imbauan kepada para kepala daerah maupun para pelaku usaha. Harus ada ke bijakan konkret untuk meregangkan kekakuan harga kebutuhan pokok. Pemerintah harus melakukan intervensi agar mekanisme pasar kembali berjalan sempurna, terutama untuk memengaruhi kekakuan dari kekuatan sisi pasokan/supply.

Pemerintah harus memiliki dan menggunakan strategi dan jurus andalan agar penurunan harga bahan bakar minyak itu diikuti dengan penurunan harga lainnya secara umum. Beberapa langkah dan agenda konkret mendesak dapat dilakukan melalui berbagai kebijakan atas kewenangannya sebagai regulator dan intervensi langsung melalui berbagai BUMN sebagai kepanjangan tangan dari pemerintah.

Pertama, pemerintah harus segera mengevaluasi dan menetapkan standardisasi tarif transportasi umum.Dalam hal transportasi darat, misalnya, Kementerian Perhubungan harus segera melakukan koordinasi dengan operator seperti Organisasi Angkutan Darat (Organda) dan pengusaha taksi untuk penetapan tarif baru.

Pemerintah juga dapat melakukan intervensi langsung dengan memerintahkan BUMN yang bergerak pada sektor transportasi untuk menurunkan tarif. Sebagai contoh Garuda Indonesia dapat memulai penurunan tarif untuk transportasi udara, PT Pelni untuk angkutan laut, dan juga PT Kereta Api. Dengan demikian, operator swasta sebagai kompetitor akan mengikutinya.

Kedua, pemerintah harus mempunyai instrumen untuk menstabilkan harga komoditas pangan strategis.Ketika hampir semua komoditas, termasuk komoditas pangan strategis, diserahkan pada mekanisme pasar, harga cenderung di bawah penguasaan dan kendali swasta yang hanya mengejar maksimalisasi keuntungan. Untuk itu, peran badan penyangga stok yang dapat digunakan sebagai instrumen stabilisasi harga sangat penting. Badan itu dapat diperankan sebuah lembaga seperti Bulog dan dapat mengoptimalkan kinerja BUMN. Peran utamanya mengembalikan mekanisme tata niaga barang untuk cenderung mengikuti mekanisme pasar yang kompetitif dan sehat.

Ketiga, menjaga stabilitas harga bahan bakar minyak. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No 39/2014 mengenai pemerintah akan melakukan revisi penentuan harga yang semula setiap awal bulan diubah menjadi setiap dua pekan, jika tidak hati-hati, justru mendorong terjadinya kekakuan harga untuk turun.

Logikanya pelaku usaha akan mengantisipasi setiap risiko terjadinya penaikan harga bahan bakar minyak dengan membebankan pada harga produk. Untuk itu penentuan harga bahan bakar minyak oleh pemerintah lebih baik berdasarkan rata-rata pergerakan harga minyak dunia. Dengannya, justru kepastian harga bahan bakar minyak akan relatif terjaga untuk tidak memicu kembali penaikan harga barang.

Keempat, menyederhanakan dan memperpendek pola dan rantai distribusi barang. Tingginya disparitas harga antara produsen dan konsumen salah satunya disebabkan panjangnya rantai pasok. Pergerakan barang dari produsen ke konsumen minimal harus melewati sekitar lima rantai distribusi. Terdapat rangkaian pedagang besar-distributor-agen pedagang pengecer baru barang ke tangan konsumen. Pemerintah mestinya dapat menyederhanakan rantai pasok tersebut dengan memanfaatkan gudang-gudang Bulog yang tersebar hampir semua daerah di seluruh Indonesia.

Kelima, mengoptimalkan dan mengefektifkan anggaran sektor pertanian, utamanya meningkatkan produktivitas sektor pangan. Bahan makanan merupakan salah satu kontributor utama inflasi. Jika pasokan kebutuhan pangan pokok terjaga, apalagi tidak bergantung pada impor, stabilitas harga akan relatif terjaga.

Pemberian subsidi input harus diefektifkan untuk bisa langsung diterima petani sebagai ujung tombak peningkatan produksi. Itu juga disertai program penyuluhan yang intensif agar petani mampu mengadopsi perubahan teknologi yang sesuai dengan dinamika perkembangan berbagai hama tanaman, apalagi jika program rehabilitasi infrastruktur irigasi pertanian dapat segera terealisasi dan dipercepat.

Keenam, menciptakan iklim usaha yang sehat dan kompetitif. Pemerintah dapat mengevaluasi pemberian izin usaha dan pemberian izin impor untuk pengusaha yang melakukan praktik usaha tidak sehat. Hukuman atau punishment terhadap pengusaha yang melakukan praktik usaha yang tidak sehat akan mendorong terciptanya kompetisi yang lebih terbuka. Untuk itu, pemerintah juga harus membuka peluang usaha yang sama kepada seluruh masyarakat sehingga tidak ada barrier atau hambatan setiap pengusaha untuk masuk pada jenis usaha apa pun. Dengan demikian, itu akan dapat mengikis kooptasi jenis usaha oleh kelompok usaha tertentu sehingga tidak akan lagi terjadi kekakuan harga untuk turun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar