Selasa, 20 Januari 2015

Belajar dari Finlandia

Belajar dari Finlandia

Ahmad Muchlis  ;   Dosen Matematika ITB;
Penerjemah Buku Finnish Lessons ke dalam Bahasa Indonesia
MEDIA INDONESIA,  19 Januari 2015

                                                                                                                       


KEBIJAKAN Mendikbud untuk mereduksi skala implementasi Kurikulum 2013 telah memancing kontroversi. Perdebatan berkepanjangan tentang kurikulum tidak akan menguntungkan karena isu ini tidak cukup mendasar dan strategis untuk membawa perbaikan berarti bagi pendidikan kita.

Cukup sering disarankan agar kita mengambil, bahkan meniru apa yang telah dilakukan negara-negara yang pendidikannya dipandang berhasil. Saran itu dapat dimengerti mengingat bahwa pendidikan ialah sebuah persoalan universal. Itu bisa kita lakukan untuk memperoleh isu-isu strategis yang perlu menjadi perhatian.

Finlandia ialah salah satu negara yang dipandang berhasil. Belajar dari negara itu dipermudah melalui buku Finnish Lessons: What Can the World Learn from Educational Change in Finland? (2010) karya Pasi Sahlberg, seorang praktisi, akademisi, dan birokrat pendidikan dari negara Eropa Utara itu. Sejumlah pengamat telah mencoba menunjukkan hikmah yang dapat dipetik, yaitu kebanyakan berupa produk atau buah kebijakan. Contohnya ialah ketiadaan tes terstandarkan nasional, pengawasan eksternal yang sangat longgar, perhatian besar kepada anak usia dini, otonomi sekolah dan guru yang luas, atau profesi keguruan yang sangat dihormati.

Perhatian berlebihan kepada produk dan buah kebijakan tidaklah terlalu tepat.Sebagaimana yang telah di ingatkan Sahlberg sendiri. Ia pernah mengatakan, misalnya, guru Finlandia pun boleh jadi gagal bila diminta mengajar di negara lain. Sahlberg berusaha menekankan bahwa perubahan yang telah dijalani Finlandia ialah berupa reformasi pada sistem pendidikan yang produk besarnya ialah kultur pendidikan.

Untuk dapat memperoleh manfaat sebesar-besarnya dari Finlandia, ada setidaknya tiga hal yang sangat perlu diperhatikan dari buku Finnish Lessons. Pertama, pengakuan atas keberhasilan Finlandia tidak terjadi dalam waktu pendek. Kita dapat memandang akhir 1950-an sebagai titik awal proses reformasi pendidikan Finlandia. Sementara pengakuan akan prestasi negara itu baru berdatangan di sekitar 2000 atau setidaknya dua generasi kemudian.

Proses panjang

Titik awal itu diambil dari lahirnya gagasan peruskoulu, sekolah dasar terpadu 9-tahun yang menjadi ujung tombak perubahan pendidikan Finlandia. Sebelum bisa mewujud di lapangan, peruskoulu harus melalui suatu proses politis. Konsensus Finlandia yang dihasilkan parlemen negara itu pada 1963 ternyata krusial bagi keberlangsungan dan keberhasilan reformasi. Pergolakan politis dan perubahan pemerintahan yang terjadi kemudian tidak sampai mengganggu jalannya reformasi.

Setelah konsensus nasional, masih diperlukan masa 9 tahun untuk memulai implementasi peruskoulu yang dilaksanakan secara berta hap. Baru di 1979, seluruh negeri menjalankan sistem sekolah dasar yang baru ini.Waktu yang cukup panjang itu diperlukan untuk membuat persiapan matang, termasuk melalui kajian akademis dan studi empiris di lapangan.

Kedua, prinsip pendidikan Finlandia sejalan dengan aspirasi kebangsaan mereka, seperti negara-negara Nordik lainnya. Konsep negara yang dibangun Finlandia ialah negara berkesejahteraan, yakni `berbagai layanan sosial dasar... menjadi layanan publik untuk semua warga negara, khususnya untuk mereka yang paling memerlukan dukungan dan pertolongan'. Sistem pendidikan Finlandia berpijak pada prinsip berkeadilan (equity) “...yang bertujuan menjamin pendidikan berkualitas tinggi untuk semua orang, sekali pun tempat dan lingkungannya berbeda.“

Boleh jadi, prinsip kesempatan pendidikan yang sama itu sulit ditegakkan tanpa mengutamakan kesejahteraan bersama. Kaitan antara keduanya dituliskan Sahlberg dalam kalimat berikut “Struktur dasar negara berkesejahteraan Finlandia memainkan peranan menentukan dalam menyediakan kondisi-kondisi berkeadilan bagi semua anak dan keluarga mereka agar di usia 7 tahun dapat memulai perjalanan pendidikan yang berhasil.“

Sebagai pembanding, kita lihat Amerika Serikat (AS), negara yang menganut sistem politik ekonomi kapitalisme. Di awal dekade 1980-an, Departemen Pendidikan Amerika Serikat membiayai kajian yang menghasilkan laporan berjudul A Nation at Risk: The Imperative for Educational Reform (1983). Secara eksplisit, laporan itu mengakui bahwa dunia pendidikan negara tersebut harus mengejar equity dan kualitas tinggi. Namun, berselang 30 tahun kemudian, AS masih saja gagal mencapai equity dan keunggulan dalam pendidikan. 

Sebagaimana dilaporkan dalam For Each and Every Child: A Strategy for Equity and Excellence (2013). Laporan terakhir itu dengan kuat mengesankan bahwa kesenjangan pendidikan malah semakin melebar.

Ketiga, pendidikan guru yang komprehensif dan seimbang serta menantang. Komprehensif dalam hal memberikan bekal-bekal yang diperlukan untuk menjadi guru sesuai dengan sistem persekolahan yang dibangun. Guru sekolah dasar, misalnya, memperoleh teori pendidikan, pengetahuan pedagogik muatan materi, dan didaktik. Sementara guru mata pelajaran memiliki kualifikasi yang sama dengan sarjana bidang ilmu mata pelajaran, selain memperoleh bekal kependidikan. Bekal-bekal tersebut diberikan secara seimbang antara teori dan praktik untuk menumbuhkan kompetensi pribadi serta profe sional guru. 
Reformasi sistem pendidikan Finlandia yang berlangsung panjang itu tidak hanya mereformasi struktur persekolahan, tetapi juga mereformasi sistem pendidikan guru dan manajemen sekolah.

Kualitas pendidikan guru semacam itu menghasilkan guru-guru cakap yang memungkinkan pemberian otonomi yang tinggi kepada guru dan sekolah. Dengan otonomi ini, sekolah-sekolah Finlandia dapat membuat sendiri kurikulum mereka, berkoordinasi dengan dan atas persetujuan otoritas pendidikan lokal.
Tingkat otonomi yang tinggi itu merepresentasikan kepercayaan dan membuat profesi keguruan sebuah profesi terhormat, sejajar dengan profesi kedokteran, insinyur, dan ekonom. Ia menjadi daya tarik bagi lulusan terbaik pendidikan menengah. Menjadi guru ialah pilihan berdasarkan keinginan, bukan keterpaksaan karena gagal masuk program pendi dikan bergengsi lainnya. 
Demikian pentingnya otonomi itu sehingga guru-guru Finlandia akan memilih beralih profesi kalau otonomi yang mereka nikmati itu berkurang.

Kurikulum 2013 di Indonesia merupakan antitesis dari langkah-langkah Finlandia tersebut. Sudah diketahui luas bahwa kurikulum ersebut dipersiapkan dalam waktu singkat, yaitu kurang lebih satu tahun. Implementasi dipaksakan tanpa kajian akademis dan studi empiris yang memadai. Lebih parah lagi, konsep kurikulum tunggal yang berlaku secara nasional itu meniadakan otonomi guru dan sekolah yang memang sudah tipis. Sekolah hanya dipandang sebagai unit implementasi, sedangkan guru ialah pekerja pelaksana.

Punya landasan

Indonesia sesungguhnya sudah memiliki landasan untuk berlaku seperti Finlandia. Pertama, yaitu sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dapat menjadi landasan untuk membangun negara berkesejahteraan. Kemudian, UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) secara eksplisit menetapkan berkeadilan sebagai salah satu prinsip penyelenggaraan pendidikan.

Kedua, UU Sisdiknas itu juga memberi landasan bagi otonomi sekolah. Ia menetapkan prinsip pengelolaan pendidikan berupa manajemen berbasis sekolah atau madrasah. Pengelolaan itu mencakup juga segi akademik yang puncaknya ialah pemberian kewenangan pengembangan kurikulum kepada satuan pendidikan yang berarti tidak ada lagi kurikulum nasional yang tunggal.

Sayangnya, kita masih belum bisa menerjemahkan sila kelima itu sehingga `mereka yang paling memerlukan dukungan dan pertolongan' mendapatkan layanan sosial dasar berkualitas tinggi. Sekolah dan guru tidak dipersiapkan dan di madrasahkan untuk dapat mengembangkan kurikulum. Jalan pintas berupa kurikulum `siap pakai' pun diambil, yakni sebuah pilihan yang malah mendorong ketergantungan, bukannya membawa kepada otonomi.

Kita berharap pemerintahan sekarang memiliki kemauan yang kuat untuk membangun di atas landasan-landasan tersebut. Mudah-mudahan kita tidak harus menunggu masa dua generasi seperti yang dialami Finlandia untuk mencapai keberhasilan pendidikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar