Belajar
dari Finlandia
Ahmad Muchlis ; Dosen Matematika ITB;
Penerjemah Buku Finnish Lessons ke dalam Bahasa Indonesia
|
MEDIA
INDONESIA, 19 Januari 2015
KEBIJAKAN Mendikbud untuk
mereduksi skala implementasi Kurikulum 2013 telah memancing kontroversi. Perdebatan
berkepanjangan tentang kurikulum tidak akan menguntungkan karena isu ini
tidak cukup mendasar dan strategis untuk membawa perbaikan berarti bagi
pendidikan kita.
Cukup sering disarankan agar kita
mengambil, bahkan meniru apa yang telah dilakukan negara-negara yang
pendidikannya dipandang berhasil. Saran itu dapat dimengerti mengingat bahwa
pendidikan ialah sebuah persoalan universal. Itu bisa kita lakukan untuk
memperoleh isu-isu strategis yang perlu menjadi perhatian.
Finlandia ialah salah satu negara
yang dipandang berhasil. Belajar dari negara itu dipermudah melalui buku Finnish Lessons: What Can the World Learn
from Educational Change in Finland? (2010) karya Pasi Sahlberg, seorang
praktisi, akademisi, dan birokrat pendidikan dari negara Eropa Utara itu.
Sejumlah pengamat telah mencoba menunjukkan hikmah yang dapat dipetik, yaitu
kebanyakan berupa produk atau buah kebijakan. Contohnya ialah ketiadaan tes
terstandarkan nasional, pengawasan eksternal yang sangat longgar, perhatian besar
kepada anak usia dini, otonomi sekolah dan guru yang luas, atau profesi
keguruan yang sangat dihormati.
Perhatian berlebihan kepada produk
dan buah kebijakan tidaklah terlalu tepat.Sebagaimana yang telah di ingatkan
Sahlberg sendiri. Ia pernah mengatakan, misalnya, guru Finlandia pun boleh
jadi gagal bila diminta mengajar di negara lain. Sahlberg berusaha menekankan
bahwa perubahan yang telah dijalani Finlandia ialah berupa reformasi pada
sistem pendidikan yang produk besarnya ialah kultur pendidikan.
Untuk dapat memperoleh manfaat
sebesar-besarnya dari Finlandia, ada setidaknya tiga hal yang sangat perlu
diperhatikan dari buku Finnish Lessons.
Pertama, pengakuan atas keberhasilan Finlandia tidak terjadi dalam waktu
pendek. Kita dapat memandang akhir 1950-an sebagai titik awal proses reformasi
pendidikan Finlandia. Sementara pengakuan akan prestasi negara itu baru
berdatangan di sekitar 2000 atau setidaknya dua generasi kemudian.
Proses
panjang
Titik awal itu diambil dari
lahirnya gagasan peruskoulu, sekolah dasar terpadu 9-tahun yang menjadi ujung
tombak perubahan pendidikan Finlandia. Sebelum bisa mewujud di lapangan,
peruskoulu harus melalui suatu proses politis. Konsensus Finlandia yang
dihasilkan parlemen negara itu pada 1963 ternyata krusial bagi keberlangsungan
dan keberhasilan reformasi. Pergolakan politis dan perubahan pemerintahan
yang terjadi kemudian tidak sampai mengganggu jalannya reformasi.
Setelah konsensus nasional, masih
diperlukan masa 9 tahun untuk memulai implementasi peruskoulu yang dilaksanakan
secara berta hap. Baru di 1979, seluruh negeri menjalankan sistem sekolah
dasar yang baru ini.Waktu yang cukup panjang itu diperlukan untuk membuat
persiapan matang, termasuk melalui kajian akademis dan studi empiris di
lapangan.
Kedua, prinsip pendidikan
Finlandia sejalan dengan aspirasi kebangsaan mereka, seperti negara-negara
Nordik lainnya. Konsep negara yang dibangun Finlandia ialah negara
berkesejahteraan, yakni `berbagai layanan sosial dasar... menjadi layanan
publik untuk semua warga negara, khususnya untuk mereka yang paling
memerlukan dukungan dan pertolongan'. Sistem pendidikan Finlandia berpijak
pada prinsip berkeadilan (equity) “...yang bertujuan menjamin pendidikan
berkualitas tinggi untuk semua orang, sekali pun tempat dan lingkungannya
berbeda.“
Boleh jadi, prinsip kesempatan
pendidikan yang sama itu sulit ditegakkan tanpa mengutamakan kesejahteraan
bersama. Kaitan antara keduanya dituliskan Sahlberg dalam kalimat berikut “Struktur dasar negara berkesejahteraan
Finlandia memainkan peranan menentukan dalam menyediakan kondisi-kondisi
berkeadilan bagi semua anak dan keluarga mereka agar di usia 7 tahun dapat
memulai perjalanan pendidikan yang berhasil.“
Sebagai pembanding, kita lihat
Amerika Serikat (AS), negara yang menganut sistem politik ekonomi
kapitalisme. Di awal dekade 1980-an, Departemen Pendidikan Amerika Serikat
membiayai kajian yang menghasilkan laporan berjudul A Nation at Risk: The Imperative for Educational Reform (1983).
Secara eksplisit, laporan itu mengakui bahwa dunia pendidikan negara tersebut
harus mengejar equity dan kualitas
tinggi. Namun, berselang 30 tahun kemudian, AS masih saja gagal mencapai
equity dan keunggulan dalam pendidikan.
Sebagaimana dilaporkan dalam For Each and Every Child: A Strategy for
Equity and Excellence (2013). Laporan terakhir itu dengan kuat
mengesankan bahwa kesenjangan pendidikan malah semakin melebar.
Ketiga, pendidikan guru yang
komprehensif dan seimbang serta menantang. Komprehensif dalam hal memberikan
bekal-bekal yang diperlukan untuk menjadi guru sesuai dengan sistem
persekolahan yang dibangun. Guru sekolah dasar, misalnya, memperoleh teori
pendidikan, pengetahuan pedagogik muatan materi, dan didaktik. Sementara guru
mata pelajaran memiliki kualifikasi yang sama dengan sarjana bidang ilmu mata
pelajaran, selain memperoleh bekal kependidikan. Bekal-bekal tersebut
diberikan secara seimbang antara teori dan praktik untuk menumbuhkan
kompetensi pribadi serta profe sional guru.
Reformasi sistem pendidikan
Finlandia yang berlangsung panjang itu tidak hanya mereformasi struktur
persekolahan, tetapi juga mereformasi sistem pendidikan guru dan manajemen
sekolah.
Kualitas pendidikan guru semacam
itu menghasilkan guru-guru cakap yang memungkinkan pemberian otonomi yang
tinggi kepada guru dan sekolah. Dengan otonomi ini, sekolah-sekolah Finlandia
dapat membuat sendiri kurikulum mereka, berkoordinasi dengan dan atas
persetujuan otoritas pendidikan lokal.
Tingkat otonomi yang tinggi itu merepresentasikan
kepercayaan dan membuat profesi keguruan sebuah profesi terhormat, sejajar
dengan profesi kedokteran, insinyur, dan ekonom. Ia menjadi daya tarik bagi
lulusan terbaik pendidikan menengah. Menjadi guru ialah pilihan berdasarkan keinginan,
bukan keterpaksaan karena gagal masuk program pendi dikan bergengsi lainnya.
Demikian pentingnya otonomi itu sehingga guru-guru Finlandia akan memilih
beralih profesi kalau otonomi yang mereka nikmati itu berkurang.
Kurikulum 2013 di Indonesia
merupakan antitesis dari langkah-langkah Finlandia tersebut. Sudah diketahui
luas bahwa kurikulum ersebut dipersiapkan dalam waktu singkat, yaitu kurang
lebih satu tahun. Implementasi dipaksakan tanpa kajian akademis dan studi
empiris yang memadai. Lebih parah lagi, konsep kurikulum tunggal yang berlaku
secara nasional itu meniadakan otonomi guru dan sekolah yang memang sudah
tipis. Sekolah hanya dipandang sebagai unit implementasi, sedangkan guru
ialah pekerja pelaksana.
Punya
landasan
Indonesia sesungguhnya sudah
memiliki landasan untuk berlaku seperti Finlandia. Pertama, yaitu sila
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dapat menjadi landasan untuk
membangun negara berkesejahteraan. Kemudian, UU No 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) secara eksplisit menetapkan
berkeadilan sebagai salah satu prinsip penyelenggaraan pendidikan.
Kedua, UU Sisdiknas itu juga
memberi landasan bagi otonomi sekolah. Ia menetapkan prinsip pengelolaan
pendidikan berupa manajemen berbasis sekolah atau madrasah. Pengelolaan itu
mencakup juga segi akademik yang puncaknya ialah pemberian kewenangan
pengembangan kurikulum kepada satuan pendidikan yang berarti tidak ada lagi
kurikulum nasional yang tunggal.
Sayangnya, kita masih belum bisa
menerjemahkan sila kelima itu sehingga `mereka yang paling memerlukan
dukungan dan pertolongan' mendapatkan layanan sosial dasar berkualitas
tinggi. Sekolah dan guru tidak dipersiapkan dan di madrasahkan untuk dapat
mengembangkan kurikulum. Jalan pintas berupa kurikulum `siap pakai' pun
diambil, yakni sebuah pilihan yang malah mendorong ketergantungan, bukannya
membawa kepada otonomi.
Kita berharap pemerintahan
sekarang memiliki kemauan yang kuat untuk membangun di atas landasan-landasan
tersebut. Mudah-mudahan kita tidak harus menunggu masa dua generasi seperti
yang dialami Finlandia untuk mencapai keberhasilan pendidikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar