Senin, 19 Januari 2015

Mendayung di Antara Karang

Mendayung di Antara Karang

Refly Harun  ;   Pengamat dan Pengajar Hukum Tata Negara
KOMPAS,  19 Januari 2015

                                                                                                                       


TIDAK mudah bagi Presiden Joko Widodo untuk mengambil keputusan tentang nasib Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kebijakan apa pun yang diambil pasti akan membentur karang. Pasti akan ada titik lemahnya. Pasti akan memunculkan pro dan kontra. Namun, dari semua itu, satu moralitas hukum yang seharusnya diambil adalah tidak menjadikan seorang tersangka sebagai Kepala Polri. Hingga titik ini, Jokowi telah lulus ujian.

Apa jadinya jika Jokowi mengambil kebijakan melantik Budi Gunawan, dengan segala alasan: hak prerogatif presiden, sudah disetujui DPR, kewajiban administrasi, menghina DPR (contempt of parliament) kalau tidak melantik, asas praduga tak bersalah, dan alasan lainnya. Semua alasan itu lebih mengemukakan rasionalitas hukum, tetapi lemah diperhadapkan dengan moralitas hukum. Siapa pun yang berada di lingkaran Jokowi tentu akan sulit menjelaskan dan meyakinkan publik apabila kebijakan yang diambil adalah melantik calon Kepala Polri tersangka.

Pemberhentian tetap

Persoalannya adalah, kebijakan apa pun yang diambil pasti selalu ada ruang untuk dikritisi. Kritik tersebut bahkan bisa menghilangkan esensi dari moralitas hukum yang seharusnya dijunjung tinggi. Seorang rekan, yang saya tahu sangat pro pemberantasan korupsi, masih juga mempertanyakan dasar hukum apa yang diambil Jokowi ketika memilih kebijakan memberhentikan Jenderal (Pol) Sutarman sebagai Kepala Polri dan mengangkat Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal Badrodin Haiti untuk melaksanakan tugas-tugas Kepala Polri. 

Jika dikaitkan dengan UU No 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, setidaknya ada dua pasal relevan yang terkait pengangkatan dan pemberhentian Kepala Polri. Pertama, Pasal 11 Ayat (1) yang berbunyi, ”Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.” Kedua, ”Dalam keadaan mendesak, Presiden dapat memberhentikan sementara Kapolri dan mengangkat pelaksana tugas Kapolri dan selanjutnya dimintakan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.”

Pemberhentian Sutarman sebagai Kepala Polri adalah pemberhentian tetap (bukan sementara) yang telah disetujui DPR sehingga seharusnya tak perlu dipersoalkan lagi dasar hukum pemberhentiannya. Dalam kondisi yang normal, pemberhentian tersebut seharusnya disertai pengangkatan Kepala Polri baru. Dalam konteks ini, Budi Gunawan seharusnya diangkat sebagai Kepala Polri seiring pemberhentian Sutarman. Terlebih amunisi untuk pengangkatan tersebut telah diperoleh: berupa persetujuan hampir mutlak DPR yang anehnya tidak mempersoalkan status tersangka Budi Gunawan.

Kubu Koalisi Merah Putih (KMP) yang selama ini selalu berseberangan dengan pemerintah ikut-ikutan mendukung Budi Gunawan. Padahal, untuk kebijakan baik saja, seperti peluncuran Kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Pintar, dan Kartu Keluarga Sejahtera, yang notabene untuk kepentingan masyarakat banyak, kita tahu betapa berisiknya KMP.

Di sinilah moralitas hukum harus menempati ruang utama dalam pengambilan kebijakan penguasa di negeri ini. Karena sudah disetujui, pemberhentian Sutarman tetap dapat dilanjutkan. Namun, pengangkatan Budi Gunawan belum dapat dilakukan karena yang bersangkutan masih tersangkut masalah hukum. Andai Budi Gunawan dapat membuktikan bahwa ia tak bersalah, Jokowi harus melantik yang bersangkutan karena persetujuan DPR telah didapat. Jika sebaliknya, Budi Gunawan divonis bersalah dan telah berkekuatan hukum tetap, Presiden tentu harus mengajukan nama baru. Pengajuan nama baru juga seharusnya dimungkinkan pula jika proses hukum terhadap Budi Gunawan berlarut-larut dan memakan waktu lama.

Penugasan Badrodin Haiti untuk melaksanakan tugas, wewenang, dan tanggung jawab Kepala Polri karena itu harus dipahami sebagai tindakan Presiden untuk mengisi kekosongan jabatan Kepala Polri untuk sementara waktu. Diatur atau tidak dalam UU, sebagai pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi (chief executive) Presiden berwenang mengisi kekosongan jabatan di lingkungan pemerintahan.

Penunjukan Badrodin Haiti tidak memerlukan persetujuan DPR karena tidak masuk dalam lingkup pengertian Pasal 11 Ayat (5) UU Polri. Pertama, pemberhentian Sutarman bukanlah pemberhentian sementara dalam keadaan mendesak, melainkan pemberhentian tetap yang telah mendapatkan persetujuan DPR. Kedua, penunjukan Badrodin Haiti tidaklah dalam kerangka pemberhentian sementara kepala Polri, melainkan konsekuensi dari kosongnya jabatan kepala Polri karena pemberhentian Sutarman.

Hati nurani publik

UU Polri sama sekali tidak mengatur mekanisme apa yang harus ditempuh Presiden andai calon Kepala Polri menjadi tersangka dan pengusulannya telah disetujui DPR. Jadi, apa yang ditempuh Jokowi adalah kebijakan diskretif yang dilakukan demi menjunjung moralitas hukum dan asas-asas pemerintahan yang baik. 

Tentu banyak yang bertanya, mengapa pilihan kebijakannya memberhentikan Sutarman, padahal baru pensiun beberapa bulan lagi? Tidakkah lebih baik Sutarman tetap dipertahankan hingga pensiun sambil menunggu kepastian akan proses hukum terhadap Budi Gunawan? Kalau mau ditarik ke belakang lagi, banyak pihak yang menggugat, mengapa Jokowi tidak segera menarik pencalonan Budi Gunawan ketika yang bersangkutan dinyatakan sebagai tersangka oleh KPK?

Politik, di mana pun, selalu menyajikan ruang remang-remang bahkan gelap, yang semuanya tak mungkin dikatakan kecuali di ruang gelap pula. Satu yang bisa dipastikan, Jokowi tampaknya mendayung perahu di antara banyak karang kepentingan. Begitu derasnya gelombang elite-elite politik negeri ini yang mendorong Jokowi menjadikan tersangka sebagai Kepala Polri. Bahkan, baru soal calon Kepala Polri tersangka inilah hampir semua kekuatan politik bersatu. Untungnya kokoh pula hati nurani publik, terutama para relawan-relawan Jokowi, yang telah memilih dan memenangkan Jokowi dalam konteks pemilihan presiden 2014, untuk menahan gelombang kepentingan tersebut.

Untungnya pula, Jokowi memilih hati nurani publik dan tentu saja akal sehat. Mudah-mudahan hati nurani dan akal sehat itulah yang selalu diutamakan dalam setiap pengambilan kebijakan, seberat apa pun itu. Karena itu, hanya dengan cara itulah rakyat di negeri ini—setidaknya para relawan, para pemilih Jokowi dalam Pilpres 2014—masih bisa menggantungkan harapan pada keberlangsungan negeri ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar