Hormati
Independensi Badan Peradilan
Binsar M Gultom ; Hakim PN Kelas IA Khusus Palembang;
Dosen Pascasarjana di Beberapa
Perguruan Tinggi
|
KOMPAS, 06 Januari 2015
Salah satu misi Mahkamah Agung
adalah menjaga independensi badan peradilan, yang di dalamnya terdapat
independensi hakim untuk mengadili dan memutus perkara di pengadilan.
Independensi tersebut diatur tegas dalam Pasal 24 UUD 1945, Pasal 1 Ayat (1)
UU No 48/2009 tentang kekuasaan kehakiman, Pasal 32 UU No 3/2009 tentang MA,
dan Pasal 20A Ayat (1) Huruf (d) UU No 18/2011 tentang Komisi Yudisial (KY).
Proses kemandirian kekuasaan
yudikatif (MA) cukup panjang. Sebelumnya, kekuasaan kehakiman (yudikatif)
yang menyangkut administrasi dan finansial berada di bawah pemerintah (cq
Menteri Kehakiman/Kementerian Hukum dan HAM), sedangkan yang menyangkut
teknis yudikatif (peradilan) berada di bawah MA. Karena sistem itu sangat
bertentangan dengan konstitusi UUD 1945, lahirlah Ketetapan MPR No X/1998
yang menetapkan kekuasaan kehakiman bebas dan terpisah dari kekuasaan
eksekutif.
Ketetapan ini ditindaklanjuti UU
No 35/1999 tentang kekuasaan kehakiman dengan Pasal 11 yang menyebutkan, ”Badan-badan peradilan di bawah MA, secara
organisatoris, administratif, dan finansial, berada di bawah kekuasaan MA.
Realisasi pengalihan manajerial kekuasaan kehakiman ke MA melahirkan
Keputusan Presiden No 21/2004”.
Dengan pengalihan organisasi,
administrasi, dan finansial dari pemerintah ke MA, berarti seluruh masalah
manajerial berada di pundak otoritas MA, tidak boleh dicampuri dan
diintervensi kekuasaan mana pun, termasuk pemerintah dan atau Komisi Yudisial
(KY). Dengan demikian, doktrin pemisahan kekuasaan seperti diajarkan
Montesquieu dalam teori trias politica benar-benar menjadi realitas yang
harus dijaga.
Sayangnya, saat pembentukan
undang-undang keempat badan peradilan (UU Peradilan Umum, Agama, TUN, dan
Militer), MA selaku user dari UU tersebut tidak pernah dilibatkan untuk
membahasnya sehingga berbagai regulasi terkait dengan kewenangan MA kembali
dicampuri oleh kekuasaan lain, yakni KY.
Mencampuri
independensi
Akibat dimasukkannya kewenangan KY
ke dalam UU peradilan, timbul isu dalam praktik, ada kecenderungan KY
merongrong independensi kewenangan lembaga yudikatif tertinggi (MA), seperti
penerimaan calon hakim, mutasi dan promosi hakim, pemilihan ketua/wakil ketua
MA, dan usulan MA atas calon hakim Mahkamah Konstitusi.
Pelibatan KY dalam seleksi calon
hakim dalam UU peradilan umum, agama, TUN adalah salah satu contoh campur
tangan kekuasaan eksekutif (dalam hal ini KY) terhadap lembaga yudikatif
sehingga bisa memengaruhi tugas administratif badan peradilan. Menurut
penulis, semua bentuk campur tangan KY dalam UU badan peradilan di bawah MA
terkait kewenangan manajerial harus dicabut.
Menurut UU No 18/2011 tentang KY,
tugas pokok dan fungsi KY hanyalah bersifat ekstra yudisial, yakni
mengusulkan pengangkatan hakim agung kepada DPR dan menegakkan kehormatan
serta menjaga perilaku hakim.
Profesionalitas hakim terletak
pada independensi hakim dalam mengadili dan memutus perkara. Hal ini
ditegaskan Pasal 20A Ayat (1) Huruf (d) UU No 18/2011 tentang KY. Dalam hal
melaksanakan tugasnya, KY wajib menjaga kemandirian hakim dalam mengadili dan
memutus perkara. Jika KY menilai ada kecenderungan dugaan terima suap, KY dapat
memeriksa hakim terlapor sesuai aturan hukum dan mekanisme tugas pokok KY.
Menyangkut teknis perkara bukanlah
ranah KY, melainkan merupakan independensi hakim. Sekalipun dalam putusan
hakim ada dugaan suap dalam pengambilan putusan, putusan itu tetap sah
menurut hukum. Yang bisa membatalkan atau menguatkan putusan hanyalah putusan
pengadilan di atasnya lewat upaya hukum.
Cukup banyak dugaan kasus perkara
atau dugaan pelanggaran kode etik hakim (dari tingkat pertama, banding,
hingga kasasi) yang belum pernah diputuskan bersalah oleh Majelis Kehormatan
Hakim (MKH) tiba-tiba sudah muncul dalam berita di sejumlah media. Semestinya
kesalahan yang belum jelas dasar hukumnya tidak boleh disebarluaskan KY.
KY seharusnya bertanggung jawab
melindungi/menjaga harkat dan martabat hakim, bukan mencemarkan nama baik
para hakim. Sikap KY ini telah melanggar UUD 1945 dan UU KY. Ini sangat
berbahaya dan meresahkan para hakim di seluruh Indonesia.
Menurut UU KY, yang mengawasi
perilaku hakim adalah komisioner KY, bukan penghubung KY seperti layaknya
LSM. Kedudukan jabatan hakim itu sebagai profesi terhormat (officium nobile)
dan mulia. Bukankah sudah ada pengadilan tinggi yang merupakan kawal depan MA
untuk mengawasi dan membina hakim selaku pejabat negara?
Menjaga
kerahasiaan
Menurut Pasal 20A Ayat (1) Huruf
(c) UU No 18/2011 tentang KY, dalam melaksanakan tugasnya KY wajib menjaga
kerahasiaan informasi yang diperoleh.
Jika hal itu dilanggar, sesuai
Pasal 20A Ayat (2) UU No 18/2011, komisioner KY dapat dikenai sanksi dan atau
dapat dipidana melanggar Pasal 310-311 Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP) tentang pencemaran nama baik.
Jika KY terus mengganggu kinerja
badan peradilan, saatnya dipikirkan oleh pemerintah agar kedudukan KY
disetarakan dengan kedudukan Komisi Kejaksaan, Komisi Kepolisian, yang hanya
diatur oleh keputusan presiden tanpa harus diatur oleh Konstitusi sebagaimana
rencana pemerintah Joko Widodo membubarkan 40 lagi lembaga (Kompas, 14/12/2014).
Atau setidaknya ke depan (tahun
2015) jabatan ketua KY harus dirangkap oleh ketua MA (secara ex officio) seperti yang terjadi di AS
dan Australia sehingga tercipta hubungan harmonisasi sinergis antara MA dan
KY sebagai partner kerja untuk mewujudkan ”badan peradilan Indonesia yang
agung”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar