Rabu, 07 Januari 2015

Hormati Independensi Badan Peradilan

Hormati Independensi Badan Peradilan

Binsar M Gultom  ;  Hakim PN Kelas IA Khusus Palembang;
Dosen Pascasarjana di Beberapa Perguruan Tinggi
KOMPAS,  06 Januari 2015

                                                                                                                       


Salah satu misi Mahkamah Agung adalah menjaga independensi badan peradilan, yang di dalamnya terdapat independensi hakim untuk mengadili dan memutus perkara di pengadilan. Independensi tersebut diatur tegas dalam Pasal 24 UUD 1945, Pasal 1 Ayat (1) UU No 48/2009 tentang kekuasaan kehakiman, Pasal 32 UU No 3/2009 tentang MA, dan Pasal 20A Ayat (1) Huruf (d) UU No 18/2011 tentang Komisi Yudisial (KY).

Proses kemandirian kekuasaan yudikatif (MA) cukup panjang. Sebelumnya, kekuasaan kehakiman (yudikatif) yang menyangkut administrasi dan finansial berada di bawah pemerintah (cq Menteri Kehakiman/Kementerian Hukum dan HAM), sedangkan yang menyangkut teknis yudikatif (peradilan) berada di bawah MA. Karena sistem itu sangat bertentangan dengan konstitusi UUD 1945, lahirlah Ketetapan MPR No X/1998 yang menetapkan kekuasaan kehakiman bebas dan terpisah dari kekuasaan eksekutif.

Ketetapan ini ditindaklanjuti UU No 35/1999 tentang kekuasaan kehakiman dengan Pasal 11 yang menyebutkan, ”Badan-badan peradilan di bawah MA, secara organisatoris, administratif, dan finansial, berada di bawah kekuasaan MA. Realisasi pengalihan manajerial kekuasaan kehakiman ke MA melahirkan Keputusan Presiden No 21/2004”.

Dengan pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial dari pemerintah ke MA, berarti seluruh masalah manajerial berada di pundak otoritas MA, tidak boleh dicampuri dan diintervensi kekuasaan mana pun, termasuk pemerintah dan atau Komisi Yudisial (KY). Dengan demikian, doktrin pemisahan kekuasaan seperti diajarkan Montesquieu dalam teori trias politica benar-benar menjadi realitas yang harus dijaga.

Sayangnya, saat pembentukan undang-undang keempat badan peradilan (UU Peradilan Umum, Agama, TUN, dan Militer), MA selaku user dari UU tersebut tidak pernah dilibatkan untuk membahasnya sehingga berbagai regulasi terkait dengan kewenangan MA kembali dicampuri oleh kekuasaan lain, yakni KY.

Mencampuri independensi

Akibat dimasukkannya kewenangan KY ke dalam UU peradilan, timbul isu dalam praktik, ada kecenderungan KY merongrong independensi kewenangan lembaga yudikatif tertinggi (MA), seperti penerimaan calon hakim, mutasi dan promosi hakim, pemilihan ketua/wakil ketua MA, dan usulan MA atas calon hakim Mahkamah Konstitusi.

Pelibatan KY dalam seleksi calon hakim dalam UU peradilan umum, agama, TUN adalah salah satu contoh campur tangan kekuasaan eksekutif (dalam hal ini KY) terhadap lembaga yudikatif sehingga bisa memengaruhi tugas administratif badan peradilan. Menurut penulis, semua bentuk campur tangan KY dalam UU badan peradilan di bawah MA terkait kewenangan manajerial harus dicabut.
Menurut UU No 18/2011 tentang KY, tugas pokok dan fungsi KY hanyalah bersifat ekstra yudisial, yakni mengusulkan pengangkatan hakim agung kepada DPR dan menegakkan kehormatan serta menjaga perilaku hakim.

Profesionalitas hakim terletak pada independensi hakim dalam mengadili dan memutus perkara. Hal ini ditegaskan Pasal 20A Ayat (1) Huruf (d) UU No 18/2011 tentang KY. Dalam hal melaksanakan tugasnya, KY wajib menjaga kemandirian hakim dalam mengadili dan memutus perkara. Jika KY menilai ada kecenderungan dugaan terima suap, KY dapat memeriksa hakim terlapor sesuai aturan hukum dan mekanisme tugas pokok KY.

Menyangkut teknis perkara bukanlah ranah KY, melainkan merupakan independensi hakim. Sekalipun dalam putusan hakim ada dugaan suap dalam pengambilan putusan, putusan itu tetap sah menurut hukum. Yang bisa membatalkan atau menguatkan putusan hanyalah putusan pengadilan di atasnya lewat upaya hukum.

Cukup banyak dugaan kasus perkara atau dugaan pelanggaran kode etik hakim (dari tingkat pertama, banding, hingga kasasi) yang belum pernah diputuskan bersalah oleh Majelis Kehormatan Hakim (MKH) tiba-tiba sudah muncul dalam berita di sejumlah media. Semestinya kesalahan yang belum jelas dasar hukumnya tidak boleh disebarluaskan KY.

KY seharusnya bertanggung jawab melindungi/menjaga harkat dan martabat hakim, bukan mencemarkan nama baik para hakim. Sikap KY ini telah melanggar UUD 1945 dan UU KY. Ini sangat berbahaya dan meresahkan para hakim di seluruh Indonesia.

Menurut UU KY, yang mengawasi perilaku hakim adalah komisioner KY, bukan penghubung KY seperti layaknya LSM. Kedudukan jabatan hakim itu sebagai profesi terhormat (officium nobile) dan mulia. Bukankah sudah ada pengadilan tinggi yang merupakan kawal depan MA untuk mengawasi dan membina hakim selaku pejabat negara?

Menjaga kerahasiaan

Menurut Pasal 20A Ayat (1) Huruf (c) UU No 18/2011 tentang KY, dalam melaksanakan tugasnya KY wajib menjaga kerahasiaan informasi yang diperoleh.

Jika hal itu dilanggar, sesuai Pasal 20A Ayat (2) UU No 18/2011, komisioner KY dapat dikenai sanksi dan atau dapat dipidana melanggar Pasal 310-311 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pencemaran nama baik.
Jika KY terus mengganggu kinerja badan peradilan, saatnya dipikirkan oleh pemerintah agar kedudukan KY disetarakan dengan kedudukan Komisi Kejaksaan, Komisi Kepolisian, yang hanya diatur oleh keputusan presiden tanpa harus diatur oleh Konstitusi sebagaimana rencana pemerintah Joko Widodo membubarkan 40 lagi lembaga (Kompas, 14/12/2014).

Atau setidaknya ke depan (tahun 2015) jabatan ketua KY harus dirangkap oleh ketua MA (secara ex officio) seperti yang terjadi di AS dan Australia sehingga tercipta hubungan harmonisasi sinergis antara MA dan KY sebagai partner kerja untuk mewujudkan ”badan peradilan Indonesia yang agung”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar