ASEAN,
Pekarangan Strategis Indonesia
Rene L Pattiradjawane ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 07 Januari 2015
PADA Kamis, 8
Januari, Menteri Luar Negeri RI Retno LP Marsudi menyampaikan pidato
tahunannya, mengikuti tradisi Kementerian Luar Negeri selama ini. Pada 7
Januari 2014, Menlu Marty Natalegawa dalam acara yang sama secara tegas
menggambarkan kebijakan luar negeri RI ditujukan mengatasi tiga tantangan di
kawasan Asia Pasifik.
Ketiga bentuk
tantangan ini adalah berkurangnya rasa saling percaya, sengketa wilayah,
serta perubahan geopolitik dan geoekonomi. Kebijakan Menlu Marty ketika itu
diarahkan bagaimana mengubah defisit kepercayaan menjadi kebijakan
komprehensif kepercayaan strategis (strategic
trust) melalui Doktrin Natalegawa tentang kesetimbangan dinamis, sebagai
prasyarat tidak adanya dominasi negara besar di kawasan.
Kali ini,
belum terlalu jelas rancangan kebijakan luar negeri yang akan disampaikan
Menlu Retno karena dalam dua bulan terakhir ini tidak mudah memahami apa saja
yang dilakukan Kemlu, khususnya terkait perubahan-perubahan strategis secara
regional dan global. Menlu diharapkan bisa memaparkan cetak biru konsep
Presiden Joko Widodo tentang poros maritim agar tidak menjadi simbolisme
teritorial saja.
Kita tidak
melihat, misalnya, peran Kemlu ketika penangkapan kapal-kapal ikan asing yang
diduga mencuri ikan di wilayah perairan Indonesia ketika Menteri Kelautan dan
Perikanan Susi Pudjiastuti gencar keliling Indonesia memerintahkan pembakaran
dan pengeboman kapal-kapal ikan asing.
Akibatnya,
ketika beberapa kapal ikan Tiongkok yang ditangkap, Susi pun kebingungan
melihat kenyataan di lapangan ada kapal ikan milik Tiongkok berawak Tionghoa,
tetapi berbendera Indonesia di Laut Arafura. Persoalan ini memang tidak
menjadi polemik diplomasi, tetapi mengundang kegeraman negara tetangga ASEAN
melihat Indonesia menjalankan ”tebang pilih” penangkapan kapal ikan asing.
Harian
Bangkok Post dalam tajuknya berjudul ”Indonesia
is Wrong” edisi 5 Januari lalu menulis kalau tindakan destruktif yang
agresif ini sebagai, ”…unwelcome,
undiplomatic, and frankly unfriendly towards its ASEAN partners and
neighbours….” Harian ini menulis akan ada retaliasi atas apa yang
dilakukan terhadap kapal-kapal ikan milik Thailand dan Vietnam sebagai sesama
negara ASEAN sebagai tindakan tidak bersahabat.
Ada beberapa
faktor menarik, yang perlu disimak dalam pidato yang akan disampaikan Menlu
Retno besok, terutama terkait dengan masalah kapal-kapal ikan ini. Pertama,
bagaimana Kemlu dalam lima tahun ke depan menata hubungan bertetangga dengan
ASEAN yang selama ini kita anggap sebagai ”pekarangan strategis” Indonesia,
yang menjamin terciptanya stabilitas dan perdamaian yang kondusif bagi
pembangunan nasional selama lima dekade terakhir ini.
Ketika
kapal-kapal Tiongkok yang ditangkap serta Menteri Kelautan dan Perikanan
menghadapi kebuntuan dalam menindak, akan muncul pertanyaan strategis apakah
Tiongkok itu negara tetangga setara negara ASEAN, atau hanya negara sahabat
yang besar dengan agenda hegemoni sendiri? Kondisi ini akan memojokkan kita
dalam ”dilema regional” mengancam integritas terbentuknya Komunitas ASEAN
2015.
Kedua,
bagaimana Kemlu memaparkan sinkronisasi antarkementerian dalam mewujudkan
gagasan poros maritim dalam merumuskan agenda-agenda kebijakan luar negeri,
terutama menyangkut mekanisme kerja sama dengan negara-negara asing,
khususnya dengan negara-negara ASEAN.
Yang harus
dipahami bersama, ASEAN adalah tetangga dan sahabat dekat Indonesia sebagai
”pekarangan strategis” kita. Posisi kebijakan luar negeri kita adalah
mendorong kepentingan bersama ASEAN, termasuk aktif dalam persoalan konflik
integritas teritorial menghadapi perilaku asertif RRT yang bukan tetangga.
Sejak awal kita berprinsip Indonesia adalah ASEAN, ASEAN adalah Indonesia. Ini
tidak boleh berubah! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar