Kurikulum
versi Ki Hadjar
Ki Supriyoko ; Wakil Ketua Umum Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa;
Direktur Pascasarjana Pendidikan
Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta
|
KOMPAS, 05 Januari 2015
Ketika penulis atas nama pimpinan
Perguruan Nasional Tamansiswa menerima kunjungan Joko Widodo tanggal 3 Mei
2014 di Kompleks Pendopo Agung Tamansiswa Yogyakarta tempat Ki Hadjar
Dewantara mendidik cantrik dan mentriknya, ia berbicara mantap mengenai
pentingnya pendidikan karakter bagi anak didik.
Di depan rumah Bapak Pendidikan
Nasional Ki Hadjar yang sekarang menjadi Museum Dewantara Kirti Griya, dan di
hadapan ratusan pamong dan siswa Tamansiswa, Joko Widodo (Jokowi) dengan
gamblang menyatakan sekitar 75 persen kurikulum pendidikan dasar adalah karakter,
sekitar 50 persen kurikulum pendidikan menengah adalah karakter, dan sekitar
25 persen kurikulum pendidikan tinggi adalah karakter.
Boleh jadi permasalahan karakter
itulah yang sesungguhnya menjadi ”pertimbangan tersembunyi” Anies Baswedan
sebagai menteri pendidikan untuk menghentikan implementasi Kurikulum 2013 di
luar 6.221 sekolah (uji coba).
Sebab, Kurikulum 2013 dianggap
tidak optimal mengakomodasi pendidikan karakter sebagaimana ditekankan
Jokowi, maka dihentikanlah kurikulum baru tersebut. Jokowi adalah presiden
dan Anies Baswedan sebagai menteri pendidikan adalah pembantunya.
Ruh
pendidikan
Karakter, Ki Hadjar menyebutnya
sebagai budi pekerti, merupakan inti dari pendidikan, bahkan ada yang
menyebutnya sebagai ruh pendidikan.
Bagi Ki Hadjar, pendidikan harus
mampu menuntun tumbuhnya karakter dalam hidup Sang Anak (anak didik) supaya
mereka kelak menjadi manusia berpribadi yang beradab dan susila.
Kecerdasan memang diperlukan
segenap anak didik, tetapi karakter lebih diperlukan. Kecerdasan tanpa
diimbangi karakter justru akan menjerumuskan kehidupan anak didik itu
sendiri.
Dalam konteks pengembangan
kurikulum, maka substansi pendidikan karakter bersifat mutlak.
Permasalahannya, apakah pendidikan karakter harus menjadi mata pelajaran?
Dalam hal ini Ki Hadjar bersikap bijak dengan menyatakan pendidikan karakter
itu wajib diberikan kepada anak meskipun tidak harus menjadi mata pelajaran
tersendiri. Ini berarti pendidikan karakter bisa menjadi mata pelajaran
tersendiri, tetapi bisa juga terintegrasi pada mata pelajaran lain.
Bagaimana cara menyampaikan
pendidikan karakter? Menurut Ki Hadjar ada empat tingkatan, yakni syari’at,
hakikat, tarikat, dan makrifat.
Tingkat syari’at cocok diberikan
kepada anak yang sangat muda, dalam hal ini anak TK. Metodenya dengan
membiasakan berperilaku baik menurut ukuran umum, misalnya mengucapkan salam
ketika bertemu teman, memberikan hormat ketika bertemu guru, dan mencium
tangan ketika berhadapan dengan orangtua.
Tingkat hakikat cocok diberikan
kepada murid SD. Anak dibiasakan berperilaku baik menurut ukuran umum, dalam
waktu bersamaan diberi pengertian mengapa harus berbuat demikian.
Contohnya, di samping dibiasakan
mengucapkan salam sewaktu bertemu teman, mereka juga diberi pengertian
tentang pentingnya mengucap salam itu; misalnya dapat menimbulkan ikatan hati
dan keakraban lahir-batin antarteman.
Tingkat tarikat cocok diberikan
kepada siswa SMP. Siswa dibiasakan berperilaku baik, diberi pengertian
pentingnya hal itu dilakukan; bersamaan waktunya disertai aktivitas pendukung
yang cocok.
Misalnya bagaimana anak-anak
tersebut berkesenian, berolah puisi, berolahraga, dan bersastraria sambil
berolah budi. Contohnya adalah anak-anak SMP dilatih menari ”halus” sambil
dijelaskan makna gerakan yang ada di dalamnya untuk menanamkan karakter.
Tingkat makrifat cocok diberikan
kepada siswa SMA. Anak disentuh pemahaman dan kesadarannya sehingga
berperilaku baik bukan sekadar kebiasaan, melainkan berkesadaran di lubuk
hatinya untuk melakukan hal tersebut. Sang anak mengerti maksud berperilaku
baik; dan perilakunya tersebut dijalankan berdasarkan kesadaran diri.
Semua
guru
Apakah pendidikan karakter hanya
diberikan oleh guru Agama dan guru PKn? Tidak! Di majalah Poesara edisi
Februari 1954, Ki Hadjar menyatakan, pendidikan karakter wajib disampaikan
kepada siswa oleh semua guru.
”Pengajaran
budi pekerti sebaiknya diberikan secara spontan oleh sekalian pamong, setiap
ada kesempatan dan tidak harus menurut daftar pelajaran. Pendidikan budi
pekerti harus diberikan oleh tiap-tiap pamong, baik mengajarkan bahasa,
sejarah, kebudayaan maupun ilmu alam, ilmu pasti, menggambar, dan
sebagainya,”
tulisnya.
Jelas sekali bahwa pendidikan
karakter itu harus disampaikan oleh semua guru di sekolah. Dalam hal ini oleh
guru kelas I-VI di SD berbasis guru kelas; guru kelas VII-IX pengampu mata
pelajaran apa pun di SMP yang berbasis guru mata pelajaran; serta guru kelas
X-XII pengampu mata pelajaran apa pun di SMA dan SMK yang berbasis guru mata
pelajaran.
Konsep pendidikan karakter Ki
Hadjar tersebut sesungguhnya memberi arahan yang jelas dalam pengembangan
kurikulum pendidikan kita baik secara substansif, metodologis, maupun teknis
pelaksanaan.
Kiranya apa yang dinyatakan Jokowi
di depan rumah Ki Hadjar tempo hari
sangat in line dengan konsep pendidikan karakter Ki Hadjar. Apakah hal
ini akan ditindaklanjuti oleh Anies Baswedan dalam pengembangan kurikulum
pendidikan kita?
Semoga demikian adanya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar