Gus
Dur Kitab Bangsa
Asep Salahudin ; Dekan Fakultas Syariah IAILM Tasikmalaya;
Peneliti di Lakpesdam PWNU Jawa
Barat
|
MEDIA
INDONESIA, 06 Januari 2015
PADA 30 Desember lima tahun lalu,
Gus Dur meninggalkan kita. Dengan membaca jejak-jejak pemikiran Gus Dur hari
ini dalam konteks keumatan ialah sesuatu yang amat penting di tengah suasana
meruyaknya kekerasan, baik fisik maupun simbolis yang sedikit banyak dipicu
persoalan pemahaman keagamaan yang parsial, ahistoris, dan serbabipolar
dengan tendensi pengakuan yang kelewat batas, merasa paling benar sendiri
seraya menganggap liyan sebagai
keliru.
Gus Dur menawarkan gagasan
keagamaan moderat, inklusif, pluralis, transformatif, dan liberatif yang
dijangkarkan pada akar tradisi yang kokoh. Sehingga, pemahaman keagamaan yang
dibangunnya menjadi nampak komprehensif, baik dari sisi epistemologi maupun
aksiologi. Itu artinya, Gus Dur bukan hanya menganggit teologi keragaman,
namun juga masuk dalam palung pengalaman kemajemukan. Tidak saja
memperbincangkan pentingnya membangun masyarakat utama, tetapi itu menjadi
bagian tidak terpisahkan dari sosok yang tidak pernah henti melakukan
penguatan masyarakat sipil.
Dengan dinyalakannya balai
delibratif, ruang Islam secara kreatif didialogan Gus Dur dengan dunia Barat
atau pun Timur, dengan masa depan sekaligus silam, dengan ilmu ilmu sosial
mutakhir atau pun ushul fiqh klasik, lewat prinsip utama yang amat populer di
kalangan NU; al-muhafadzah `ala
al-qadim al-shalih wa alakhdzu ala al-jadid al-ashlah (merawat tradisi yang bagus dan mengambil
sisi modernitas yang lebih bagus).
Di tangannya, Islam hadir menjadi
mewajahkan rupa yang modern (seperti gagasan demokrasi yang dikembangkannya),
kosmopolit, dan sangat adaptif terhadap dinamika budaya lokal sebagaimana
tecermin dari ijtihad `pribumisasi
Islam'. Tentu pada saat yang sama, Gus Dur sangat menentang segala hal yang
berbau ideologisasi, purifikasi, dan syariatisasi Islam. Dengan menampik
apapun yang dipandang bertendensi mengecilkan Islam menjadi sekadar urusan
legal formal.
Inilah sisi kelebihan lainnya;
dalam mengartikulasikan seluruh gagasannya itu terutama pada fase-fase awal,
Gus Dur menuangkannya dalam senarai makalah yang jernih, sistematis,
mendalam, kontemplatif, dan reflektif.Sebagaimana bisa dilacak pada
tulisan-tulisannya yang dimuat di jurnal ilmu sosial terkemuka Prisma periode
1975-1991. Di tangan Gus Dur, tulisan-tulisan yang sangat ketat dan polemis
seperti ini menjadi bisa dipahami khalayak umatnya karena kepiawaiannya
menurunkan bahasa ilmiah menjadi mudah dipahami dan terlebih dipadukan dengan
model komunikasinya yang cair dan sarat humor khas pesantren.
Gagasan yang ditatingnya itu bukan
hanya mempercakapkan tema keagamaan (Penafsiran
Kembali Ajaran Agama, yakni Dua Kasus dari Jombang, Prisma, 1978; Agama,
Ideologi, dan Pembangunan, Prisma, 1980), namun juga tema yang sangat
luas, seperti Menganalisis politik (Reidilogisasi
dan Retradisionalisasi dalam Politik, Prisma, 1985), hak asasi manusia (Mencari Perspektif Baru Penegakan Hak
Asasi Manusia, Prisma, 1979), pendidikan (Pesantren, Pendidikan Politis atau Populis? Prisma, 1976), sosial
(Mahdiisme dan Protes Sosial, Prisma,
1977), isu internasional (Timur tengah, yakni Panorama Pergolakan tak Kunjung Berhenti, Prisma, 1978), militer
(Islam dan Militerisme dalam Lintasan
Sejarah, Prisma, 1980), kebudayaan (Penafsiran
Teoritis terhadap Hasil penelitian Orientasi Sosial Budaya di Lima Daerah,
Prisma) dan tentu yang berhubungan dengan NU.
Keislaman
Gus Dur sebagai sosok yang lintas
batas. Pribadi yang tidak pernah khawatir terhadap seluruh pemikiran yang
dilontarkan dan diyakininya. Pergaulannya bukan hanya dengan sesama muslim,
bahkan sangat intens melakukan perkawanan dan pembelaan terhadap mereka yang
berbeda agama. Dalam ungkapan kawannya, Frans Magnis Suseno, “Gus Dur adalah
seorang yang menghayati agama Islam secara sangat terbuka. Ia sosok pribadi
yang bebas dari segala kepicikan. Ia benar-benar seorang muslim dan
keislamannya begitu mantap sehingga ia merasa tidak terancam oleh
pluralitas.“
Kitab `Islamku, Islam Anda, dan
Islam Kita' karya Gus Dur bisa menjadi jembatan un tuk mengaji secara utuh pe
mikirannya, terutama tentang Islam relasinya dengan isu-isu mutakhir, seperti
nasionalisme, demokrasi, negara, kapitalisme, sosialisme, dan globalisasi.
Melalui buku itu, Gus Dur memetakan tiga bentuk `keislaman'. Pertama, Islamku
(keberagamaan yang bersifat personal dan pengalaman subjektif menggetarkan
seperti ini tidak boleh dipaksakan kepada liyan. Islamku sebagai bagian dari
kehangatan religiositas, dari penghayatan iman yang otentik); kedua, Islam
Anda (Islam yang berlandaskan pada keyakinan yang mengharuskan penghormatan
tinggi terhadap keyakinan di luar dirinya, baik yang sama maupun berbeda);
Ketiga, Islam Kita (Islam yang ditarik kepada kesadaran ke bersamaan atau
keki taan dengan cita-cita utama mewujudkan kesejahteraan rakyat atau al-mashalih al ra'iyah, kohesivitas,
relasi sosial yang egal itarian, daulat NKRI, dan lain sebagainya).
Gus Dur memaknai Islam secara
hakikat. Dengan ditafsirkannya kata al-silmi
dalam udkhulu fi al-Silmi kaffah (QS 2/al-Baqarah: 208), sebagai atribut
kedamaian yang tidak menghajatkan sistem resmi untuk menjabar kannya, tidak
ada kai tannya dengan Islam sebagai sebuah institusi apalagi dihubungkan
dengan negara. Al-silm isebagai etika sosial yang bersifat imperatif dan
universal. Itu dimaknai hifdud din
oleh Gus Dur, yang berarti notabene satu dari lima maqashid asy-syariah sebagai kebebasan beragama.
Hubungan Islam dengan negara bagi
Gus Dur sudah sangat terang, “Islam
janganlah dihayati sebagai ideologi alternatif. Ia harus dilihat sebagai
hanya salah satu elemen ideologis yang melengkapi bangunan keindonesiaan yang
telah terbentuk... Dari sudut akidah, hak orang Islam memang lebih tinggi
dari penganut agama lain. Tapi, Indonesia bukan negara Islam.“ Islam dan
nasionalisme tidak diperlawankan secara berhadap-hadapan, tetapi dirumuskan
dalam satu tarikan nafas.
Konteks
keindonesiaan
Tidak kalah pentingnya hari ini
ialah membumikan kitab Gus Dur yang berkaitan dengan politik kebangsaan,
justru di tengah suasana keindonesiaan yang sering disekap situasi gelap yang
berpangkal pada defisit etika dan surplus hawa nafsu. Situasi itu tidak hanya
mengepung domain politik, tetapi juga ekonomi, sosial, dan kebudayaan.
Dengan merenungkan politik ala Gus
Dur, amat signifikan ketika politik sekarang menjadi semacam medan gelap
belantara, tempat satu serigala dengan lainnya saling menerkam (homo homini lupus). Politik menjadi
identik dengan muslihat. Padahal, politik seperti dibilang Gus Dur, yakni
harus berkhidmat pada kemanusiaan. Bukankah atas nama itu Gus Dur tak gentar
membela hak-hak minoritas, mengu sulkan pencabutan TAP MPR XXV tahun 1966
(tentang pelarangan komunisme), bahkan juga membela Inul Daratista. Fitrah
politik (dan agama) bagi Gus Dur harus diacukan pada semangat pemuliaan
terhadap pluralisme. Pluralisme yang diimaninya sebagai satu ikhtiar.Tidak
saja sebatas memaklumi keragaman, tetapi menjadikannya sebagai bagian
eksistensialisme dari kepribadian kita, di samping pluralisme sebagai saluran
memperkuat kelembagaan politik dan juga membenahi perilaku orang-orangnya.
Gus Dur seolah memberikan tausiyah
yang terus menggema bahwa politik keindonesiaan hanya bisa waras kalau etika
dijadikan haluannya. Seperti keyakinan Gus Dur sendiri, “...Moralitas agama tidak hanya dikembangkan untuk mencari jalan
bagaimana seseorang untuk masuk surga, tetapi juga perlu dikembangkan menjadi
pedoman berpolitik yang dapat dipercaya.“
Dengan membaca Gus Dur, kita
seperti berhadapan dengan sebuah labirin. Seperti memasuki rumah dengan
halaman luas dan kamar yang banyak. Setiap pembaca dapat mengambilnya dari
sudut yang berbeda, mungkin juga menghasilkan kesimpulan tidak serupa. Yang
jelas upacara haul ialah upaya menafsir kembali sosok Gus Dur dan senarai
pemikirannya untuk mempercepat terwujudnya masyarakat utama.
Semoga Gus Dur damai di alam baka
dan juga pemikirannya mengilhami terwujudnya kedamaian di bumi Nusantara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar