Kamis, 08 Januari 2015

Gus Dur Kitab Bangsa

Gus Dur Kitab Bangsa

Asep Salahudin  ;  Dekan Fakultas Syariah IAILM Tasikmalaya;
Peneliti di Lakpesdam PWNU Jawa Barat
MEDIA INDONESIA,  06 Januari 2015

                                                                                                                       


PADA 30 Desember lima tahun lalu, Gus Dur meninggalkan kita. Dengan membaca jejak-jejak pemikiran Gus Dur hari ini dalam konteks keumatan ialah sesuatu yang amat penting di tengah suasana meruyaknya kekerasan, baik fisik maupun simbolis yang sedikit banyak dipicu persoalan pemahaman keagamaan yang parsial, ahistoris, dan serbabipolar dengan tendensi pengakuan yang kelewat batas, merasa paling benar sendiri seraya menganggap liyan sebagai keliru.

Gus Dur menawarkan gagasan keagamaan moderat, inklusif, pluralis, transformatif, dan liberatif yang dijangkarkan pada akar tradisi yang kokoh. Sehingga, pemahaman keagamaan yang dibangunnya menjadi nampak komprehensif, baik dari sisi epistemologi maupun aksiologi. Itu artinya, Gus Dur bukan hanya menganggit teologi keragaman, namun juga masuk dalam palung pengalaman kemajemukan. Tidak saja memperbincangkan pentingnya membangun masyarakat utama, tetapi itu menjadi bagian tidak terpisahkan dari sosok yang tidak pernah henti melakukan penguatan masyarakat sipil.

Dengan dinyalakannya balai delibratif, ruang Islam secara kreatif didialogan Gus Dur dengan dunia Barat atau pun Timur, dengan masa depan sekaligus silam, dengan ilmu ilmu sosial mutakhir atau pun ushul fiqh klasik, lewat prinsip utama yang amat populer di kalangan NU; al-muhafadzah `ala al-qadim al-shalih wa alakhdzu ala al-jadid al-ashlah (merawat tradisi yang bagus dan mengambil sisi modernitas yang lebih bagus).

Di tangannya, Islam hadir menjadi mewajahkan rupa yang modern (seperti gagasan demokrasi yang dikembangkannya), kosmopolit, dan sangat adaptif terhadap dinamika budaya lokal sebagaimana tecermin dari ijtihad `pribumisasi Islam'. Tentu pada saat yang sama, Gus Dur sangat menentang segala hal yang berbau ideologisasi, purifikasi, dan syariatisasi Islam. Dengan menampik apapun yang dipandang bertendensi mengecilkan Islam menjadi sekadar urusan legal formal.

Inilah sisi kelebihan lainnya; dalam mengartikulasikan seluruh gagasannya itu terutama pada fase-fase awal, Gus Dur menuangkannya dalam senarai makalah yang jernih, sistematis, mendalam, kontemplatif, dan reflektif.Sebagaimana bisa dilacak pada tulisan-tulisannya yang dimuat di jurnal ilmu sosial terkemuka Prisma periode 1975-1991. Di tangan Gus Dur, tulisan-tulisan yang sangat ketat dan polemis seperti ini menjadi bisa dipahami khalayak umatnya karena kepiawaiannya menurunkan bahasa ilmiah menjadi mudah dipahami dan terlebih dipadukan dengan model komunikasinya yang cair dan sarat humor khas pesantren.

Gagasan yang ditatingnya itu bukan hanya mempercakapkan tema keagamaan (Penafsiran Kembali Ajaran Agama, yakni Dua Kasus dari Jombang, Prisma, 1978; Agama, Ideologi, dan Pembangunan, Prisma, 1980), namun juga tema yang sangat luas, seperti Menganalisis politik (Reidilogisasi dan Retradisionalisasi dalam Politik, Prisma, 1985), hak asasi manusia (Mencari Perspektif Baru Penegakan Hak Asasi Manusia, Prisma, 1979), pendidikan (Pesantren, Pendidikan Politis atau Populis? Prisma, 1976), sosial (Mahdiisme dan Protes Sosial, Prisma, 1977), isu internasional (Timur tengah, yakni Panorama Pergolakan tak Kunjung Berhenti, Prisma, 1978), militer (Islam dan Militerisme dalam Lintasan Sejarah, Prisma, 1980), kebudayaan (Penafsiran Teoritis terhadap Hasil penelitian Orientasi Sosial Budaya di Lima Daerah, Prisma) dan tentu yang berhubungan dengan NU.

Keislaman

Gus Dur sebagai sosok yang lintas batas. Pribadi yang tidak pernah khawatir terhadap seluruh pemikiran yang dilontarkan dan diyakininya. Pergaulannya bukan hanya dengan sesama muslim, bahkan sangat intens melakukan perkawanan dan pembelaan terhadap mereka yang berbeda agama. Dalam ungkapan kawannya, Frans Magnis Suseno, “Gus Dur adalah seorang yang menghayati agama Islam secara sangat terbuka. Ia sosok pribadi yang bebas dari segala kepicikan. Ia benar-benar seorang muslim dan keislamannya begitu mantap sehingga ia merasa tidak terancam oleh pluralitas.“

Kitab `Islamku, Islam Anda, dan Islam Kita' karya Gus Dur bisa menjadi jembatan un tuk mengaji secara utuh pe mikirannya, terutama tentang Islam relasinya dengan isu-isu mutakhir, seperti nasionalisme, demokrasi, negara, kapitalisme, sosialisme, dan globalisasi. Melalui buku itu, Gus Dur memetakan tiga bentuk `keislaman'. Pertama, Islamku (keberagamaan yang bersifat personal dan pengalaman subjektif menggetarkan seperti ini tidak boleh dipaksakan kepada liyan. Islamku sebagai bagian dari kehangatan religiositas, dari penghayatan iman yang otentik); kedua, Islam Anda (Islam yang berlandaskan pada keyakinan yang mengharuskan penghormatan tinggi terhadap keyakinan di luar dirinya, baik yang sama maupun berbeda); Ketiga, Islam Kita (Islam yang ditarik kepada kesadaran ke bersamaan atau keki taan dengan cita-cita utama mewujudkan kesejahteraan rakyat atau al-mashalih al ra'iyah, kohesivitas, relasi sosial yang egal itarian, daulat NKRI, dan lain sebagainya).

Gus Dur memaknai Islam secara hakikat. Dengan ditafsirkannya kata al-silmi dalam udkhulu fi al-Silmi kaffah (QS 2/al-Baqarah: 208), sebagai atribut kedamaian yang tidak menghajatkan sistem resmi untuk menjabar kannya, tidak ada kai tannya dengan Islam sebagai sebuah institusi apalagi dihubungkan dengan negara. Al-silm isebagai etika sosial yang bersifat imperatif dan universal. Itu dimaknai hifdud din oleh Gus Dur, yang berarti notabene satu dari lima maqashid asy-syariah sebagai kebebasan beragama.

Hubungan Islam dengan negara bagi Gus Dur sudah sangat terang, “Islam janganlah dihayati sebagai ideologi alternatif. Ia harus dilihat sebagai hanya salah satu elemen ideologis yang melengkapi bangunan keindonesiaan yang telah terbentuk... Dari sudut akidah, hak orang Islam memang lebih tinggi dari penganut agama lain. Tapi, Indonesia bukan negara Islam.“ Islam dan nasionalisme tidak diperlawankan secara berhadap-hadapan, tetapi dirumuskan dalam satu tarikan nafas.

Konteks keindonesiaan

Tidak kalah pentingnya hari ini ialah membumikan kitab Gus Dur yang berkaitan dengan politik kebangsaan, justru di tengah suasana keindonesiaan yang sering disekap situasi gelap yang berpangkal pada defisit etika dan surplus hawa nafsu. Situasi itu tidak hanya mengepung domain politik, tetapi juga ekonomi, sosial, dan kebudayaan.

Dengan merenungkan politik ala Gus Dur, amat signifikan ketika politik sekarang menjadi semacam medan gelap belantara, tempat satu serigala dengan lainnya saling menerkam (homo homini lupus). Politik menjadi identik dengan muslihat. Padahal, politik seperti dibilang Gus Dur, yakni harus berkhidmat pada kemanusiaan. Bukankah atas nama itu Gus Dur tak gentar membela hak-hak minoritas, mengu sulkan pencabutan TAP MPR XXV tahun 1966 (tentang pelarangan komunisme), bahkan juga membela Inul Daratista. Fitrah politik (dan agama) bagi Gus Dur harus diacukan pada semangat pemuliaan terhadap pluralisme. Pluralisme yang diimaninya sebagai satu ikhtiar.Tidak saja sebatas memaklumi keragaman, tetapi menjadikannya sebagai bagian eksistensialisme dari kepribadian kita, di samping pluralisme sebagai saluran memperkuat kelembagaan politik dan juga membenahi perilaku orang-orangnya.

Gus Dur seolah memberikan tausiyah yang terus menggema bahwa politik keindonesiaan hanya bisa waras kalau etika dijadikan haluannya. Seperti keyakinan Gus Dur sendiri, “...Moralitas agama tidak hanya dikembangkan untuk mencari jalan bagaimana seseorang untuk masuk surga, tetapi juga perlu dikembangkan menjadi pedoman berpolitik yang dapat dipercaya.“

Dengan membaca Gus Dur, kita seperti berhadapan dengan sebuah labirin. Seperti memasuki rumah dengan halaman luas dan kamar yang banyak. Setiap pembaca dapat mengambilnya dari sudut yang berbeda, mungkin juga menghasilkan kesimpulan tidak serupa. Yang jelas upacara haul ialah upaya menafsir kembali sosok Gus Dur dan senarai pemikirannya untuk mempercepat terwujudnya masyarakat utama.

Semoga Gus Dur damai di alam baka dan juga pemikirannya mengilhami terwujudnya kedamaian di bumi Nusantara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar