Selasa, 06 Januari 2015

Mengawasi Dana Desa

Mengawasi Dana Desa

Mory Yana Gultom  ;  Asisten Ombudsman Republik Indonesia
JAWA POS,  05 Januari 2015

                                                                                                                       


Membangun desa adalah tugas utama pemerintahan yang memiliki banyak makna strategis. Sebab, jika rakyat di pedesaan memiliki suatu daya ekonomi, ekonomi seluruh bangsa akan merasakan manfaatnya. Itu sejalan dengan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang diikuti Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 sebagai peraturan pelaksananya.

Amanat UU tersebut sangat jelas. Secara yuridis, poin yang paling krusial adalah alokasi anggaran untuk desa. UU itu mengamanatkan bahwa 10 persen dari dana perimbangan di luar dana transfer daerah, setelah dikurangi dana alokasi khusus, akan diterima desa. Diperkirakan, jumlah tersebut bisa mencapai sekitar Rp 103,6 triliun yang akan dibagi ke 74.000 desa se-Indonesia. Dengan demikian, setiap desa akan memperoleh dana sekitar Rp 1,4 miliar per tahun. Tentu saja dana yang cukup besar tersebut menuntut desa melakukan perubahan, penguatan secara internal dalam organisasi pemerintahan desa yang lebih efektif, profesional, transparan, dan akuntabel.

Simalakama

Di satu sisi, dana yang digelontorkan itu merupakan elemen penting bagi keberhasilan pembangunan desa. Namun, di sisi lain, itu justru menjadi sebuah ancaman yang terbilang serius dan sangat istimewa (extraordinary) pada 2015 ini. Jika mengacu ke realitas masih kuatnya sikap dan perilaku seseorang atau sekelompok orang yang sedang berkuasa atau menjabat –tidak terkecuali yang menjadi kepala desa, sekretaris desa, dan seterusnya– potensi mereka terjerat dalam praktik penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) sangatlah besar.

Kita tidak bisa mengabaikan doktrin Lord Acton (1834–1902) yang menyebut ”Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely”. Kekuasaan itu cenderung untuk digunakan korupsi atau kekuasaan yang mutlak cenderung menjadikan seseorang berbuat korupsi secara mutlak pula. Kekuasaan di tingkat desa pun demikian, bahkan bisa dikatakan istimewa. Letak desa yang relatif terpencil (tersembunyi) membuat penguasanya cenderung lebih bebas berbuat sesuai kehendaknya. Siapa yang jadi penguasa di desa, ia mendapatkan kepercayaan secara yuridis untuk memerankan diri dalam mengelola dan mengendalikan sumber daya desa, termasuk sumber dana yang diperoleh dari pemerintahan pusat atau daerah. Ada kesan ”enggan” dari pihak pemerintah untuk mengawasi langsung.

Jabatan kepala desa pun potensial menjadi katalisator terjadinya korupsi. Ketika belum ada tawaran dana Rp 1 miliar lebih, tidak sedikit kepala desa yang jadi tersangka karena menyalahgunakan anggaran APBN/APBD. Sangat mungkin jumlah oknum itu semakin meningkat pasca pencairan dana desa.

Pengawasan

Untuk mencegah atau setidaknya meminimalkan kemungkinan aparat desa menyalahgunakan wewenang terkait dana yang tersedia, pengawasan menjadi sebuah hal yang tak boleh dikendurkan baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Pertama, pemerintah harus memastikan adanya keterbukaan informasi di seluruh lapisan masyarakat, hingga ke pelosok sekalipun. Masyarakat harus tahu, berapa besaran dana atau anggaran serta pengalokasiannya. Pentingnya sistem informasi pembangunan desa itu ditegaskan dalam pasal 86 UU Desa. Isinya, desa berhak mendapatkan akses informasi melalui sistem informasi desa yang dikembangkan pemerintah kabupaten/kota.

Sistem informasi yang dimaksud tak harus berbasis teknologi karena tidak relavan dengan kondisi lingkungan dan sosial. Termarginalnya desa dari akses informasi terlihat dari distribusi media cetak yang saat ini belum menjangkau sebagian besar kawasan pedesaan. Sedangkan siaran televisi umumnya masih menyajikan konten hiburan semata, terutama. Apalagi siaran radio, lebih sulit diakses karena jangkauan frekuensinya yang terbatas.

Karena itu, aparat desa perlu memublikasikan setiap informasi dengan selebaran yang ditempel di mading-mading kantor kepala desa. Mulai rencana alokasi hingga progres yang sudah dicapai. Dengan demikian, masyarakat yang datang untuk urusan tertentu ke kantor kepala desa dapat mengetahui perkembangan yang ada.

Kedua, sistem informasi sederhana itu harus dilengkapi media pengaduan yang dapat diberdayakan masyarakat. Misalnya, nomor telepon atau nomor tujuan pesan layanan singkat yang melalui itu masyarakat dapat dengan aktif melaporkan segala hal yang dianggap atau diduga merupakan penyimpangan prosedur atau kemungkinan maladministrasi kepada pemerintah pengelola pengaduan.

Ketiga, sejalan dengan Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014, gerakan pembangunan harus bertumpu pada kekuatan rakyat. Rakyatlah yang tahu persoalan desa secara kontekstual, rakyat juga lebih mengerti kekuatan dan kelemahnnya, mereka pula yang tahu kebutuhan mereka yang paling prioritas, pun mengukur tingkat keberhasilan pembangunannya. Intinya, masyarakat berdaulat penuh atas desanya, atas wilayahnya.

Untuk itu, diperlukan kepercayaan penuh terhadap masyarakat. Pemerintah harus yakin bahwa masyarakat desa mau dan mampu bekerja untuk desanya. Sebuah hal yang sangat sulit dilakukan oleh pemerintah pada umumnya. Yang sering menerapkan pola pikir bahwa warga desa tidak akan mampu mengelola pemerintahan sebagaimana mestinya.

Namun, harus diingat: Memberikan kepercayaan tidak berarti pemerintah lepas tangan dan melimpahkan tanggung jawab kepada aparat desa. SKPD wajib terjun/blusukan melakukan pendampingan, pendidikan manajerial, hingga pengawasan serta pengevaluasian kinerja secara berkala, sebagaimana diamanatkan dalam UU Nomor 25 Tahun 2009 pasal 10 ayat 1 tentang Pelayanan Publik.

Pada intinya, memberikan gelontoran dana dalam jumlah yang relatif besar kepada setiap desa memaksa pemerintah bekerja lebih hati-hati dan bijaksana. Negara harus hadir di tengah-tengah desa. Pun, harus mampu melibatkan masyarakat agar mengawasi aparatur secara aktif. Jika tidak, pengalokasian dana desa yang tak sedikit itu tidak lebih dari sebuah sumber ”proyek” baru yang akan dimanfaatkan oknum-oknum baru pula, bukannya mencapai sasaran pembangunan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar