Senin, 17 November 2014

Radikalisme Sektarian

                                             Radikalisme Sektarian

Seno Gumira Ajidarma ;  Wartawan
KORAN TEMPO,  17 November 2014

                                                                                                                       


Pada hari ini, di negeri ini, dalam konteks masa kini, di manakah tempatnya ideologi dalam pengertian sempit yang dapat dirumuskan sebagai radikalisme sektarian?

Radikalisme tercatat sebagai kecenderungan untuk mendorong pandangan dan tindakan politik menuju titik ekstrem. Asosiasi radikalisme adalah selalu ketidakpuasan terhadap status quo dan suatu seruan bagi perubahan sosial-politik. Namun makna kata radikalisme dalam perbedaan waktu dan tempat telah selalu berubah, mulai dari yang moderat sampai yang pada umumnya kekiri-kirian, meski tak jarang sangat kanan seperti fasisme dan naziisme. Istilah ini juga digunakan secara luas sebagai disposisi untuk menantang pandangan mapan dalam setiap usaha keras manusia, termasuk dalam kesenian dan kesarjanaan (Labedz dalam Bullock & Trombley, 1999: 722-3).

Secara historis, setidaknya sejak kata ini terhubungkan dengan konteks politik Inggris pada 1689 dalam perkara Penyelesaian Konstitusional (Constitutional Settlement), tujuan kaum Radikal adalah menegaskan kembali keyakinan atas "semangat sejati", dan menemukan dasar bagi kemandirian politik wakil-wakil rakyat. Dalam radikalisme selalu terkandung pemikiran yang menentang stratifikasi khalayak yang telah dianggap baku.

Mengacu kepada konsep semacam itu, tampaknya konotasi radikalisme baik-baik saja alias positif dan produktif sebagai ideologi kritis. Radikalisme dalam konteks Eropa abad ke-18, misalnya, Rousseau termasuk yang menegaskan betapa hak politik itu melekat bersama kelahiran manusia dan bahwa hak politik seseorang itu tak dapat ditarik kembali (Wangerman dalam Riff, 1995: 252-3).

Nah, jadi radikalisme macam apakah yang-layak-diberi konotasi negatif? Bagaimana dengan radikalisme sektarian? Adapun sektarian adalah kata sifat dari istilah sekte, yang digunakan untuk menjelaskan kelompok sosial eksklusif, yang bergerak di sekitar seorang pemimpin agama atau politik. Batas-batas biasanya jelas dan memisahkan mereka yang anggota atau yang bukan anggota. Keanggotaan adalah sukarela, tapi biasanya pula melibatkan komitmen total terhadap sektenya. Jika mengacu ke pengembangan istilah ini oleh Troeltsch (1865-1923) dalam kajiannya tentang kekristenan, sekte menghadirkan kembali ketersesatan, oposisi, dan penolakan dalam kontras terhadap otoritas yang resmi (Grimshaw dalam Bullock & Trombley, 1999: 778).

Menggabungkan pemikiran Rousseau yang positif dan Troeltsch yang negatif, dalam ketersesatannya kelompok radikal sektarian ini memiliki hak hidup, sehingga tak bisa "dibubarkan" karena keterbentukannya bukanlah ditentukan oleh pendaftaran, melainkan oleh kebutuhan bersama dalam ekspresi politik. Dalam hal ini, segenap gerakan maupun manuvernya yang terhubungkan dengan pemahaman politik identitas dapatlah diperiksa, yakni apa sajakah yang dilakukannya ketika menunjukkan kepada dunia siapakah diri mereka itu sebenarnya.

Dengan pengamatan, pemeriksaan, pembongkaran, pengkajian, dan pengungkapan kritis atas politik maupun proyek identitasnya, berlakulah prosedur yang memberi peluang berkeadilan: apakah dengan segala hak hidupnya itu, suatu kelompok radikal sektarian layak mendapat tempat untuk hidup, atau sebaiknya membubarkan diri sahaja.

Perilaku yang paling perlu diperiksa tentu perilakunya yang paling ekstrem: apakah radikalismenya merupakan proyek antikemapanan yang produktif, karena lantas mengembangkan lingkungan sosial-politiknya; ataukah merupakan proyek antikemapanan yang bukan hanya nonproduktif, tapi juga menjadi sumber kanker sosial-politik yang sangat potensial dalam penggerogotan hidup kebangsaan.

Adapun jika barang jualannya itu, antara lain, adalah rasisme, baiklah ditengok pula apakah rasisme itu: rasisme adalah suatu kebijakan terlembagakan, atas prasangka dan diskriminasi yang terarah kepada minoritas, melalui karakterisasi warna dan berbagai bentuk yang semestinyalah berbeda dengan kelompok-kelompok yang lebih berkuasa dan mapan. Apa yang disebut prasangka itu memburu sasaran yang bervariasi atas dasar stereotip sahaja dalam dalih prasangka atas ras, kelompok etnik, gender, dan juga agama. Patut disesalkan, sepanjang sejarah kehidupan manusia, perlawanan terhadap ideologi rasis hanya mengalami sangat sedikit kemajuan (Saunders dalam O'Sullivan et.al, 1994: 241, 256).

Sampai berapa lama kebodohan itu dibiarkan tetap berkeliaran? Di Indonesia, prasangka sudah lebih dari cukup dalam menimbulkan korban, mulai dari diskriminasi sosial-politik sampai pemerkosaan dan pembunuhan massal. Membiarkan kemungkinan itu hidup dan berkembang adalah langkah pertama menuju kehancuran. Itulah sebabnya, segenap penanda dan pembermaknaan radikalisme sektarian ini harus diungkapkan, demi tumbuhnya kesadaran generasi masa depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar