Kamis, 06 November 2014

Penjual Sate dan UU ITE

Penjual Sate dan UU ITE

Jamal Wiwoho  ;  Wakil Rektor II/Guru Besar
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
KORAN SINDO, 05 November 2014
                                                
                                                                                                                       


Dalam siaran televisi swasta nasional terlihat seorang ibu menangis tersedu-sedu dan mengiba untuk memohon maaf dan kalau perlu bersujud di depan presiden Joko Widodo, karena anaknya ditangkap oleh petugas Subdirektorat Cyber Crime Mabes Polri.

Usut punya usut ternyata Muhammad Arsyad Assegaf, 24, si tukang sate dan anak dari Ibu Mursidah itu diduga telah melakukan tindak pidana yang cukup berat yakni melakukan pelanggaran Undang-Undang Pornografi; Undang-Undang Informasi, dan Transaksi Elektronik serta KUHP.

Secara singkat, tindakan pidana itu karena MAA diduga telah memuat, memperbanyak serta menyebarluaskan melalui akun jejaring sosial Facebook yang berisi gambar/potongan-potongan gambar, foto, dan kalimat-kalimat yang tidak menyenangkan terhadap presiden ketujuh tersebut. Akibatnya, tindakannya dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pencemaran, penghinaan, dan pornografi dengan menggunakan perangkat komunikasi atau elektronik.

Bukan yang Pertama Kasus yang menimpa MAA sebagai dampak semakin berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi (TIK) di Indonesia bukanlah kasus baru dan pertama. Setidak-tidaknya masih ada dua lagi kasus serupa yang terjadi sebagai dampak pemberlakuan UU ITE itu.

Contohnya kasus yang menimpa Prita Mulya Sari. Kehebohan publik pernah muncul awal 2009 di kala Prita menulis melalui pesan terbatas pada email yang kemudian disebarluaskan kepada teman-temannya. Pada email tersebut, Prita mengeluhkan dan mempertanyakan berbagai hal sebagai pasien atas pelayanan Rumah Sakit Omni Internasional Alam Sutera Serpong Tangerang. Karena RS Omni Internasional merasa telah dicemarkan nama baiknya, kasus Prita pada 4 Juni 2009 untuk pertama kalinya diajukan ke meja hijau di Pengadilan Negeri Tangerang dengan dakwaan dari jaksa bahwa Prita telah melakukan pelanggaran Pasal 310, 311 KUHP dan atau Pasal 27 ayat (3) UU ITE.

Selain kasus Prita, kasus yang mendapatkan perhatian publik sebagai dampak adanya UU ITE dalam catatan penulis kasus Florence. Sekitar akhir Agustus tahun ini, bermula dari ketidakpuasan Florence Saulina Sihombing, seorang mahasiswi Universitas Gadjah Mada, atas layanan SPBU di Yogyakarta. Guna menumpahkan kekesalan tersebut, Florence kemudian menulis di akun Path dengan kata-kata yang membuat sebagian besar masyarakat Yogyakarta memerah daun telinganya.

Dalam akun Path tersebut, mahasiswi program Notariat UGM itu menulis antara lain: Jogjamu terlalu membosankan; Jogja sucks; Jogja membosankan; Apalah Jogja tanpa UGM; oh Sultan, plis mengertikah; Jogja miskin dan tak berbudaya; teman2 Jakarta-Bandung jangan tinggal di Jogja , dll.

Kicauan dalam Path tersiar ke akun Twitter, Facebook, WhatApps, Line, dan berbagai media sosial lainnya sehingga dengan sangat cepat pula kicauan Florence tersebut mendapat tanggapan yang sangat beragam, baik pro maupun kontra.

Mengantisipasi berbagai kemungkinan yang timbul dan dengan kurang kooperatifnya mahasiswi program notariat tersebut, polisi melakukan langkah cepat dengan memanggil, meminta keterangan dan akhirnya menahan Florence (walaupun dalam dua hari berikutnya dilakukan penangguhan penahanan).

Dalam skala yang sama, walau agak berbeda kualitasnya ketiga kasus tersebut (kasus MAA, kasus Prita, dan kasus Florence) secara normatif sandaran yang dipakai oleh aparat penegak hukum (polisi, jaksa, dan hakim) dalam menangani kasus tersebut sama. Penegak hukum mengenakan ketentuan Pasal310ayat (2) atau311KUHP tentang delik penghinaan yang disiarkan di muka umum/pencemaran nama baik dengan ancaman hukuman paling lama 4 tahun dan denda Rp4.500 (empat ribu lima ratus rupiah) serta UU No 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dengan ancaman hukuman maksimal 12 tahun (khusus kasus MAA).

Di samping menggunakan KUHP, karena perbuatan “kicauan” MAA, Prita, Florence itu dilakukan dengan perangkat teknologi informasi (TI) maka akibat pemberitaan tersebut dapat juga dikenakan ketentuan dalam UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Secara spesifik, Pasal 27 ayat (3) UU ITE tersebut menyatakan bahwa “setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Pelanggaran atas Pasal 27 ayat (3) tersebut diancam dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah).

Dalam tiga kasus tersebut, secara kasatmata timbul kesan bahwa tindak pidana dalam kasus MAA, Prita, Florence adalah delik biasa, artinya tanpa ada pengaduan orang yang merasa dirugikan maka polisi/ jaksa dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan bahkan melakukan penahanan pada pelaku.

Disisilain, penegakan hukum dalam kasus-kasus seperti ini masih belum adil dan masih terkesan tebang pilih. Jika pelakunya adalah orang “biasa”, aparat penegak hukum selalu sigap dan cepat untuk melakukan due process of law, namun manakala pelakunya adalah orang yang kuat dan berpengaruh maka aparat akan terkesan lamban dalam penanganannya.

“Kesan” ini seolah membenarkan bahwa hukum akan kuat menghujam ke bawah dan akan tumpul manakala ke atas. Sementara itu, penegakan hukum pada kasus seperti itu akan berbalik karena jika korban itu merupakan orang yang mempunyai akses kuat maka penegakannya bersifat cepat atau sesegera mungkin ditangani, dan sebaliknya jika korbannya orang yang tidak/sedikit akses maka penegakannya berjalan lamban.

Sementara itu jika dilihat dari optik berbeda yakni polisi, maka tindakan lembaga penegakan hukum untuk melakukan penangkapan hingga penahanan itu merupakan hak kepolisian karena delik tersebut merupakan delik umum atau delik biasa bukan merupakan delik aduan oleh karena itu ada atau tidak ada pengaduan (dari Jokowi) polisi pasti akan mengusut tuntas delik penghinaan yang dilakukan media sosial tersebut. Dilema UU ITE UU ITE belum disosialisasikan dengan baik, dampaknya sering sekali masyarakat tanpa sadar melakukan sesuatu perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran dalam konteks UU ITE tersebut.

Oleh karena itu, para pengguna media sosial di dunia maya harus berhati-hati dan bijak dalam menyebarluaskan informasinya kepada pihak ketiga. Biasanya para pengguna media sosial pernah mendengar undang-undang ITE, tetapi tidak pernah ada niatan untuk mencari dan membaca UU tersebut, padahal Pasal 27-37 Undang-Undang tersebut disadari dapat dipahami cukup jelas.

Namun demikian, dalam kasus MAA si penjual sate misalnya, harus dipahami bahwa tujuan penegakan hukum pidana adalah bagaimana mengembalikan kembali sebuah tatanan sosial yang awalnya terjadi disharmonisasi kemudian lahir dan muncul harmonisasi menuju perdamaian bersama dalam masyarakat.

Penulis meyakini bahwa otokritik pada pengguna media sosial tidak akan mungkin beredar sangat cepat jika tidak beredar ke media massa karena semua orang akan menjadi tahu. Namun demikian, harus diakui bahwa kebebasan menyampaikan pendapat di era elektronik dan digital ini harus tetap dijamin dengan menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan sopan santun serta jauh dari kata-kata kotor dan makimakian, kebencian, pornografi dan hal-hal yang bertentangan dengan etika, moral, dan hukum.

Mengakhiri tulisan ini, ada suatu hikmah yang kita petik kasus Muhammad Arsyad Assegaf yakni bahwa dalam era globalisasi dan demokratisasi maka sarana dan prasarana komunikasi sangatlah canggih dan dengan cepat berkembang ke seluruh penjuru dunia. Media sosial tengah menjadi bagian di tengah-tengah kemajemukan masyarakat dapat digunakan secara bijak untuk kepentingan-kepentingan yang positif. Namun demikian, jika tidak pandai-pandai memanfaatkan media sosial tersebut akan menimbulkan masalah yang sebaliknya bahkan akibatnya lebih mengerikan bagi penggunanya jika tidak tahu dan tidak hati-hati akan akibat hukumnya. Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar