Kamis, 06 November 2014

Legitimasi dan Peradaban

Legitimasi dan Peradaban

Dinna Wisnu  ;  Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi
Universitas Paramadina
KORAN SINDO, 05 November 2014
                                                
                                                                                                                       


Sebuah sistem membutuhkan legitimasi agar keberadaannya efektif dan berlangsung secara berkelanjutan. Legitimasi adalah pengakuan dari masyarakat akan kemanfaatan sistem tersebut bagi masyarakat yang menghidupinya.

Kali ini ada perlunya kita gali lagi konsep legitimasi tersebut karena dalam seminggu terakhir ini pandangan kita terpaksa mengarah ke Senayan, ke Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang selama ini kita hidupi sebagai bagian dari kegiatan bernegara. Sejak kemerdekaan, republik ini percaya bahwa DPR adalah tempat bagi wakil rakyat yang bertugas merumuskan ragam peraturan yang nantinya mendorong penerapan kebijakan dan program yang prorakyat.

Dalam tata tertib DPR, hal itu disebut sebagai fungsi legislasi.Di sisi lain, tertanam pula harapan bahwa DPR sebagai lembaga legislatif akan menjadi penyeimbang kekuatan eksekutif. Itu sebabnya DPR juga memegang fungsi penganggaran dan fungsi pengawasan. Para wakil rakyat tersebut kemudian punya hak mengatur alokasi anggaran dan mengawasi jalannya kebijakan pemerintah.

Karena fungsi-fungsi tersebut, adalah hal wajar akan terjadi pertentangan sengit di parlemen. Harapannya memang para wakil rakyat yang terdidik dan santun ini mampu untuk mengolah perbedaan pandangan itu secara elok. Setidaknya lebih elok daripada aksi unjuk rasa jalanan atau kegiatan main hakim sendiri. Singkatnya, jika DPR berfungsi dengan baik, masyarakat akan menurun minatnya untuk unjuk rasa dan main hakim sendiri.

Yang meresahkan saat ini adalah pertentangan sengit di DPR sudah mengarah pada kebuntuan komunikasi. Pertentangan antarfraksi yang terjadi di DPR bukanlah soal ideologis atau seputar penggodokan arah kebijakan negara, tetapi sekadar adu mulut dan saling ancam demi meraup sebanyak-banyaknya kursi pimpinan. Kursi pimpinan dianggap sebagai pencapaian utama karena asumsinya bisa mengarahkan agenda rapat dan menentukan keputusan. Di sinilah muncul problem karena atas legitimasi siapakah keputusan DPR diambil? Bukankah semua anggota DPR yang hadir di sana membawa tanggung jawab bersuara dan punya hak berharap bahwa agenda yang mereka usulkan dapat menjadi kenyataan?

Filsuf Aristoteles pernah mengatakan manusia adalah political animal yang memiliki hasrat untuk mengalahkan dan menundukkan manusia lain. Namun manusia juga makhluk sosial yang tidak bisa merasakan dan mencapai kebahagiaan yang sesungguhnya tanpa orang lain. Manusia memiliki ikatan sosial dengan manusia lain. Ada satu tujuan yang membawa manusia dalam kebersamaan dan tujuan itu adalah kebahagiaan. Tidak ada satu manusia pun dengan akal yang sehat tidak menginginkan kebahagiaan tersebut.

Tujuan bahagia hidup bersama inilah yang dipertanyakan masyarakat saat ini. Kelihatannya para anggota DPR tidak melihat prospek bahagia ketika mengambil keputusan; situasikondisi DPR saat ini membuat mereka galau dan saling curiga. Hal ini ironis karena Presiden Joko Widodo sudah membuka jalan untuk menghalau segala rasagalaudancurigatersebutdengan menemui dan berjabat tangan dengan Prabowo Subianto, sang tokoh pencetus Koalisi MerahPutih( KMP) yangmendeklarasikan diri sebagai oposisi Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang dikelola oleh partai pendukung Presiden Joko Widodo.

Padahal jelas masyarakat berharap banyak pada DPR. Mereka berharap anggota Dewan akan lebih tanggap pada kebutuhan masyarakat, tidak sekadar datang, duduk, diam, dan terima gaji. DPR diharapkan mengontrol penyelenggaraan pemerintahan. Terlepas dari apakah seseorang memilih partai di kubu KMP atau KIH, pertimbangan mengapa mencoblos suatu partai lebih karena keyakinan bahwa sang anggota legislatif mampu membawa kesejahteraan yang lebih luas.

Dalam konteks global saat ini, kekisruhan di DPR ini mengurangi kemampuan Indonesia untuk hadir lebih disegani di kancah politik global. Alasannya bukan karena kekisruhan itu sendiri, tetapi lebih pada efek ketidakmampuan Indonesia dalam menyajikan model peradaban modern.

Ketika Indonesia bercitacita menjadi negara maju, negara sejahtera, negara yang disegani dan mungkin juga sangat dihormati, haruslah disadari bahwa bukan sekadar pertumbuhan ekonomi kita yang dicermati. Ketika hanya pertumbuhan ekonomi yang menarik perhatian negara lain, kita rentan menjadi sekadar objek dari kebijakan ekonomi negara-negara lain. Yang sesungguhnya digali oleh negara lain ketika suatu negara tampil fantastis di bidang ekonomi adalah nilai-nilai pendukung kinerja tersebut. Adakah filosofi yang dikembangkan? Adakah wujud peradaban baru yang patut dihormati sebagai aturan main baru di dunia ini?

Artinya sistem kenegaraan di Indonesia tidak sekadar harus berjalan lancar dengan pertumbuhan ekonomi sekian persen, tetapi juga harus berkembang karena diayomi oleh masyarakatnya. Berkembang karena masyarakat secara sukarela memelihara sistem tersebut, berlanjut karena menimbulkan dan membangkitkan keyakinan akan pencapaian kebahagiaan bersama.

Satu hal lagi yang juga penting dipahami adalah mengenai dualisme identitas anggota DPR yang di satu sisi perlu loyal kepada partai politik (lengkap dengan garis ideologi dan arahan keputusan dari petinggi partai), tetapi di sisi lain perlu juga mengambil keputusan sendiri secara mandiri. Kontradiksi pemikiran ini akan selalu ada sepanjang kita memercayai demokrasi sebagai salah satu jalan menuju kesejahteraan bersama. Namun kontradiksi itu juga tidak dapat berlaku hitam dan putih. Ada satu waktu saat anggota DPR patuh kepada partai politik untuk menjaga ideologi dan konstituennya, tetapi ada pula situasi ketika pertimbangan kemandirian berpikir anggota DPR menjadi sumber utama pengambilan keputusan.

Relativisme kebijakan itu akan tetap hadir. Salah satu cara untuk menjaga agar tidak terjadi keputusan yang salah adalah dengan menghormati kebebasan semua pihak untuk mengemukakan pendapat, berpikir, dan bertindak. Pada titik ini, distorsi-distorsi (afiliasi politik, agama, suku, keyakinan) yang dapat mencederai rasionalitas dan memiliki risiko lahirnya keputusan yang cacat harus dikubur dalam-dalam. Di sinilah arti sesungguhnya musyawarah untuk mufakat. Musyawarah tidak akan berhasil bila berjalan hanya di satu arah, tetapi memerlukan kerja sama dari dua, tiga atau empat arah.

Musyawarah untuk mufakat dalam bingkai demokrasi di negara yang menjunjung tinggi Bhinneka Tunggal Ika ini sesungguhnya punya nilai peradaban yang sangat tinggi. Tidak ada satu pun negara di dunia yang saat ini dianggap sukses menggapai pertumbuhan ekonomi tinggi ketika pada saat yang sama harus mengelola kebinekaan. China punya karakter masyarakat homogen. AS yang heterogen lebih bertopang pada sistem mayoritas suara berbasis voting. India yang heterogen masih bergulat dengan kekerasan di level masyarakat madani karena pejabat-pejabat politik mereka masih terlalu lekat identitas pengambilan kebijakannya dengan suku dan agama tertentu.

Indonesia sudah sampai di tahap di mana dunia global menanti- nanti hasil dari praktik demokrasi yang diterapkan sejak Reformasi 1998. Kebetulan sekali pertumbuhan ekonomi global sedang melambat. Negara-negara besar di dunia sedang mengarahkan perhatiannya ke dalam negeri masingmasing. Inilah peluang Indonesia untuk berbenah diri, mempersiapkan konsep peradaban baru yang akan kita usung dan promosikan sebagai alasan mengapa Indonesia kemudian layak diakui di tingkat global sebagai suatu negara maju yang berdaulat dan patut disegani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar