Sabtu, 08 November 2014

Pemilu Sela dan Akhir Rezim Obama

Pemilu Sela dan Akhir Rezim Obama

Ismatillah A Nu’ad  ;  Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan
Universitas Paramadina, Jakarta
JAWA POS, 07 November 2014

                                                                                   


PRESIDEN Amerika Serikat (AS) Barack Obama bisa dipastikan akan kehilangan kontrol atas kongres setelah Partai Republik berhasil memenangi pemilu sela. Meski pemerintahan Obama baru berakhir pada 2016, tanda-tanda akhir kekuasaannya sudah tampak. Misalnya, paket-paket kebijakannya cenderung ditolak dan dijegal kongres AS.

Seorang pengamat politik, Godfrey Grima, dalam The Observer pernah mengemukakan, AS terkesan mengalami pergantian rezim tiap dua kali kepemimpinan politik. Seperti kita ketahui, Obama adalah representasi Partai Demokrat AS yang sudah dua periode memimpin pemerintahan. Sebelumnya, George W. Bush yang merepresentasikan Partai Republik juga memerintah dua periode.

Siklus itu, menurut pengamat, akan kembali berputar. Yakni, setelah Partai Demokrat menguasai dua periode, periode berikutnya sangat mungkin dikuasai Partai Republik. Artinya, presiden AS pasca-Obama cenderung dimenangi representasi Partai Republik.

Beda presiden, beda pula kebijakan nanti. Kecenderungan kepemimpinan di AS, representasi Partai Demokrat cenderung menerapkan antiperang. Sebaliknya, representasi Partai Republik cenderung menerapkan politik ofensif atau kebijakan perang. Misalnya, yang sering terjadi di kawasan Teluk atau perang melawan terorisme.

Jalan perang AS seakan mengamini arsitek demokrasi AS berkebangsaan Prancis, Alexis de Tocqueville, yang pernah berkata, ’’There are two things which a democratic people will always find very difficult –to begin a war and to end it’’ (Democracy in America, 1831). Bahwa memang negara-negara ’’demokratis’’ sekalipun sangat menyukai peperangan dan jika sudah perang sulit untuk mengakhirinya.

Pada 2001, misalnya, ketika Bush berkuasa, pascaperistiwa 11 September, AS memulai perang melawan terorisme. Afghanistan menjadi daerah pertama gempuran AS. Selain itu, ketika AS diperintah penguasa Partai Republik, pada 2003, Bush menggempur Iraq. Semua jalan perang AS lumrahnya ditujukan untuk mencari sumber-sumber minyak mentah.

Misalnya, pernah suatu ketika headline harian terkemuka The New York Times menyebutkan, satu tim dari AS yang terdiri atas pakar geologi dan pejabat Pentagon menemukan sumber mineral yang sangat besar di Afghanistan. Antara lain, sumber tembaga, litium, besi, dan emas. Nilai cadangan mineral yang belum tersentuh itu diperkirakan mencapai USD 1 miliar atau lebih dari Rp 9 triliun.

AS kemudian ’’menjaga’’ wilayah Afghanistan pasca kekuasaan Taliban diambil alih. Selama ini, alasan utama campur tangan militer AS adalah soal keamanan nasional Afghanistan. Selama ini, dalih AS ’’menjaga’’ Afghanistan adalah soal jaringan terorisme Al Qaeda yang bersarang di perbukitan antara Afghanistan-Pakistan.

Lewat argumentasi itu, militer AS melenggang dengan damai memasuki daerah-daerah perbatasan di dua wilayah tersebut. AS, tampaknya, menggunakan ’’politik terorisme’’ untuk membangun jaringan bisnis baru, jika tidak mau dikatakan sebagai senjata ’’kolonialisme baru’’ untuk memasuki sebuah wilayah negara-bangsa.

Di satu sisi, terorisme memang menjadi sebuah ’’fakta’’ lewat, misalnya, tragedi 11/9 atau lainnya, meski sejumlah analis menyangsikannya. Dalam pandangan awam, isu terorisme telah dinyatakan final. Menurut sebagian besar masyarakat Barat, misalnya, akibat serangan 11/9 telah mendominasi politik AS selama sembilan tahun terakhir. Karena itu, ketika Bush menawarkan kebijakan antiteror, kebijakan itu dianggap sebagai kebijakan strategis yang tidak boleh tidak harus diterima semua lapisan masyarakat dunia.

Jika mau melihatnya secara kritis, terorisme sebenarnya melebihi sekadar fakta. Dalam arti, ada politik terorisme yang memiliki agenda lebih jauh dan luas. Di antaranya, persoalan ekonomi. Dalam bahasa Noam Chomsky yang tulisannya tentang terorisme dipublikasikan sejak 1991, telah diidentifikasi bahwa dalam terorisme ada istilah reality and image. Terorisme memiliki standar ganda. Di satu sisi merupakan fakta dan sisi lain memiliki agenda terselubung.

Chomsky telah mengatakannya jauh hari sebelum isu terorisme dikaitkan dengan Islam dan dunia Islam muncul pada 2001: ’’There are two ways to approach the study of terrorism. One may adopt a literal approach, taking the topic seriously, or a propagandistic approach, construing the concept of terrorism as a weapon to be exploited in the service of some system of power’’ (Harus ada dua jalan untuk mendekati isu terorisme. Pertama secara literal atau sebagaimana fakta yang terjadi. Kedua harus dengan pendekatan propaganda karena di situ terorisme hanya dijadikan sebagai alat untuk melayani ambisi-ambisi dan sistem kekuasaan) (Noam Chomsky, International Terrorism: Image and Reality, Routledge 1991).

Jelaslah, penemuan sumber mineral baru di Afghanistan, misalnya, menguatkan bahwa politik terorisme tengah berlangsung dan dimainkan AS di Afghanistan dan mungkin juga di negara-negara lain. Sebab, isu terorisme bagi AS sebenarnya isu usang yang sengaja dimainkan lagi dalam rangka memenuhi ambisi politik-ekonominya di negara-negara berbasis Islam.

Pada dekade 80-an, sebenarnya AS juga memainkan politik terorisme itu di sejumlah negara Amerika Latin seperti Nikaragua, Kuba, dan Meksiko. Hanya, bentuk subjeknya berbeda. Jika di Amerika Latin subjek terorisme dikaitkan dengan isu-isu kriminalitas dan pemberontakan, subjek terorisme di negara-negara berbasis Islam dikaitkan dengan isu-isu militansi keagamaan dan fundamentalisme Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar