Sabtu, 08 November 2014

Seratus Hari Jokowi : Mengaji pada FDR

Seratus Hari Jokowi : Mengaji pada FDR

Airlangga Pribadi Kusman  ;  Pengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga, kandidat PhD Asia Research Center Murdoch University
JAWA POS, 07 November 2014

                                                                                   


MESKI Presiden Jokowi sudah menyatakan bahwa pemerintahannya tidak mengenal program seratus hari, penting kiranya melihat akan ke mana pemerintahan Jokowi bertolak setelah seratus hari dilantik. Adalah benar bahwa kita tidak akan bisa berharap sebuah perubahan yang mendasar terjadi dalam tempo seratus hari. Meski demikian, seratus hari pertama akan menjadi penentu ke mana kapal Indonesia berlayar di bawah nakhoda Presiden Jokowi sampai lima tahun ke depan.

Seratus hari pertama menjadi penentu bukan karena setelah kita melalui segala hal yang gelap menjadi terang, namun pada masa tiga bulan inilah lintasan strategi kebijakan mulai dirumuskan, yang selanjutnya akan membawa Indonesia bangkit dari keterpurukan atau terbenam dalam pusaran krisis berkepanjangan.

Setelah terpilih, pemerintahan Jokowi menghadapi problem pemerintahan yang tidak mudah. Pemerintahan Jokowi harus menuntaskan berbagai persoalan pelik yang harus dibenahi. Berbagai problem itu, antara lain, beban defisit anggaran, derasnya impor pangan yang mengakibatkan terkikisnya kedaulatan pangan warga Indonesia, jurang kesenjangan antara si kaya dan si miskin, birokrasi yang lamban, serta maraknya pembungkaman terhadap hak sipil. Semua itu menjadikan jalan yang dilalui pemerintahan baru begitu curam dan terjal.

Kita semua sadar bahwa segenap problem bernegara itu tidak dapat diselesaikan dalam sekejap mata. Problematika bernegara –seperti yang telah diuraikan sebelumnya– tidak dapat diselesaikan hanya dengan perubahan parsial dan instrumental pada aras kebijakan teknokratis semata. Melampaui itu semua, yang dituntut pada pemerintahan Jokowi saat ini adalah cara pandang, perspektif sebagai pedoman kebijakan seperti apakah yang ditawarkan sebagai rumusan bernegara dalam lima tahun ke depan.

Formulasi tentang perspektif dan cara pandang bernegara itulah yang kita harapkan tuntas dirumuskan selama seratus hari pertama pemerintahan Jokowi. Sebab, persoalan-persoalan bernegara yang dihadapi bangsa ini tidak bisa diselesaikan dengan cara business as usual dalam kerja rutinitas seperti yang jamak terjadi sebelumnya.

Sehubungan dengan inisiatif yang kita cermati selama seratus hari pertama pemerintahan Jokowi, tulisan ini akan sedikit mengulas sebuah contoh warisan terbaik dari presiden Amerika Serikat abad ke-20, yakni Franklin Delano Roosevelt (FDR), sebagai salah satu rujukan mengelola negara. Rujukan pada presiden AS yang terkenal dengan konsep New Deal itu bukan berarti kita harus selalu melihat perjalanan politik Amerika Serikat. FDR dapat menjadi contoh menarik. Sebab, di bawah kepemimpinannya, Amerika berhasil melampaui krisis ekonomi akut. FDR berhasil membalikkan cara pandang bernegara warga Amerika dari spirit individualisme menuju solidaritas sosial. Juga dari komitmen atas kapitalisme tanpa peran negara sebagai regulator menjadi tatanan pasar berkeadilan dengan peran aktif dari negara untuk meredistribusi kesejahteraan sosial. Selain itu juga berbagai kebijakan proteksi sosial yang melindungi mayoritas warga Amerika dari hantaman krisis sosial.

Gagasan New Deal

Apakah hubungan antara inisiatif jalan progresif yang diambil FDR untuk menyelamatkan Amerika Serikat dari krisis sosial dengan program seratus hari? Salah seorang jurnalis senior New York Times, yakni Adam Cohen (2009), dalam karya best seller-nya Nothing to Fear: FDR’s Inner Circle and the Hundred Days that Created Modern America menjelaskan bahwa warisan prestisius dari Presiden FDR bagi warga Amerika Serikat itu dimulai dari keberhasilannya merumuskan strategi pemerintahan beserta lingkaran dalam presiden di seratus hari pertama sejak dirinya dilantik menjadi presiden Amerika Serikat.

Gagasan New Deal (kesepakatan baru) yang menjadi panutan bernegara dari kalangan liberal-progresif Amerika Serikat diformulasikan sebagai sebuah cara pandang yang berbasis keseimbangan politik antara komitmen terhadap program jaring pengaman sosial, subsidi bagi kekuatan ekonomi kelas bawah petani, alokasi kebijakan fiskal yang cermat dan terukur serta fokus pada perdagangan internasional yang mengedepankan ekspor.

Pemerintahan FDR menjadi contoh bagaimana pragmatisme pemerintahan tidak hanya selalu melayani kelompok sosial yang kaya dan berkuasa, namun juga ketika diformulasikan dengan cermat dapat mengabdi pada tujuan bernegara yang lebih luhur demi pencapaian pelayanan publik dan keadilan sosial. Keseimbangan antara pragmatisme politik dan keberanian menuntaskan persoalan menjadi dua slogan di seratus hari awal pemerintahan FDR, yakni nothing to fear (tidak ada yang harus ditakutkan) dan action, action (kerja, kerja)! 

Ada perbedaan antara situasi politik di Amerika pada era FDR dan yang dihadapi pemerintahan Presiden Joko Widodo. Sayang, perbedaan itu membuat tantangan dari pemerintahan sekarang menjadi lebih berat. Keberhasilan program New Deal yang digagas FDR tidak dapat dilepaskan dari dukungan nyaris utuh dari rakyat. Kongres Amerika Serikat, baik Partai Demokrat maupun Republik, saat itu tidak menghalangi inisiatif pemerintah.

Suasana politik seperti itu, sayangnya, tidak kita saksikan setelah Presiden Jokowi dilantik. Benturan politik antara pihak legislatif dan eksekutif begitu keras terjadi. Sementara rakyat Indonesia terbelah dalam sikap sebagai partisan politik pasif, sebagai penonton yang memperuncing suasana. Semangat solidaritas yang lahir dari sense of crisis untuk bersama-sama menyelesaikan persoalan bangsa terkikis. Sebagian khalayak justru mengharapkan pemerintahan ini gagal, sementara sebagian besar lain belum bangkit memberikan kritik yang sehat kepada pemerintahan kita. Tanpa solidaritas dan gotong royong untuk menyelesaikan krisis, kita hanya akan terbenam dalam pusaran krisis bernegara. Padahal, pelajaran politik di berbagai masa dan kisah sejarah semua bangsa memberi kita pelajaran bahwa kesadaran hidup bersama dalam semangat gotong royong adalah kunci keberhasilan sebuah bangsa untuk keluar dari kegelapan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar