Sabtu, 08 November 2014

Pembunuhan dan Mutilasi, Kenapa Terjadi?

Pembunuhan dan Mutilasi, Kenapa Terjadi?

Nadia Egalita  ;  Mahasiswi Faculty of Art, Monash University Australia;
Belajar tentang Media Studies and Social Behaviour
JAWA POS, 08 November 2014
                                                
                                                                                                                       


PEMBUNUHAN yang disertai tindakan mutilasi kembali memakan korban orang Indonesia. Setelah sebelumnya dialami Mayang, seorang transgender asal Indonesia yang dibunuh dan dimutilasi pacarnya di Australia, kini kembali terjadi kasus mutilasi di Hongkong dengan korban dua perempuan WNI asal Jawa Tengah dan Sulawesi Tenggara.

Seneng Mujiasih alias Jesse Lorena Ruri, 30, dan Sumarti Ningsih, 25, dilaporkan tewas mengenaskan karena dibunuh Rurik Geoge Caton Jutting, 29, banker asal Inggris, di apartemen mewah miliknya. Jutting yang sehari-hari dikenal pekerja keras dan kaya diketahui memiliki sikap temperamental dan sering bertindak kasar kepada para perempuan yang di-booking-nya. Di berbagai berita di dunia maya, Jutting disebut-sebut sebagai sosok nyata Batemen, seorang tokoh dalam film American Psycho yang sadis dan senang memutilasi para PSK yang menjadi korbannya.

Kenapa seseorang yang memiliki status sosial terhormat dan hidup bergelimang harta tiba-tiba bisa berubah menjadi monster yang menakutkan? Pertanyaan ini menarik untuk dikaji lebih mendalam karena meski pelaku kasus pembunuhan dan mutilasi selama ini senantiasa tertangkap dan dijatuhi hukuman berat, kenapa para pelaku seolah tak pernah jera untuk melakukan hal yang sama? Apa sebetulnya yang menjadi pendorong seseorang tega melakukan tindakan sadis membunuh dan memotong-motong tubuh korban seolah yang mereka hadapi bukan manusia?

Faktor Penyebab

Membunuh dan memutilasi korban sesungguhnya adalah tindak kejahatan yang mengerikan dan sulit diterima nalar. Dalam pandangan psikologi klasik, kekerasan, perilaku sadistis –termasuk di dalamnya tindak kejahatan memutilasi korban– atau yang disebut perilaku agresif manusia pada dasarnya diyakini terjadi karena insting bawaan yang telah terprogram secara filogenetik. Menurut teori insting ini, agresi berasal dari dorongan fitrah biologis manusia untuk bertindak merusak dan destruktif. Sigmund Freud (1915), misalnya, mengemukakan bahwa agresi manusia pada dasarnya berasal dari insting thanatos atau keinginan untuk mati (death wish) yang dimiliki setiap manusia secara alamiah. Sedangkan, menurut Konrad Lorenz, agresi sesungguhnya bersumber dari semangat bertempur (fighting spirit) yang dimiliki manusia seperti juga spesies binatang yang lain (Khisbiyah, 2000).

Memang, pada masyarakat yang telah mengenal budaya dan berbudaya, naluri biologis manusia untuk bertindak agresif sering kali dapat diendapkan dan disublimasikan secara simbolis dalam bentuk peraturan dan tatanan yang mendasari terwujudnya sebuah kehidupan bersama yang stabil, harmonis, dan damai. Tetapi, ketika ada anggota masyarakat yang hidup dalam situasi yang teralienasi, mengalami anomi, dan dibesarkan dalam lingkungan sosial yang keliru, bukan tidak mungkin tatanan dan norma sosial-budaya yang berlaku akan dihindari, bahkan disingkirkan karena desakan nafsu agresif yang meledak-ledak di kepalanya.

Menurut Gupta dan Arora (2013), tindakan mutilasi kepada korban oleh pelaku dipicu berbagai macam alasan. Pertama, seseorang memutilasi korban karena ingin menghilangkan barang bukti atau membuat badan korban susah untuk diidentifikasi. Kedua, dipicu temperamen dan agresi. Ketiga, semata merupakan tujuan tindak kejahatan tersebut. Keempat, fetisisme, yaitu seseorang melakukan tindakan mutilasi sebagai simbol kegemaran mereka.

Seseorang yang sejak kecil tumbuh dalam iklim kekerasan dan terbiasa sejak awal melakukan tindak kekerasan untuk mencapai tujuan hidupnya cenderung sangat rentan dan mudah dipengaruhi oleh faktor atau lingkungan sosialnya. Seorang anak yang sejak kecil menjadi korban tindakan child abuse tidak mustahil ketika dewasa tanpa sadar cenderung bertindak agresif dan melakukan berbagai kekerasan kepada anak-istrinya atau orang lain seperti yang sering dia alami di masa lalunya yang penuh penderitaan. Di mata penganut teori behavioristik, agresi dan tindakan jahat seseorang pada dasarnya terbentuk karena pembelajaran dari lingkungan sekitarnya melalui pengalaman atau mengamati perilaku orang lain.

Erich Fromm dalam bukunya yang terkenal, The Anatomy of Human Destructiveness (1973), membedakan agresi lunak dan agresi jahat. Agresi lunak bersifat defensif bagi manusia, biasanya dimaksudkan untuk mempertahankan hidup spesies atau individu, bersifat adaptif biologis dan hanya muncul jika memang ada ancaman. Sementara itu, agresi jahat, yakni sifat kejam dan destruktif, merupakan karakter manusia yang biasanya mempergunakan ancaman dan kekerasan sebagai sarana untuk mencapai tujuan instrumentalnya. Substansi agresi jahat ini dapat dikurangi bila kondisi sosial ekonomi yang merugikan seseorang digantikan dengan kondisi yang menguntungkan bagi perkembangan penuh tuntutan dan kemampuan murni manusia untuk perkembangan aktivitas diri manusia dan daya kreasi mereka sesuai tujuan masing-masing (Fromm, 2000). Tetapi, ketika seseorang terus-menerus mengalami eksploitasi, alienasi dan anomi, semua itu niscaya akan mengerdilkan dan menghilangkan sifat-sifat baik manusia dan menjadikannya sebagai orang yang sadis dan destruktif.

Seorang psikopat umumnya justru akan menikmati tindakan kejam yang mereka lakukan, baik sebagai ekspresi balas dendam maupun media penyaluran nafsu jahat yang ada di kepala mereka. Tindak membunuh dan memutilasi korban, bagi manusia normal, tentu tidak mungkin dilakukan. Tetapi, bagi seseorang yang tumbuh di lingkungan sosial yang salah, jangan kaget jika kemudian menjelma menjadi sosok yang mengerikan: menjadi monster yang tak segan menghilangkan nyawa orang lain hanya gara-gara dipicu hal yang sepele.

Media sebagai Penyedia Referensi

Dalam berbagai kasus pembunuhan, yang menarik adalah kasus-kasus itu tampaknya menjadi seperti dunia mode. Artinya, ketika di satu kasus media memberitakan terjadinya tindakan pembunuhan dan mutilasi, lantas di kesempatan berikutnya seolah-olah berita itu menjadi referensi bagi pelaku untuk melakukan modus yang sama dengan menjadi pelaku kejahatan yang sama.

Pemberitaan media massa tentang tindak kejahatan di satu sisi memang memberikan penjelasan sekaligus pemahaman kepada masyarakat agar lebih hati-hati dalam menjalani kehidupan. Tetapi, di era revolusi informasi seperti sekarang, pemberitaan kasus pembunuhan dan mutilasi di berbagai wilayah jangan-jangan justru menjadi ilham bagi pelaku tindak kejahatan untuk mengembangkan modus yang makin rapi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar