Sabtu, 08 November 2014

Perppu dan Pilkada Serentak

Perppu dan Pilkada Serentak

Marwan Mas  ;  Guru Besar Ilmu Hukum
Universitas Bosowa 45, Makassar
KORAN SINDO, 08 November 2014
                                                
                                                                                                                       


Sejak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (Pilkada) ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat itu (2/10/ 2014), sejak itu berlaku secara positif.

Perppu setara dengan UU sehingga menjadi dasar penyelenggaraan pilkada. Minimal sampai perppu ditetapkan nasibnya oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam masa sidang pada 2015, apakah diterima atau ditolak. Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 menegaskan, perppu harus mendapat persetujuan DPR. Jika tidak, perppu itu harusdicabut. Tetapi, biladisetujui, perppu menjadi UU.

Menjadi perdebatan kalau perppu ditolak DPR, apakah secara otomatis berlaku kembali UU Nomor 22/2014 tentang Pemilihan Kepala Daerah yang di dalamnya mengatur pilkada di DPRD? Dalam ranah hukum tata negara, suatu UU yang dibatalkan oleh perppu yang ternyata kemudian perppu itu ditolak DPR, UU bersangkutan tidak secara otomatis berlaku.

Makna penolakan perppu oleh DPR berarti perppu itu ditolak secara keseluruhan menjadi UU sehingga akibat hukum yang dihasilkan oleh perppu yang ditolak DPR juga tidak berlaku. Untuk memberlakukan kembali sebuah UU, DPR harus memulai lagi dari awal. Misalnya, ada kesepakatan politik oleh fraksi di DPR untuk membahasnya lagi sesuai mekanisme tata tertib DPR.

Inilah yang pertama dalam sejarah penerbitan perppu negeri ini, presiden mendesain perppu dengan mencabut berlakunya sebuah UU. Padahal selama ini perppu hanya menangguhkan berlakunya suatu UU atau ketentuan UU, atau membuat ketentuan baru untuk mengisi kekosongan hukum dengan pertimbangan “ada kegentingan yang memaksa” (Pasal 22 ayat 1 UUD).

Jika Perppu Pilkada ditolak DPR, selain mengosongkan hukum lantaran mencabut UU Nomor 22/2014, juga “mengacaukan kepastian hukum”. Lebih celaka kalau Presiden Jokowi memenuhi permintaan Fraksi Koalisi Indonesia Hebat (KIH) agar segera menerbitkan perppu yang mencabut pemberlakuan UU Nomor 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) sebagai imbas perseteruan dalam memilih pimpinan DPR.

Artinya, Perppu Pilkada yang mencabut suatu UU menjadi preseden buruk jika presiden saat ini dan berikutnya menjadikannya sebagai dasar untuk melawan UU yang tidak sesuai kehendak politiknya meski sudah disepakati bersama DPR. Mayoritasnya Fraksi Koalisi Merah Putih (KMP) plus Fraksi Partai Demokrat di parlemen bukan tidak mungkin “obral perppu” akan jadi tontonan dalam pemerintahan Jokowi-JK.

Pilkada Serentak

Taruhlah, Perppu Pilkada itu disetujui DPR menjadi UU, satu aspek yang patut dipikirkan adalah ada desain “pilkada serentak” secara regional (provinsi) dimulai pada 2015. Pada 2019 sesuai putusan MK juga dilaksanakan pemilu legislatif dan pemilu presiden secara serentak.

Tetapi, pemilu serentak akan dilakukan secara nasional pada 2020. Termasuk pemilihan kepala desa serentak di kabupaten pada hari dan bulan yang sama. Ketentuan pilkada serentak diatur pada Pasal 201 Perppu Pilkada bahwa pemungutan suara serentak untuk memilih gubernur, bupati/wali kota yang masa jabatannya berakhir pada 2015 dilaksanakan pada hari dan bulan yang sama pada 2015.

Pemungutan suara serentak bagi gubernur, bupati/wali kota yang masa jabatannya berakhir pada 2016, 2017, dan 2018 dilaksanakan pada hari dan bulan yang sama pada 2018 dengan masa jabatan gubernur, bupati/wali kota sampai 2020. Jika pemilihan tidak dapat diselenggarakan karena tidak ada calon yang mendaftar, diangkat penjabat kepala daerah sampai terpilih gubernur, bupati/wali kota pada 2020.

Pemungutan suara serentak yang masa jabatannya berakhir pada 2019 dilaksanakan pada hari dan bulan yang sama pada 2020. Pemungutan suara serentak secara nasional dilaksanakan pada hari dan bulan yang sama pada 2020. Salah satu tujuan pilkada serentak adalah meminimalisasi anggaran dari APBN dan APBD. Namun, berkaca pada pengalaman selama ini, justru biaya calon kepala daerah yang sebetulnya sangat besar dan susah dikontrol meskipun ada pembatasan.

Perppu juga mengatur pembatasan biaya kampanye calon kepala daerah, tetapi sangat sulit dikontrol. Misalnya, biaya untuk parpol pengusung, biaya mengumpulkan dukungan KTP bagi calon perseorangan, biaya kampanye, biaya sosialisasi, biaya untuk tim sukses, termasuk biaya untuk politik uang. Inilah yang selalu dikritik, bukan hanya pada besarnya dana negara yang dipakai menyelenggarakan pilkada.

Justru dana pribadi calon yang jauh lebih besar lantaran mengikuti kehendak demokrasi langsung (demokrasi liberal sesuai kehendak pasar). Setelah terpilih, sudah pasti akan mencari akal untuk mengembalikan dana besar yang dikeluarkan dengan menyalahgunakan kekuasaan.

Itulah yang sering saya sebut kalau secara terselubung “korupsi sudah menjadi citacita”. Selain mengemplang APBN dan APBD, menerima suap dan gratifikasi untuk pengeluaran izin usaha atau izin pertambangan juga balas jasa proyek yang dibiayai APBN/APBD buat pengusaha hitam yang menjadi donatur kampanye.

Tidak Berpasangan

Yang juga menarik dalam perppu adalah pemilihan tidak lagi berpasangan dalam satu paket. Ini sudah pasti memberatkan kandidat lantaran harus maju sendirian dan membiayai dirinya sendiri. Kecuali sudah main mata dengan calon wakil kepala daerah yang akan diusulkan setelah terpilih.

Semua wakil yang diusulkan bisa berasal dari pegawai negeri sipil, juga bisa nonpegawai negeri sipil. Itu diatur dalam Pasal 170 Perppu bahwa pengisian wakil gubernur dan wakil bupati/ wakil wali kota dilaksanakan paling lambat satu bulan setelah pelantikan dengan masa jabatan yang sama.

Untuk wakil gubernur diangkat oleh presiden atas usul gubernur terpilih melalui menteri dalam negeri. Sedangkan wakil bupati/wakil wali kota diangkat menteri dalam negeri atas usul bupati/walikota terpilih melalui gubernur. Pilihan pilkada serentak yang hanya memilih gubernur dan bupati/wali kota tanpa pasangan tentu mengubah konstelasi dan atmosfer politik di daerah.

Selain memberatkan calon kepala daerah dari sisi pembiayaan dan sosialisasi, mengubah partisipasi rakyat juga menutup kasak-kusuk sosok tertentu yang selama ini hanya memburu wakil. Tetapi, secara gagasan perppu ingin meredam konflik antara kepala daerah dan wakilnya menjelang akhir jabatan lantaran ingin maju sendiri-sendiri untuk periode kedua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar