Pajak
dan Totok Nadi Jokowi
Henderi Gunadi ; Pemerhati
Ekonomi Perpajakan Indonesia;
Peneliti pada Pusat Kajian Akuntansi dan Keuangan Publik
|
DETIKNEWS,
04 November 2014
Rapat Kabinet Perdana seusai pelantikan, Jokowi langsung
membukanya dengan menginstruksikan para menteri untuk melakukan totok nadi
agar penerimaan pajak mengalir deras dan vitamin kesejahteraan terasa oleh
seluruh rakyat. Tak dirinci lebih lanjut totok nadi atau kebijakan apa yang
dimaksud oleh Jokowi. Namun, hal ini menunjukan perhatian Sang Presiden akan
besarnya peran pajak dalam pembangunan.
Perhatian tersebut sangat beralasan mengingat APBN 2015
mendatang sekaligus modal kerja perdana Kabinet Kerja Jokowi merupakan APBN
terbesar sepanjang sejarah NKRI berdiri. Total uang yang harus dikumpulkan
adalah Rp 2.039 triliun. Dari jumlah tersebut, penerimaan pajak ditargetkan
hampir 70% atau sebesar Rp 1.382 triliun (Sumber: Kemenkeu RI). Jumlah yang tidak
kecil dan harus dikumpulkan dengan kerja keras dan dengan menerapkan
kebijakan tepat.
Setidaknya ada empat kebijakan harus diambil Jokowi, yang dapat
menjadi totok nadi lancarnya aliran pajak ke kas negara. Pertama, reformasi
institusi pemungut pajak. Perbaikan organisasi dan evaluasi kebijakan tetap
mutlak untuk terus dilakukan sesuai dengan kondisi perekonomian dan tantangan
yang dihadapi di lapangan. Disinyalir, Direktorat Jenderal Pajak (DJP)
sebagai institusi pemungut pajak masih sangat lemah secara institusional dan
minim kewenangan. Limitasi yang menjadi hambatan adalah infleksibilitas dalam
alokasi kebutuhan pegawai dan sumber daya lainnya.
Hambatan lainnya adalah ketiadaan kewenangan membuka rekening
wajib pajak dan lemahnya koordinasi dengan lembaga pemerintah lainnya.
Padahal, di banyak negara berkembang dan maju lainnya, otoritas pajaknya
sudah memiliki kewenangan-kewenangan tersebut. Hal ini juga bisa menjawab
keheranan Jokowi mengapa selama satu dekade terakhir, penerimaan pajak nyaris
tak pernah tercapai. Malangnya, target penerimaan pajak pada 2014 ini pun
kembali diprediksi tidak akan tercapai (short fall) dari target yang
ditetapkan.
Otonomi pajak menjadi otoritas independen atau badan setingkat
menteri yang langsung bertanggung jawab ke presiden menjadi pilihan yang
sangat layak dipertimbangkan Jokowi dalam merespon best practice
international dan demi terpenuhinya kebutuhan uang pajak bagi kas negara.
Kedua, kepemimpinan tegas, mengayomi dan mau bekerja keras.
Menurut sumber internal di DJP, pergantian pucuk pimpinan DJP pun akan segera
berganti di awal Desember mendatang. Presiden Jokowi dan Menteri Keuangan
harus menunjuk sosok yang berani dan tegas dalam menegakan peraturan dan
ketentuan perpajakan serta mau bekerja keras tidak hanya untuk mencapai
target penerimaan pajak tapi juga harus mampu menaikkan tax ratio yang selama
ini hanya bertengger di kisaran 12%.
Selain itu, dengan jumlah 33 ribu pegawai, sosok tersebut harus
pula mampu mengayomi dan membuat semua pegawainya merasa dilindungi dan
tenang dalam bekerja. Beratnya tugas, tak jarang para pegawai pajak
mendapatkan ancaman bahkan kriminalisasi dalam bekerja meskipun mereka telah
menjalanan tugasnya sesuai dengan ketentuan yang ada. Jika tidak disentuh
dengan tangan midas sang pemimpin yang tepat, demotivasi dan performa ala
kadarnya pasti menjangkiti para pegawai. Sosok yang dibutuhkan adalah
pemimpin yang mampu menggerakan semua pegawai untuk bekerja keras dengan
semangat sekaligus mengayomi dan memberikan rasa aman dan tenang dalam
bekerja, yang pada akhirnya mampu memenuhi target penerimaan pajak yang telah
ditetapkan.
Ketiga, sinergi positif dan kerjasama semua elemen pemerintah.
Ekstensifikasi dan intensifikasi pemungutan pajak akan lebih efektif dengan
adanya dukungan semua instansi pemerintah. Data dan informasi pendukung dari
semua unit sangat diperlukan dalam upaya menghimpun penerimaan pajak. Untuk
melakukan totok nadi ini, tentu sangatlah mudah bagi Jokowi. Sang Presiden
tinggal menginstruksikan semua kementerian dan lembaga di bawahnya untuk
bersinergi dan membantu usaha pencapaian target penerimaan pajak oleh DJP.
Sejatinya, tercapainya penerimaan pajak tidak hanya menjadi kepentingan dan
tugas DJP semata, namun menjadi kebutuhan nasional pula, mengingat uang
pajaklah yang membuat berjalannya roda pemerintahan di republik ini.
Keempat, berikan apresiasi kinerja berupa insentif tambahan
selain gaji. Sejauh ini, biaya pemungutan pajak (tax collection cost) DJP
rata-rata hanya sebesar 0.5% dari realisasi penerimaan pajak. Biaya
pemungutan pajak ini termasuk semua belanja barang, gaji pegawai,
pemeliharaan gedung dan operasional lainnya tanpa adanya insentif tambahan
atas kinerja para pemungut pajaknya. Jokowi harus mau memberikan reward yang
memadai kepada para pemungut pajak sebagaimana telah diberikan kepada para
pemungut pajak di daerah.
Sebagai contoh, pegawai Pemprov DKI telah diberikan insentif
tambahan sebesar 3% dari target penerimaan pajaknya. Mengingat beratnya tugas
para pegawai DJP yang tersebar di seluruh kabupaten di Indonesia, pemberian
insentif tersebut menjadi kebutuhan dan sekaligus penyemangat tersendiri bagi
pegawai pajak untuk tetap bekerja dengan performa prima, jujur dan penuh
dedikasi dalam mengemban tugas.
Pada akhirnya, Sang Presidenlah yang dapat melancarkan keempat
jurus tersebut. Kebijakan totok nadi di bidang perpajakan ini bisa menjadi
terobosan dan agenda prioritas Jokowi beserta Kabinet Kerjanya dalam
meningkatkan efektivitas dan keberhasilan menghimpun uang pajak di masa
mendatang, demi mewujudkan pemerataan pembangunan dan kesejahteraan bagi
seluruh rakyat Indonesia. Kita tunggu gebrakan totok nadi Jokowi ini, semoga
segera terwujud! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar