Rabu, 12 November 2014

Pajak dan Totok Nadi Jokowi

Pajak dan Totok Nadi Jokowi

Henderi Gunadi  ;  Pemerhati Ekonomi Perpajakan Indonesia;
Peneliti pada Pusat Kajian Akuntansi dan Keuangan Publik
DETIKNEWS, 04 November 2014
                                                
                                                                                                                       


Rapat Kabinet Perdana seusai pelantikan, Jokowi langsung membukanya dengan menginstruksikan para menteri untuk melakukan totok nadi agar penerimaan pajak mengalir deras dan vitamin kesejahteraan terasa oleh seluruh rakyat. Tak dirinci lebih lanjut totok nadi atau kebijakan apa yang dimaksud oleh Jokowi. Namun, hal ini menunjukan perhatian Sang Presiden akan besarnya peran pajak dalam pembangunan.

Perhatian tersebut sangat beralasan mengingat APBN 2015 mendatang sekaligus modal kerja perdana Kabinet Kerja Jokowi merupakan APBN terbesar sepanjang sejarah NKRI berdiri. Total uang yang harus dikumpulkan adalah Rp 2.039 triliun. Dari jumlah tersebut, penerimaan pajak ditargetkan hampir 70% atau sebesar Rp 1.382 triliun (Sumber: Kemenkeu RI). Jumlah yang tidak kecil dan harus dikumpulkan dengan kerja keras dan dengan menerapkan kebijakan tepat.

Setidaknya ada empat kebijakan harus diambil Jokowi, yang dapat menjadi totok nadi lancarnya aliran pajak ke kas negara. Pertama, reformasi institusi pemungut pajak. Perbaikan organisasi dan evaluasi kebijakan tetap mutlak untuk terus dilakukan sesuai dengan kondisi perekonomian dan tantangan yang dihadapi di lapangan. Disinyalir, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai institusi pemungut pajak masih sangat lemah secara institusional dan minim kewenangan. Limitasi yang menjadi hambatan adalah infleksibilitas dalam alokasi kebutuhan pegawai dan sumber daya lainnya.

Hambatan lainnya adalah ketiadaan kewenangan membuka rekening wajib pajak dan lemahnya koordinasi dengan lembaga pemerintah lainnya. Padahal, di banyak negara berkembang dan maju lainnya, otoritas pajaknya sudah memiliki kewenangan-kewenangan tersebut. Hal ini juga bisa menjawab keheranan Jokowi mengapa selama satu dekade terakhir, penerimaan pajak nyaris tak pernah tercapai. Malangnya, target penerimaan pajak pada 2014 ini pun kembali diprediksi tidak akan tercapai (short fall) dari target yang ditetapkan.

Otonomi pajak menjadi otoritas independen atau badan setingkat menteri yang langsung bertanggung jawab ke presiden menjadi pilihan yang sangat layak dipertimbangkan Jokowi dalam merespon best practice international dan demi terpenuhinya kebutuhan uang pajak bagi kas negara.

Kedua, kepemimpinan tegas, mengayomi dan mau bekerja keras. Menurut sumber internal di DJP, pergantian pucuk pimpinan DJP pun akan segera berganti di awal Desember mendatang. Presiden Jokowi dan Menteri Keuangan harus menunjuk sosok yang berani dan tegas dalam menegakan peraturan dan ketentuan perpajakan serta mau bekerja keras tidak hanya untuk mencapai target penerimaan pajak tapi juga harus mampu menaikkan tax ratio yang selama ini hanya bertengger di kisaran 12%.

Selain itu, dengan jumlah 33 ribu pegawai, sosok tersebut harus pula mampu mengayomi dan membuat semua pegawainya merasa dilindungi dan tenang dalam bekerja. Beratnya tugas, tak jarang para pegawai pajak mendapatkan ancaman bahkan kriminalisasi dalam bekerja meskipun mereka telah menjalanan tugasnya sesuai dengan ketentuan yang ada. Jika tidak disentuh dengan tangan midas sang pemimpin yang tepat, demotivasi dan performa ala kadarnya pasti menjangkiti para pegawai. Sosok yang dibutuhkan adalah pemimpin yang mampu menggerakan semua pegawai untuk bekerja keras dengan semangat sekaligus mengayomi dan memberikan rasa aman dan tenang dalam bekerja, yang pada akhirnya mampu memenuhi target penerimaan pajak yang telah ditetapkan.

Ketiga, sinergi positif dan kerjasama semua elemen pemerintah. Ekstensifikasi dan intensifikasi pemungutan pajak akan lebih efektif dengan adanya dukungan semua instansi pemerintah. Data dan informasi pendukung dari semua unit sangat diperlukan dalam upaya menghimpun penerimaan pajak. Untuk melakukan totok nadi ini, tentu sangatlah mudah bagi Jokowi. Sang Presiden tinggal menginstruksikan semua kementerian dan lembaga di bawahnya untuk bersinergi dan membantu usaha pencapaian target penerimaan pajak oleh DJP. Sejatinya, tercapainya penerimaan pajak tidak hanya menjadi kepentingan dan tugas DJP semata, namun menjadi kebutuhan nasional pula, mengingat uang pajaklah yang membuat berjalannya roda pemerintahan di republik ini.

Keempat, berikan apresiasi kinerja berupa insentif tambahan selain gaji. Sejauh ini, biaya pemungutan pajak (tax collection cost) DJP rata-rata hanya sebesar 0.5% dari realisasi penerimaan pajak. Biaya pemungutan pajak ini termasuk semua belanja barang, gaji pegawai, pemeliharaan gedung dan operasional lainnya tanpa adanya insentif tambahan atas kinerja para pemungut pajaknya. Jokowi harus mau memberikan reward yang memadai kepada para pemungut pajak sebagaimana telah diberikan kepada para pemungut pajak di daerah.

Sebagai contoh, pegawai Pemprov DKI telah diberikan insentif tambahan sebesar 3% dari target penerimaan pajaknya. Mengingat beratnya tugas para pegawai DJP yang tersebar di seluruh kabupaten di Indonesia, pemberian insentif tersebut menjadi kebutuhan dan sekaligus penyemangat tersendiri bagi pegawai pajak untuk tetap bekerja dengan performa prima, jujur dan penuh dedikasi dalam mengemban tugas.

Pada akhirnya, Sang Presidenlah yang dapat melancarkan keempat jurus tersebut. Kebijakan totok nadi di bidang perpajakan ini bisa menjadi terobosan dan agenda prioritas Jokowi beserta Kabinet Kerjanya dalam meningkatkan efektivitas dan keberhasilan menghimpun uang pajak di masa mendatang, demi mewujudkan pemerataan pembangunan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Kita tunggu gebrakan totok nadi Jokowi ini, semoga segera terwujud!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar