Rabu, 12 November 2014

Fitrah Ilmuwan Ketua BPK

Fitrah Ilmuwan Ketua BPK

AP Edi Atmaja  ;  Alumnus Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro;
Bekerja pada Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia
DETIKNEWS, 05 November 2014
                                                
                                                                                                                       


Sidang anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada Selasa (21/10/2014) lalu menyisakan harapan. Ketua baru lembaga pemeriksa ektern pemerintah itu akhirnya ditetapkan. Harry Azhar Azis, anggota BPK yang baru saja terpilih pada 15/9/2014 lalu itu, ditabalkan menduduki singgasana BPK, menggantikan Rizal Djalil yang menjabat ketua BPK selama enam bulan.

Terpilihnya Harry Azhar Azis sebagai ketua BPK selain menerbitkan harapan juga menuai kecaman. Kecaman dialamatkan pada latar belakang Harry yang seorang politisi. Peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW) Firdaus Ilyas, misalnya, menyatakan bahwa terpilihnya Harry Azhar Azis sebagai ketua BPK adalah sebuah kemunduran. Sebab, menurut Firdaus Ilyas, seseorang yang berafiliasi dengan partai politik disangsikan dapat mengedepankan independensi, integritas, dan profesionalismenya sebagai pimpinan lembaga yang semestinya steril dari nuansa politis (Metrotvnews.com, 23/10/2014).

Kritik semacam itu patut diapresiasi karena hal itu menunjukkan bahwa eksistensi BPK di mata publik dan rasa memiliki (sense of belonging) publik terhadap lembaga yang telah ada sejak era Hindia Belanda itu masih sangat kuat. Namun, jika kita mempersoalkan latar belakang, rekam-jejak, atau riwayat hidup untuk menilai kepantasan seseorang menduduki pucuk pimpinan BPK, dan kalau kita mau sedikit obyektif, sesungguhnya banyak hal positif dalam pribadi seorang Harry Azhar Azis.

Harry pernah lama menjadi akademisi dan peneliti, yang habitatnya bukanlah ruang riuh-ramai-berisik semacam parlemen, melainkan ruang sunyi pergulatan manusia dengan ilmu pengetahuan. Ruang di mana peradaban manusia diabadikan dan dikembangkan.

Pemeriksa: Wartawan, Hakim, Ilmuwan

Latar belakang Harry sebagai seorang ilmuwan itu menarik untuk diperbincangkan karena BPK sejatinya adalah lembaga negara yang tak dapat (di)lepas(kan) dari kultur ilmiah. BPK bekerja berdasarkan idealitas, standar, sesuatu yang dicita-citakan (das Sollen), dan melalui BPK-lah semua itu coba diwujudkan, diterapkan, dan ditegakkan.

Seorang pemeriksa/auditor pada hakikatnya adalah seorang peneliti yang bekerja tak semata bermodalkan intuisi, melainkan juga dasar akademik yang kuat, pengujian ilmiah nan ketat, dan diskusi (baca: konsinyering) yang mendalam. Pemeriksa sejatinya merupakan perpaduan antara wartawan dan hakim.

Wartawan karena dalam bekerja pemeriksa menggunakan data dan fakta. Hakim karena dalam menuangkan “putusan kuasi-yudisial”-nya di Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP), pemeriksa harus berlandaskan nurani dan akal yang sehat. LHP, produk yang dibikin oleh seorang pemeriksa, ditulis dengan metodologi ilmiah. Dalam rupa tertulisnya saja kita dapat menebak bahwa LHP pastilah disusun dengan metodologi penulisan tertentu yang baku dan, tentu saja, dievaluasi formatnya sepanjang waktu.

Standar Pemeriksaan Keuangan Negara, Pedoman Manajemen Pemeriksaan, Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) Pemeriksaan Keuangan, Juklak Pemeriksaan Kinerja, Juklak Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu, Sistem Pengendalian Mutu, Petunjuk Teknis (Juknis) Pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah, Juknis Pemeriksaan Kinerja Pelayanan Umum, Juknis Penilaian Risiko, dan Juknis Penetapan Batas Materialitas adalah sebagian dari seabrek aturan yang dibikin BPK berdasarkan riset mendalam demi terwujudnya LHP yang berkualitas.

Sejak perencanaan hingga pelaporan pemeriksaan, suatu tim pemeriksa mengacu pada standar tertentu yang telah teruji secara keilmuan sebagai standar pemeriksaan (auditing) internasional. Karena luasnya lingkup pemeriksaan yang dilakukan BPK —mencakup segala aspek— seorang pemeriksa harus menguasai hampir semua disiplin keilmuan. Hakikat multidisiplinaritas ilmu melekat secara otomatis pada diri seorang pemeriksa, suka-tidak suka.

Maka, tidak salahlah jika dikatakan bahwa seorang pemeriksa adalah juga seorang ilmuwan. Oleh sebab itu, seseorang yang layak memimpin lembaga yang berisi para “ilmuwan” tentu saja adalah dia yang memiliki kapabilitas keilmuan yang mumpuni. Terkandung fitrah ilmuwan dari seorang ketua BPK.

Publik Menunggu
                                          
Menilik riwayat panjang BPK sejak masa awal kemerdekaan, akan tampaklah ke hadapan kita bahwa jabatan ketua BPK secara berselang-seling dipegang oleh kalangan ilmuwan dan militer. Para ketua BPK di era pemerintahan Presiden Sukarno hampir semuanya berlatarbelakang profesional non-partai atau ilmuwan non-militer.

R Soerasno (menjabat sejak 1947), R Kasirman (1949), AK Pringgodigdo (1957), dan I Gusti Ketut Pudja (1960) adalah nama-nama ketua BPK di era pemerintahan Presiden Sukarno yang menjabat benar-benar lantaran kapasitas kenegarawanan, keilmuan, dan profesionalitas mereka. Kendati terdapat sisi militer dalam diri seorang Sri Sultan Hamengkubuwono IX (1964), publik mengakui kiprahnya sebagai pendiri Republik, dan merupakan suatu kebanggaan pucuk pimpinan BPK dijabat olehnya.

Tatkala Presiden Soeharto berkuasa hingga menjelang senjakala kekuasaannya, singgasana BPK diduduki oleh para jenderal TNI Angkatan Darat. D Suprayogi (menjabat sejak 1966), Umar Wirahadikusumah (1973), dan M Jusuf (1983) adalah para purnawirawan militer yang dikenal dekat dengan Presiden.

M Jusuf diketahui sebagai salah satu saksi kunci Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar), satu dari tiga jenderal —lainnya Basuki Rahmat dan Amirmachmud— yang menemui Presiden Sukarno di Istana Bogor dan berperan di balik lahirnya Supersemar. Bahkan, saking dekatnya dengan Presiden, selepas menjabat ketua BPK, Umar Wirahadikusumah lantas diangkat menjadi wakil presiden (Tokohindonesia.com, 23/10/2014).

Tiga ketua BPK selanjutnya benar-benar berlatar belakang ilmuwan. JB Sumarlin (menjabat sejak 1993), Satrio B Joedono (1998), dan Anwar Nasution (2004) merupakan para guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Di tangan merekalah BPK bertransformasi di tengah transisi pemerintahan menuju era Reformasi.

Kiprah Anwar Nasution sebagai pengemban amanat transformasi BPK berdasar amendemen konstitusi bahkan demikian luar biasa. BPK di bawah kepemimpinan Anwar adalah BPK yang garang. Dua buah undang-undang—yakni UU 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara dan UU 15/2006 tentang BPK—yang meneguhkan kedigdayaan wewenang BPK berhasil diterbitkan.

Pelbagai kritik cerdas, keras, dan pedas kerap dilontarkan Anwar Nasution demi membangun dan menyuarakan eksistensi lembaga yang dipimpinnya. Beragam riset diselenggarakan buat merumuskan teknik pemeriksaan yang paling mutakhir dan mampu menyajikan LHP yang bermanfaat bagi para pemangku kepentingan. Dan, yang paling penting, di bawah kepemimpinan Anwar Nasutionlah kesejahteraan pegawai BPK benar-benar diperhatikan.

Kini publik menunggu, apakah kepemimpinan Harry Azhar Azis yang peneliti, MA dari University of Oregon (1990), PhD dari Oklahoma State University (2000), dan mantan Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) (1983-1986) itu dapat memberi warna baru buat BPK, menunjukkan fitrah ilmuwan seorang ketua BPK?

Akankah, di tangan Harry Azhar Azis, BPK dapat merdeka dari belenggu bekas partai politik para anggotanya? Akankah reformasi birokrasi BPK dengan tiga nilai dasar—integritas, independensi, dan profesionalisme—yang telah dimulai dengan bagus oleh para ilmuwan seperti Anwar Nasution dapat dilanjutkan dan dikembangkan? Hanya waktu yang bisa menjawab. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar