Fitrah
Ilmuwan Ketua BPK
AP Edi Atmaja ; Alumnus
Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro;
Bekerja pada Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia
|
DETIKNEWS,
05 November 2014
Sidang anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada Selasa
(21/10/2014) lalu menyisakan harapan. Ketua baru lembaga pemeriksa ektern
pemerintah itu akhirnya ditetapkan. Harry Azhar Azis, anggota BPK yang baru
saja terpilih pada 15/9/2014 lalu itu, ditabalkan menduduki singgasana BPK,
menggantikan Rizal Djalil yang menjabat ketua BPK selama enam bulan.
Terpilihnya Harry Azhar Azis sebagai ketua BPK selain
menerbitkan harapan juga menuai kecaman. Kecaman dialamatkan pada latar
belakang Harry yang seorang politisi. Peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW) Firdaus Ilyas, misalnya,
menyatakan bahwa terpilihnya Harry Azhar Azis sebagai ketua BPK adalah sebuah
kemunduran. Sebab, menurut Firdaus Ilyas, seseorang yang berafiliasi dengan
partai politik disangsikan dapat mengedepankan independensi, integritas, dan
profesionalismenya sebagai pimpinan lembaga yang semestinya steril dari
nuansa politis (Metrotvnews.com,
23/10/2014).
Kritik semacam itu patut diapresiasi karena hal itu menunjukkan
bahwa eksistensi BPK di mata publik dan rasa memiliki (sense of belonging) publik terhadap lembaga yang telah ada sejak
era Hindia Belanda itu masih sangat kuat. Namun, jika kita mempersoalkan
latar belakang, rekam-jejak, atau riwayat hidup untuk menilai kepantasan
seseorang menduduki pucuk pimpinan BPK, dan kalau kita mau sedikit obyektif,
sesungguhnya banyak hal positif dalam pribadi seorang Harry Azhar Azis.
Harry pernah lama menjadi akademisi dan peneliti, yang
habitatnya bukanlah ruang riuh-ramai-berisik semacam parlemen, melainkan
ruang sunyi pergulatan manusia dengan ilmu pengetahuan. Ruang di mana
peradaban manusia diabadikan dan dikembangkan.
Pemeriksa: Wartawan,
Hakim, Ilmuwan
Latar belakang Harry sebagai seorang ilmuwan itu menarik untuk
diperbincangkan karena BPK sejatinya adalah lembaga negara yang tak dapat
(di)lepas(kan) dari kultur ilmiah. BPK bekerja berdasarkan idealitas,
standar, sesuatu yang dicita-citakan (das
Sollen), dan melalui BPK-lah semua itu coba diwujudkan, diterapkan, dan
ditegakkan.
Seorang pemeriksa/auditor pada hakikatnya adalah seorang
peneliti yang bekerja tak semata bermodalkan intuisi, melainkan juga dasar
akademik yang kuat, pengujian ilmiah nan ketat, dan diskusi (baca:
konsinyering) yang mendalam. Pemeriksa sejatinya merupakan perpaduan antara
wartawan dan hakim.
Wartawan karena dalam bekerja pemeriksa menggunakan data dan
fakta. Hakim karena dalam menuangkan “putusan kuasi-yudisial”-nya di Laporan
Hasil Pemeriksaan (LHP), pemeriksa harus berlandaskan nurani dan akal yang
sehat. LHP, produk yang dibikin oleh seorang pemeriksa, ditulis dengan
metodologi ilmiah. Dalam rupa tertulisnya saja kita dapat menebak bahwa LHP
pastilah disusun dengan metodologi penulisan tertentu yang baku dan, tentu
saja, dievaluasi formatnya sepanjang waktu.
Standar Pemeriksaan Keuangan Negara, Pedoman Manajemen
Pemeriksaan, Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) Pemeriksaan Keuangan, Juklak
Pemeriksaan Kinerja, Juklak Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu, Sistem
Pengendalian Mutu, Petunjuk Teknis (Juknis) Pemeriksaan Laporan Keuangan
Pemerintah Daerah, Juknis Pemeriksaan Kinerja Pelayanan Umum, Juknis
Penilaian Risiko, dan Juknis Penetapan Batas Materialitas adalah sebagian
dari seabrek aturan yang dibikin BPK berdasarkan riset mendalam demi
terwujudnya LHP yang berkualitas.
Sejak perencanaan hingga pelaporan pemeriksaan, suatu tim
pemeriksa mengacu pada standar tertentu yang telah teruji secara keilmuan
sebagai standar pemeriksaan (auditing)
internasional. Karena luasnya lingkup pemeriksaan yang dilakukan BPK
—mencakup segala aspek— seorang pemeriksa harus menguasai hampir semua
disiplin keilmuan. Hakikat multidisiplinaritas ilmu melekat secara otomatis
pada diri seorang pemeriksa, suka-tidak suka.
Maka, tidak salahlah jika dikatakan bahwa seorang pemeriksa
adalah juga seorang ilmuwan. Oleh sebab itu, seseorang yang layak memimpin
lembaga yang berisi para “ilmuwan” tentu saja adalah dia yang memiliki
kapabilitas keilmuan yang mumpuni. Terkandung fitrah ilmuwan dari seorang
ketua BPK.
Publik Menunggu
Menilik riwayat panjang BPK sejak masa awal kemerdekaan, akan
tampaklah ke hadapan kita bahwa jabatan ketua BPK secara berselang-seling
dipegang oleh kalangan ilmuwan dan militer. Para ketua BPK di era
pemerintahan Presiden Sukarno hampir semuanya berlatarbelakang profesional
non-partai atau ilmuwan non-militer.
R Soerasno (menjabat sejak 1947), R Kasirman (1949), AK
Pringgodigdo (1957), dan I Gusti Ketut Pudja (1960) adalah nama-nama ketua
BPK di era pemerintahan Presiden Sukarno yang menjabat benar-benar lantaran
kapasitas kenegarawanan, keilmuan, dan profesionalitas mereka. Kendati
terdapat sisi militer dalam diri seorang Sri Sultan Hamengkubuwono IX (1964),
publik mengakui kiprahnya sebagai pendiri Republik, dan merupakan suatu
kebanggaan pucuk pimpinan BPK dijabat olehnya.
Tatkala Presiden Soeharto berkuasa hingga menjelang senjakala
kekuasaannya, singgasana BPK diduduki oleh para jenderal TNI Angkatan Darat.
D Suprayogi (menjabat sejak 1966), Umar Wirahadikusumah (1973), dan M Jusuf
(1983) adalah para purnawirawan militer yang dikenal dekat dengan Presiden.
M Jusuf diketahui sebagai salah satu saksi kunci Surat Perintah
11 Maret 1966 (Supersemar), satu dari tiga jenderal —lainnya Basuki Rahmat
dan Amirmachmud— yang menemui Presiden Sukarno di Istana Bogor dan berperan
di balik lahirnya Supersemar. Bahkan, saking dekatnya dengan Presiden,
selepas menjabat ketua BPK, Umar Wirahadikusumah lantas diangkat menjadi
wakil presiden (Tokohindonesia.com,
23/10/2014).
Tiga ketua BPK selanjutnya benar-benar berlatar belakang
ilmuwan. JB Sumarlin (menjabat sejak 1993), Satrio B Joedono (1998), dan
Anwar Nasution (2004) merupakan para guru besar Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia. Di tangan merekalah BPK bertransformasi di tengah transisi
pemerintahan menuju era Reformasi.
Kiprah Anwar Nasution sebagai pengemban amanat transformasi BPK
berdasar amendemen konstitusi bahkan demikian luar biasa. BPK di bawah
kepemimpinan Anwar adalah BPK yang garang. Dua buah undang-undang—yakni UU
15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara
dan UU 15/2006 tentang BPK—yang meneguhkan kedigdayaan wewenang BPK berhasil
diterbitkan.
Pelbagai kritik cerdas, keras, dan pedas kerap dilontarkan Anwar
Nasution demi membangun dan menyuarakan eksistensi lembaga yang dipimpinnya.
Beragam riset diselenggarakan buat merumuskan teknik pemeriksaan yang paling
mutakhir dan mampu menyajikan LHP yang bermanfaat bagi para pemangku
kepentingan. Dan, yang paling penting, di bawah kepemimpinan Anwar
Nasutionlah kesejahteraan pegawai BPK benar-benar diperhatikan.
Kini publik menunggu, apakah kepemimpinan Harry Azhar Azis yang
peneliti, MA dari University of Oregon (1990), PhD dari Oklahoma State
University (2000), dan mantan Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)
(1983-1986) itu dapat memberi warna baru buat BPK, menunjukkan fitrah ilmuwan
seorang ketua BPK?
Akankah, di tangan Harry Azhar Azis, BPK dapat merdeka dari
belenggu bekas partai politik para anggotanya? Akankah reformasi birokrasi
BPK dengan tiga nilai dasar—integritas, independensi, dan
profesionalisme—yang telah dimulai dengan bagus oleh para ilmuwan seperti
Anwar Nasution dapat dilanjutkan dan dikembangkan? Hanya waktu yang bisa
menjawab. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar