Pahlawan
Masa Kini
Anonim ; Tanpa
Penjelasan
|
KORAN
JAKARTA, 11 November 2014
Periode prakolonial, ketika Nusantara masih terkotak dalam
otoritas para raja dan jarak sosial antarelite keraton yang menjadi semacam
sentral sosio-kultural dengan kawula rakyat yang lebih menyerupai satelit
tunduk pada hukum “kosmik” bernama kepatuhan, para raja adalah pemegang Wahyu
Cakraningrat.
Pada saat sama, tampak nasib rakyat dalam posisi sebagai abdi,
massa, dan bala tentara harus selalu siap dimobilisasi berperang atau
memanggul batu kali untuk pembangunan, di antaranya candi, pesanggrahan, dan
prasasti lain sebagai lambang kebesaran raja.
Rakyat barangkali merasa sakit hati, tetapi mungkin juga
terselip kebanggaan karena patuh pada raja sebagai satu-satunya tolok ukur
moralitas. Inilah kenyataan tentang hegemonisasi kuasa dalam kehidupan
sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Penguasaan yang membungkus segala
bentuk ketidakadilan dengan nilai kultural bernama kesetiaan.
Ini menjadi strategi klasik dan taktik politis yang mangkus
untuk membungkam potensi mobilitas vertikal melawan dari rakyat. Ken Arok
pun, untuk memaafkan pengkhianatan dan pembangkangannya atas sabda,
diapresiasi sebagai manusia titisan dewa, bahkan setengah dewa.
Cara ini dipakai untuk mempertahankan konsepsi kepahlawanan dan
kesatriaan dalam logika tradisional feodal. Ketika itu, identifi kasi
kepahlawanan seorang pangeran berdarah biru duduk di atas pelana kuda. Logika
ini dengan sendirinya mengonstruksi sebuah citra kepahlawanan bahwa kaum
pemberani dan pembela kebenaran identik dengan “kasta tinggi”. Ini menutup
rapat-rapat kemungkinan kepahlawanan dalam diri seorang petani miskin, kasta
terendah, buta huruf, tanpa kuda, dan tanpa alas kaki.
Di zaman kolonial, logika tradisional feodal tersebut makin
dibebani watak penjajah yang cenderung diskriminatif dan rasialis. Pada
periode ini, terbaca sebuah garis pertikaian antar penguasa (kolonial) dengan
penguasa feodal yang meruncing menjadi konfl ik bersenjata. Konsepsi
kepahlawanan masih di dalam lingkaran logika tradisional feodal.
Politik adu domba yang dimainkan Belanda terbukti efektif
mematahkan, memecah belah, dan mengakhiri perlawanan primordial penguasa
feodal. Namun, inilah yang kemudian menjadi periode embrional kelahiran
perlawanan rakyat yang terang-terangan bersifat struktural. Sikap
kompromistik penguasa feodal atas kolonialisme akhirnya membuka kemungkinan
konfrontasi langsung antara rakyat dari kalangan akar rumput dan sistem
kolonialisme.
Kenyataan ini terlihat dalam sejarah pergolakan rakyat di Jawa,
akhir abad ke-19 dan dua dasawarsa pertama abad ke-20. Pada awalnya,
perlawanan dipelopori kaum terdidik. Namun, gambaran tentang kepahlawanan
dalam logika tradisional feodal berangsur mengabur seiring melebarnya ruang
pendidikan formal sampai ke desa. Apalagi muncul “bahasa” Melayu, disusul
pemakaian mesin cetak. Semua itu memungkinkan sosialisasi ide, gagasan, dan
transformasi perlawanan ke kalangan rakyat.
Revolusioner
Perlawanan pun perlahan beralih menjadi pergerakan bukan lagi
primordial atau mengutamakan senjata dan gerilya, tetapi penggabungan dari
kesemuanya yang mempertemukan senjatasurat kabar, gerilya dengan organisasi
massa, dan gedung parlemen. Perlawanan ini menandai kelahiran zaman baru
sebagai awal perubahan revolusioner menyangkut konsepsi kepahlawanan.
Konsepsi kepahlawanan tidak lagi terkait dengan “kasta tinggi”, tetapi
kepentingan mengusir penjajah. Logika pun bergeser dari tradisional feodal ke
nasionalisme. Ini tidak lagi didasari kepatuhan pada sabda dan titah raja,
tetapi harapan akan tanah serta janji hari esok.
Titik balik kemudian terjadi. Rakyat dari kalangan akar rumput
yang sebelumnya hanya berabad dalam posisi sebagai objek, massa, dan bala
tentara anonim kini menemukan ruang pemaknaan serta ekspresi diri. Maka,
mengalirlah energi perlawanan luar biasa yang telah lama terbangun. Sayang,
konsepsi kepahlawanan dalam logika nasionalisme tersebut dibangun melalui
garis batas jelas antara “kita” dan “mereka” serta konkretisasi musuh, yakni
Belanda.
Kelak, setelah republik memerdekakan diri, justru mentalitas
perlawanan dan kepahlawanan tidak akrab dengan kemiskinan, ketidakadilan,
korupsi, atau musuh lainnya. Malahan ada fenomena mengerasnya rasa sentimen
dan superioritas etnik, agama serta identitas lokal akhir-akhir ini.
Kemiskinan dan ketidakadilan yang mengkristal dalam kesenjangan sosial,
pengangguran, gizi buruk, serta politik korup tidak dilihat sebagai musuh
yang harus diberantas. Ironis, di saat diperlukan energi kepahlawanan untuk
memerangi segala bentuk kemiskinan, pengangguran, dan wabah korupsi, yang
muncul malah bentrokan.
Mereka berdalih untuk membela nama baik sekolah, kampung, dan
bendera partai. Perkelahian ini jelas tidak heroik dan hanya baku hantam kaum
barbarian. Barangkali momen Hari Pahlawan kemarin dapat menjadi titik balik
untuk mengonstruksi kembali arti dan makna kepahlawanan. Harus muncul
konsepsi bau kepahlawanan yang tidak mengidentikkan dengan kekerasan atau
pertikaian penuh darah. Heroisme tidak lagi di ujung pedang atau bedil. Ia
boleh jadi berada di sebuah laboratorium, perpustakaan, dan ruang redaksi.
Boleh jadi dia berada di antara langkah kaki para TKI. Dalam
mengisi kemerdekaan pun bangsa dituntut menjadi pahlawan, orang yang berani
dan rela berkorban dalam membela kebenaran. Bangsa ini membutuhkan banyak
pahlawan untuk mewujudkan Indonesia yang damai, adil, demokratis, dan
sejahtera. Banyak wilayah masih dihantui teror, tawuran, konfl ik, dan kekerasan.
Dibutuhkan orang yang berani mencari akar masalah guna memberi solusi.
Negeri sedang dililit kanker korupsi yang sudah mencapai stadium
akhir. Maka, dibutuhkan orang-orang yang berani memberantasnya. Seorang
ilmuwan pun bisa menjadi pahlawan berkat penemuannya yang dapat
menyejahterahkan orang banyak. Seorang pendidik atau dosen yang berjuang
mencerdaskan bangsa juga pahlawan. Para anggota DPR juga pahlawan jika tidak
saling “berkelahi”, tapi berjuang demi kepentingan dan kesejahteraan rakyat.
Kemarin bangsa mengenang jasa para pejuang kemerdekaan. Mari
bertanya pada diri sendiri, relakah mengorbankan diri demi prestasi dengan
cara yang adil, pantas, dan wajar? Saat ini dibutuhkan banyak pahlawan yang
mampu berjuang demi kepentingan rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar