Rabu, 12 November 2014

Pahlawan Masa Kini

Pahlawan Masa Kini

Anonim  ;  Tanpa Penjelasan
KORAN JAKARTA, 11 November 2014
                                                
                                                                                                                       


Periode prakolonial, ketika Nusantara masih terkotak dalam otoritas para raja dan jarak sosial antarelite keraton yang menjadi semacam sentral sosio-kultural dengan kawula rakyat yang lebih menyerupai satelit tunduk pada hukum “kosmik” bernama kepatuhan, para raja adalah pemegang Wahyu Cakraningrat.

Pada saat sama, tampak nasib rakyat dalam posisi sebagai abdi, massa, dan bala tentara harus selalu siap dimobilisasi berperang atau memanggul batu kali untuk pembangunan, di antaranya candi, pesanggrahan, dan prasasti lain sebagai lambang kebesaran raja.
Rakyat barangkali merasa sakit hati, tetapi mungkin juga terselip kebanggaan karena patuh pada raja sebagai satu-satunya tolok ukur moralitas. Inilah kenyataan tentang hegemonisasi kuasa dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Penguasaan yang membungkus segala bentuk ketidakadilan dengan nilai kultural bernama kesetiaan.

Ini menjadi strategi klasik dan taktik politis yang mangkus untuk membungkam potensi mobilitas vertikal melawan dari rakyat. Ken Arok pun, untuk memaafkan pengkhianatan dan pembangkangannya atas sabda, diapresiasi sebagai manusia titisan dewa, bahkan setengah dewa.

Cara ini dipakai untuk mempertahankan konsepsi kepahlawanan dan kesatriaan dalam logika tradisional feodal. Ketika itu, identifi kasi kepahlawanan seorang pangeran berdarah biru duduk di atas pelana kuda. Logika ini dengan sendirinya mengonstruksi sebuah citra kepahlawanan bahwa kaum pemberani dan pembela kebenaran identik dengan “kasta tinggi”. Ini menutup rapat-rapat kemungkinan kepahlawanan dalam diri seorang petani miskin, kasta terendah, buta huruf, tanpa kuda, dan tanpa alas kaki.

Di zaman kolonial, logika tradisional feodal tersebut makin dibebani watak penjajah yang cenderung diskriminatif dan rasialis. Pada periode ini, terbaca sebuah garis pertikaian antar penguasa (kolonial) dengan penguasa feodal yang meruncing menjadi konfl ik bersenjata. Konsepsi kepahlawanan masih di dalam lingkaran logika tradisional feodal.

Politik adu domba yang dimainkan Belanda terbukti efektif mematahkan, memecah belah, dan mengakhiri perlawanan primordial penguasa feodal. Namun, inilah yang kemudian menjadi periode embrional kelahiran perlawanan rakyat yang terang-terangan bersifat struktural. Sikap kompromistik penguasa feodal atas kolonialisme akhirnya membuka kemungkinan konfrontasi langsung antara rakyat dari kalangan akar rumput dan sistem kolonialisme.

Kenyataan ini terlihat dalam sejarah pergolakan rakyat di Jawa, akhir abad ke-19 dan dua dasawarsa pertama abad ke-20. Pada awalnya, perlawanan dipelopori kaum terdidik. Namun, gambaran tentang kepahlawanan dalam logika tradisional feodal berangsur mengabur seiring melebarnya ruang pendidikan formal sampai ke desa. Apalagi muncul “bahasa” Melayu, disusul pemakaian mesin cetak. Semua itu memungkinkan sosialisasi ide, gagasan, dan transformasi perlawanan ke kalangan rakyat.

Revolusioner

Perlawanan pun perlahan beralih menjadi pergerakan bukan lagi primordial atau mengutamakan senjata dan gerilya, tetapi penggabungan dari kesemuanya yang mempertemukan senjatasurat kabar, gerilya dengan organisasi massa, dan gedung parlemen. Perlawanan ini menandai kelahiran zaman baru sebagai awal perubahan revolusioner menyangkut konsepsi kepahlawanan. Konsepsi kepahlawanan tidak lagi terkait dengan “kasta tinggi”, tetapi kepentingan mengusir penjajah. Logika pun bergeser dari tradisional feodal ke nasionalisme. Ini tidak lagi didasari kepatuhan pada sabda dan titah raja, tetapi harapan akan tanah serta janji hari esok.

Titik balik kemudian terjadi. Rakyat dari kalangan akar rumput yang sebelumnya hanya berabad dalam posisi sebagai objek, massa, dan bala tentara anonim kini menemukan ruang pemaknaan serta ekspresi diri. Maka, mengalirlah energi perlawanan luar biasa yang telah lama terbangun. Sayang, konsepsi kepahlawanan dalam logika nasionalisme tersebut dibangun melalui garis batas jelas antara “kita” dan “mereka” serta konkretisasi musuh, yakni Belanda.

Kelak, setelah republik memerdekakan diri, justru mentalitas perlawanan dan kepahlawanan tidak akrab dengan kemiskinan, ketidakadilan, korupsi, atau musuh lainnya. Malahan ada fenomena mengerasnya rasa sentimen dan superioritas etnik, agama serta identitas lokal akhir-akhir ini. Kemiskinan dan ketidakadilan yang mengkristal dalam kesenjangan sosial, pengangguran, gizi buruk, serta politik korup tidak dilihat sebagai musuh yang harus diberantas. Ironis, di saat diperlukan energi kepahlawanan untuk memerangi segala bentuk kemiskinan, pengangguran, dan wabah korupsi, yang muncul malah bentrokan.

Mereka berdalih untuk membela nama baik sekolah, kampung, dan bendera partai. Perkelahian ini jelas tidak heroik dan hanya baku hantam kaum barbarian. Barangkali momen Hari Pahlawan kemarin dapat menjadi titik balik untuk mengonstruksi kembali arti dan makna kepahlawanan. Harus muncul konsepsi bau kepahlawanan yang tidak mengidentikkan dengan kekerasan atau pertikaian penuh darah. Heroisme tidak lagi di ujung pedang atau bedil. Ia boleh jadi berada di sebuah laboratorium, perpustakaan, dan ruang redaksi.

Boleh jadi dia berada di antara langkah kaki para TKI. Dalam mengisi kemerdekaan pun bangsa dituntut menjadi pahlawan, orang yang berani dan rela berkorban dalam membela kebenaran. Bangsa ini membutuhkan banyak pahlawan untuk mewujudkan Indonesia yang damai, adil, demokratis, dan sejahtera. Banyak wilayah masih dihantui teror, tawuran, konfl ik, dan kekerasan. Dibutuhkan orang yang berani mencari akar masalah guna memberi solusi.

Negeri sedang dililit kanker korupsi yang sudah mencapai stadium akhir. Maka, dibutuhkan orang-orang yang berani memberantasnya. Seorang ilmuwan pun bisa menjadi pahlawan berkat penemuannya yang dapat menyejahterahkan orang banyak. Seorang pendidik atau dosen yang berjuang mencerdaskan bangsa juga pahlawan. Para anggota DPR juga pahlawan jika tidak saling “berkelahi”, tapi berjuang demi kepentingan dan kesejahteraan rakyat.

Kemarin bangsa mengenang jasa para pejuang kemerdekaan. Mari bertanya pada diri sendiri, relakah mengorbankan diri demi prestasi dengan cara yang adil, pantas, dan wajar? Saat ini dibutuhkan banyak pahlawan yang mampu berjuang demi kepentingan rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar