Senin, 03 November 2014

Menuju Arah Baru Pendidikan Indonesia

Menuju Arah Baru Pendidikan Indonesia

Restu Gunawan  ;  Sekretaris Umum Masyarakat Sejarawan Indonesia
KOMPAS, 03 November 2014
                                                
                                                                                                                       


KABINET Kerja telah dilantik. Hal yang baru dalam dunia pendidikan adalah pemisahan pendidikan tinggi (digabung dengan riset dan teknologi) dari kebudayaan, pendidikan dasar, dan menengah. Yang pertama bergabung menjadi Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, yang kedua tetap: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Dengan pemecahan ini, diharapkan kinerja kementerian bisa lebih fokus dan implementatif. Dalam kaitannya dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, ada dua hal penting yang patut dicermati dari konsep dasar pembangunan pendidikan yang disampaikan oleh Anies Baswedan setelah dilantik sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Pertama, pemerataan pendidikan dan pendidikan yang berkeadilan bagi semua anak bangsa. Kedua, konsep tenunan kebangsaan Indonesia.

Masalah ketimpangan pendidikan dari dulu sampai sekarang merupakan masalah yang tidak kunjung selesai, baik itu antara bagian timur dan barat Indonesia, Jawa dan luar Jawa, maupun antara pedesaan dan perkotaan. Seolah jurang di antara dua wilayah ini kian lebar dan tidak semakin mendekat. Untuk itulah, arah baru  pendidikan harus dikembalikan pada cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan pemerataan kesempatan belajar bagi seluruh warga bangsa Indonesia.

Pada masa kolonial hanya dua daerah di luar Jawa yang pendidikannya lebih menonjol daripada daerah lain, yaitu di Padang dan Minahasa. Dua wilayah ini pada masa kolonial telah menghasilkan pemikir-pemikir muda yang terus menyebarkan ide-idenya untuk kemajuan bangsa (Hindia) Indonesia.

Sebut saja Ahmad Abdul Rivai, seorang lulusan dokter dari Belgia yang memilih menjadi jurnalis. Ia menjadi pendiri dan pemimpin redaksi dwimingguan Bintang Hindia (1906). AA Rivai adalah pemimpin redaktur pribumi pertama di Indonesia.

Berkat tulisan di majalahnya yang dia sebut sebagai ”soerat  tjerita”, gagasan untuk memajukan pengetahuan rakyat agar mencapai ”bangsawan pikiran” terus digelorakan. Bangsawan pikiran lahir dari hasil perjuangan, pencapaian intelektual dari kaum muda yang mau belajar, yang berbeda dengan bangsawan usul (turunan).

Menurut AA Rivai, untuk melawan bangsa Barat yang sudah maju, kaum muda di Hindia Belanda harus melawan dengan kepandaian yang diperoleh melalui pendidikan. Bintang Hindia seolah membuka mata bagi kaum muda Indonesia untuk meraih pendidikan yang lebih tinggi. Karena pemikiran dan ide-ide Rivai-lah, seorang Wahidin Sudirohusodo pun menyarankan pengikutnya untuk bertanya kepada Rivai mengenai ide-ide kemajuan bangsa. Dari pergumulan pemikiran inilah terus bergerak sehingga bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan.

Jika AA Rivai menyebarkan gagasan kemajuan melalui media jurnalisme yang ujungnya adalah pembebasan diri dari kolonialisme, kini pada era Kabinet Kerja, mampukan gerakan ”Indonesia Mengajar” yang dulunya gerakan sosial, budaya, dan pendidikan—yang kini setelah sang penggagasnya diberi amanah untuk memimpin Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan—dapat memberikan akses seluas-luasnya kepada peserta didik? Inilah yang kita perjuangkan bersama.

Kartu Indonesia Pintar (KIP), yang konon dianggap berhasil di Solo dan Jakarta, kini akan dibawa ke pentas nasional: mampukan memberi jawab terhadap pendidikan yang berkeadilan dan merata? Tentu program KIP perlu disempurnakan, baik kriteria penerima, maupun data penerimanya, sehingga program ini bisa tepat sasaran.

Tenunan kebangsaan

Mengacu pada pemikiran di atas, pertanyaan selanjutnya, di manakah  kebudayaan akan diletakkan dalam konteks kemajuan pendidikan Indonesia baru. Jika pada masa Presiden Soekarno kita mengenal konsep kepribadian bangsa, masa Presiden Soeharto konsep jati diri bangsa, dan masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ada konsep karakter bangsa, pada era Presiden Joko Widodo ada konsep revolusi mental.

Jika dicermati, konsep-konsep tersebut sebenarnya di dalam implementasinya selalu berlandaskan pada kebudayaan Indonesia. Begitu menjanjikan bagi pengembangan kebudayaan. Akan tetapi, dalam praktiknya—dari dulu sampai kini—nilai-nilai kebudayaan masih sangat sedikit diterapkan dalam proses pembelajaran karena nilai numerik (angka) lebih banyak mendominasi dalam proses pembelajaran.

Untuk itu, dibutuhkan guru-guru yang dapat menggabungkan antara kemampuan keilmuan dan pengetahuan budaya agar dapat memberi motivasi kepada siswa. Akibat dari semua itu, dari ketiga konsep kebudayaan (kepribadian bangsa, jati diri bangsa, dan karakter bangsa) sebelum era Joko Widodo, pada kenyataannya bangsa Indonesia belum mampu melakukan akselerasi menuju bangsa yang maju dan beradab. Kita masih terpuruk pada jargon-jargon yang belum menyentuh kehidupan masyarakat secara mendasar.

Terbukti korupsi masih terus tumbuh, begitu juga kematangan berpolitik dari para elite yang cenderung mengalami involusi. Sementara di bidang ekonomi, gap antara kelompok kaya dan miskin yang semakin menganga. Akhirnya, dalam bidang kebudayaan yang terjadi adalah penyeragaman kebudayaan, dominasi budaya besar terhadap budaya kecil, karena otonomi kebudayaan kurang dapat tempat.

Lalu, apakah revolusi mental bisa mengubah perilaku berbangsa dan bernegara? Tentu ini masih membutuhkan pembuktian bersama.

Namun, paling tidak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan baru yang menawarkan sebuah konsep tenunan kebangsaan yang berusaha mengimplementasikan konsep revolusi mental patut pula kita kritisi. Jika Indonesia  diibaratkan sebagai sebuah lembaran kain tenun, keberagaman bahasa, suku bangsa, adat istiadat, dan sejarah adalah mozaik yang harus ditenun menjadikan satu keindonesiaan yang utuh, tetapi tetap berwarna-warni sesuai dengan karakternya masing-masing. Jadi, bukan sebuah penyeragaman yang membuat dominasi kebudayaan tertentu terhadap kebudayaan yang lain. Inilah wujud dari ”persatuan” dan bukan ”persatean” yang mudah tercerai-berai, seperti yang pernah dikatakan Mohammad Hatta pada 1930-an.

Jika mengacu pada konsep tenunan kebangsaan tersebut, di sinilah sinkronisasi antara kebudayaan dan pendidikan Indonesia. Kebudayaan yang diartikan sebagai hasil pergulatan pemikiran itulah yang menjadi kerangka dasar dalam pengembangan pendidikan Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar