Reformasi
Hukum di Era Jokowi-JK
Reza Syawawi ; Peneliti
Hukum dan Kebijakan
Transparency International Indonesia
|
KOMPAS,
03 November 2014
REFORMASI sektor hukum selama 10 tahun (2004-2014) terakhir
meninggalkan banyak jejak buruk. Di masa itu terjadi kriminalisasi terhadap
pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Chandra M Hamzah dan Bibit S Rianto
(2009-2010), atau lebih dikenal dengan istilah ”cicak vs buaya”. Pada tahun
2012 terjadi ”penyerangan” oleh sekelompok pasukan dari Polri ke KPK dengan
alasan untuk menangkap salah seorang penyidik KPK yang diduga melakukan
tindak pidana.
Kedua peristiwa tersebut berakhir melalui penetapan hukum
(SKPP), tetapi ada juga yang berakhir begitu saja. Apa pun itu, publik cukup
baik mengingat peristiwa tersebut sebagai praktik penegakan hukum yang cacat.
Pengalaman ini telah menjadi catatan buruk bagi institusi
penegak hukum konvensional yang ada di bawah kekuasaan Presiden (kepolisian
dan kejaksaan). Selama 10 tahun (2003-2014) KPK berdiri ternyata belum banyak
mengubah karakter penegakan hukum yang buruk tersebut.
Merawat KPK
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menghadapi situasi politik
(parlemen) yang kurang menguntungkan terkait penguatan lembaga KPK. Tekanan
politik ini akan semakin menguat jika Presiden mengambil pilihan untuk
bersikap ”netral”, seperti pernah dilakukan rezim sebelumnya. Pada masa itu,
dukungan publiklah yang justru paling dominan dalam mendukung kerja KPK.
Jika membaca dokumen visi misi yang pernah disampaikan oleh
Presiden Jokowi, setidaknya ada dua prioritas utama yang meneguhkan posisi
Presiden dalam menyokong kerja KPK. Pertama, adanya komitmen untuk tetap
menjaga keberlangsungan KPK dalam upaya pemberantasan korupsi. Kedua,
memastikan sinergi di antara kejaksaan, kepolisian, dan KPK.
Perdebatan tentang kelembagaan KPK yang bersifat sementara telah
lama diembuskan oleh politisi di DPR. Bahkan, di antara mereka kini ada yang
menduduki jabatan struktural di partai dan dalam jajaran pimpinan DPR.
Jika posisi politik parlemen kurang menguntungkan dalam menjaga
keberlangsungan KPK, maka posisi Presiden akan menjadi tameng terakhir. Dalam
konteks ini, ada beberapa kewenangan Presiden yang bisa dijadikan alat untuk
”merawat” KPK.
Proses seleksi pimpinan KPK jadi penentu awal untuk menjaga agar
KPK tidak digembosi oleh kalangan internalnya sendiri. Presiden memegang
mandat penuh untuk melakukan seleksi melalui panitia seleksi ) terhadap calon
pimpinan KPK yang akan diserahkan kepada DPR.
Jika Presiden memilih calon yang kadar integritas dan
kapasitasnya baik, DPR tidak punya pilihan untuk tidak memilih calon
tersebut. Namun, akan sangat berisiko bagi KPK jika Presiden justru
meloloskan calon yang berpotensi kuat menggembosi KPK dari dalam.
Dalam konteks legislasi, keberadaan KPK juga terancam jika DPR
mengusulkan undang-undang yang melucuti kewenangan KPK atau bahkan
membubarkan KPK. Situasi ini mungkin saja terjadi jika mayoritas kelompok
politik di parlemen semakin terancam dengan kerja-kerja KPK.
Kuasa legislasi Presiden telah didesain sedemikian rupa untuk
mengimbangi dominasi DPR dalam pembentukan UU. Sekalipun DPR yang memegang
kuasa pembentukan UU, dalam prosesnya wajib mendapatkan persetujuan bersama.
Pengalaman buruk yang pernah dilakukan rezim terdahulu terkait
penyusunan UU Pilkada menyisakan ”trauma” di mana kuasa legislasi Presiden
”dikebiri” oleh Presiden sendiri. Pemerintah melakukan ”bunuh diri” legislasi
karena tidak punya posisi terhadap UU Pilkada.
Padahal, menurut konstitusi, jika suatu rancangan UU tidak
memperoleh persetujuan bersama, tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan
masa itu. Sayangnya, pemerintahan saat itu memilih untuk tunduk dan lebih
memilih mengikuti ”selera” legislasi parlemen.
Hal yang sama akan berlaku ketika parlemen mendelegitimasi
keberadaan KPK melalui perubahan atau penghapusan UU. Pada titik inilah kuasa
legislasi Presiden digunakan untuk mementahkan setiap upaya politik yang
melemahkan KPK.
Kuasa yudisial
Selain itu, politik anggaran pemerintah seyogianya juga
digunakan untuk melindungi kepentingan pemberantasan korupsi. Parlemen yang
selama ini ”menekan” KPK melalui politik alokasi dalam APBN sudah sepatutnya
mendapat sokongan dari Presiden.
Penolakan DPR terhadap pembangunan gedung KPK seharusnya tidak
perlu terjadi jika Presiden menggunakan posisi politiknya dalam APBN untuk
menyokong KPK. Pembelajaran ini penting untuk mengingatkan kembali bahwa
Presiden Jokowi telah berkomitmen menjaga KPK dengan segala kuasa yang melekat
pada jabatannya sebagai Presiden.
Di samping ancaman politik, KPK juga berhadapan stagnannya
reformasi hukum oleh institusi penegak hukum yang berada di bawah kekuasaan
Presiden, yaitu kepolisian dan kejaksaan. Padahal, KPK dihadirkan justru
untuk mengubah tradisi penegakan hukum yang korup.
Selama 10 tahun KPK berdiri, apa yang telah direplikasi oleh
kepolisian dan kejaksaan dalam penanganan kasus korupsi? Serta perbaikan apa
yang telah dilakukan untuk memperbaiki mekanisme kerja kepolisian dan kejaksaan,
lalu apa hasilnya?
Pertanyaan ini sebetulnya lebih tepat ditujukan kepada Presiden
sebelumnya sebab ia adalah pemimpin tertinggi di kedua institusi tersebut. Ia
punya visi apa untuk memperbaiki ini melalui kebijakannya.
Peluang intervensi Presiden sesungguhnya tidak hanya dalam
konteks mengangkat dan memberhentikan Kepala Polri dan Jaksa Agung. Lebih
dari itu, sinergi penegakan hukum antara KPK, Polri, dan Kejaksaan juga tak
hanya diterjemahkan sebagai ajang ”tukar-menukar” penyelidik/penyidik/penuntut
umum, tetapi bagaimana sistem yang sudah sangat baik yang dibangun KPK
direplikasi oleh Kepolisian dan Kejaksaan. Semua ini bergantung kepada
Presiden, nasib kuasa yudisial yang ada di ranah eksekutif ini akan
ditentukan dalam lima tahun ke depan.
Janji reformasi sektor hukum wajib ditagih untuk ditunaikan oleh
Presiden Jokowi. Jika tidak, kita hanya akan menyaksikan praktik korupsi yang
semakin meluas akibat praktik penegakan hukum yang tak kunjung membaik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar