Selasa, 11 November 2014

Mengalihkan Subsidi BBM ke Sektor Produktif

Mengalihkan Subsidi BBM ke Sektor Produktif

A Tony Prasetiantono  ;  Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada
MEDIA INDONESIA, 10 November 2014
                                                
                                                                                                                       


TIGA pekan yang lalu saya berkunjung ke Shanghai dan Beijing, Tiongkok. Dalam sebuah diskusi di Shanghai, seorang ekonom Tiongkok terperanjat ketika saya beritahu bahwa harga eceran bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi di Indonesia ialah Rp 6.500 per liter. Di Tiongkok, harga eceran BBM sekitar 8 yuan, atau setara Rp16 ribu per liter. Itu pun masih belum apa-apa jika dibandingkan dengan di Turki, tempat harga BBM sekitar Rp 32 ribu per liter. Turki bersama Norwegia merupakan dua negara dengan harga eceran BBM tertinggi di dunia. Negara-negara yang masuk 10 besar ialah Belanda, Italia, Swedia, Yunani, Prancis, Portugal, Belgia dan Jerman.

Lalu, bagaimana pemerintah Tiongkok melindungi daya beli (purchasing power) rakyatnya dengan penduduk saat ini mencapai 1,36 miliar orang? Seperti praktik di negara-negara maju, mereka memberikan bantuan tunai langsung (cash transfer) kepada kelompok penduduk miskin. Bagi pemerintah Tiongkok, subsidi terhadap barang (BBM) tidak layak diberikan, tetapi yang lebih tepat ialah memberi transfer tunai kepada kelompok rakyat yang termiskin. Itu akan lebih efektif dan kena sasaran (targeted).

Menurut The Economist (20/10), jumlah penduduk miskin Tiongkok resminya ialah 83 juta pada akhir 2013. Meski demikian, data itu bisa jadi mengecoh (misleading). Kriteria miskin menurut Bank Dunia US$ 1,25 per orang per hari, sebenarnya jumlah penduduk miskin Tiongkok 200 juta. Angka itu lebih masuk akal, yang berarti penduduk miskin masih 14,7%. Mereka itulah yang menjadi sasaran pemberian bantuan tunai langsung. Cara itu dianggap lebih efektif untuk memproteksi kelompok sasaran termiskin.

Bagaimana skenarionya jika kebijakan di Tiongkok tersebut diterapkan di Indonesia? Saat ini (APBN 2014) subsidi BBM dan listrik ialah Rp 350 triliun, yang terdiri dari subsidi BBM Rp 246 triliun dan subsidi listrik Rp104 triliun. Jika suatu saat nanti subsidi BBM bisa dihilangkan (tentu saja secara bertahap), kita akan mendapatkan ruang fiskal hampir Rp 250 triliun.

Jika kita asumsikan dana sebesar itu dibagi dua sama rata untuk kepentingan (1) pembangunan infrastruktur dan (2) melindungi daya beli kelompok miskin, tiap pos mendapatkan Rp125 triliun.Besaran tersebut sangat signifikan. Sebagai perbandingan, biaya pembangunan mass rapid transit (MRT) di Jakarta, untuk jalur Lebak Bulus hingga Hotel Indonesia (tahap pertama), kemudian ke stasiun Kota (tahap kedua), biaya totalnya `hanya' Rp27 triliun. Itu pun diamortisasi sampai tujuh tahun (2013-2020) sehingga berarti biaya per tahun `hanya' Rp4 triliun.

Biaya pembangunan bandara megah Kualanamu di Sumatra Utara juga `hanya' Rp 5,6 triliun dalam tempo delapan tahun. Artinya, kebutuhan dananya `cuma' Rp 700 miliar per tahun. Bandara di Balikpapan yang indah itu juga hanya Rp 2 triliun; Bandara Ngurah Rai di Bali cuma Rp 2,7 triliun; rel kereta ganda (double track) Jakarta-Surabaya sepanjang 727 km hanya Rp10,6 triliun; jalan tol di atas laut di Bali sepanjang 12 km cuma Rp 2,7 triliun, dan seterusnya. Dengan kata lain, dana Rp125 triliun per tahun untuk menambah anggaran infrastruktur tersebut sangatlah besar!

Kesalahan alokasi

Lalu, bagaimana dengan dana Rp 125 triliun jika kita berikan secara tunai kepada penduduk miskin? Itu juga sangat dahsyat. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), per Maret 2014 jumlah penduduk miskin kita ialah 28,3 juta, yang terdiri dari 10,5 juta di perkotaan dan 17,7 juta di perdesaan. Jika kita transfer dana Rp125 triliun kepada mereka, akan diperoleh angka Rp 6 juta/ orang/tahun.

Taruhlah data BPS tersebut sesungguhnya misleading (terlalu rendah). Kita ambil data lain. Kriteria Bank Dunia US$1,25/orang/hari, akan ditemukan angka penduduk miskin 65 juta orang. Dengan data itu, akan diperoleh bantuan tunai langsung Rp 2,7 juta/orang/tahun. Jika diasumsikan per keluarga kita berisi 4-5 orang, akan diperoleh Rp10 juta/keluarga/tahun, atau Rp 800 ribu/keluarga/ bulan.

Dengan kata lain, subsidi BBM Rp250 triliun tersebut luar biasa besarnya. Angka itu akan naik ke Rp 263 triliun pada 2015 dan akan terus naik pada tahun-tahun berikutnya, seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan bertambahnya penduduk. Karena itu, keputusan pemerintahan baru Presiden Jokowi untuk merealokasikan subsidi BBM ke belanja lain yang lebih produktif merupakan suatu keniscayaan, bahkan keharusan. Studi International Monetary Fund (IMF) pada 2010 sudah secara jelas menunjukkan terjadi kesalahan alokasi subsidi BBM (misallocation of resources) di negara-negara yang memberlakukan subsidi BBM.

Negara-negara tersebut ialah Irak, Arab Saudi, Mesir, Ekuador, Turkmenistan, Venezuela, Yaman, Iran, Kirgizstan, Indonesia, Yordania, Nigeria, Angola, Kongo, dan Uni Emirat Arab. Hasilnya 80% subsidi BBM dinikmati penduduk berpendapatan menengah ke atas. Selebihnya, 20% dinikmati penduduk menengah ke bawah). Itu sungguh tidak adil. IMF menyimpulkan betapa subsidi BBM justru menyakiti kelompok penduduk miskin (how subsidies hurt the poor...).

Karena itu, pemerintah perlu melakukan langkah besar, untuk secara berangsur-angsur mengubah situasi ini. Subsidi BBM harus secara bertahap dikurangi, bahkan akhirnya menghilangkannya dalam beberapa tahun ke depan.
Hambatan terbesar saat ini ialah secara psikologis masyarakat (termasuk sebagian politikus kita) mengasumsikan Indonesia ialah pemilik cadangan minyak yang besar sehingga rakyat layak mendapatkan subsidi BBM. Padahal, asumsi itu telah lama berlalu dan kini sudah tidak valid lagi. Indonesia kini hanyalah produsen kecil (800 ribu barel per hari ber banding produksi total dunia 94 juta barel per hari). Cadangan minyak yang terbukti pun (proven oil reserves) juga kecil, hanya 3,7 miliar hingga 4 miliar barel. Padahal, peringkat ke-10 di dunia, Nigeria, cadangannya sekitar 10 kali lipat Indonesia, yaitu 37 miliar barel. Pemilik cadangan minyak terbesar saat ini ialah Venezuela dengan 300 miliar barel.

Konon Brasil juga bakal menjadi nomor satu dengan 320 miliar barel, tetapi data ini belum resmi. Jika dibandingkan dengan pemilik cadangan minyak terbesar di dunia, cadangan Indonesia hanya 1 berbanding 80. Fakta itu tampaknya belum banyak diketahui orang. Mereka menganggap Indonesia pemilik cadangan minyak yang besar. Itu jauh dari data dan fakta. Pemerintah harus menyosialisasi data tersebut kepada politikus dan masyarakat.

Karena kelangkaan cadangan minyak, kita pun harus berhemat dan mengendalikan konsumsi secara efektif, tidak boleh sembrono. Pemberian subsidi yang besar terhadap BBM jelas tidak mendukung upaya penghematan tersebut.

Pemerintah harus memulai kampanye alokasi subsidi yang lebih efektif, tepat sasaran, serta mengontrol penggunaan minyak secara efektif. Subsidi BBM justru menimbulkan moral hazard; penerima subsidi ialah kelompok yang tak berhak (kelas menengah ke atas), yang mobil-mobilnya boros dan bertangki besar, serta mengabaikan prinsip berhemat. Praktik semacam itu harus dihentikan.

Tekanan inflasi

Kebijakan realokasi subsidi yang pada akhirnya dilakukan dengan menaikkan harga eceran BBM itu tentu saja menimbulkan banyak penentangnya. Salah satu argumentasinya ialah akhir-akhir ini harga minyak dunia turun dari US$100-US$110 per barel menjadi US$ 85 per barel, yang memang membuka peluang penurunan subsidi BBM dalam APBN kita. Namun, masalahnya, sampai kapan harga US$ 85 per barel itu bakal berlangsung? Sebulan, dua bulan, setahun? Tidak ada yang tahu.

Harga minyak dunia bakal dipengaruhi permintaan (demand). Sementara itu, prospek perekonomian global 2015 masih tetap terjaga. Perekonomian AS bakal tumbuh di atas 3%. Pemerintah Tiongkok menargetkan pertumbuhan 7,5%, meskipun Bank Dunia merekomendasikan 7% saja agar Beijing tidak terlalu berat menderita polusi. Kombinasi pertumbuhan ekonomi AS dan Tiongkok diyakini dapat mendorong permintaan energi minyak pada 2015 sehingga harga akan kembali ke level di atas US$90, bahkan menuju US$100 per barel.

Rasanya sulit berharap harga minyak dunia bakal bertahan lama di level US$85 per barel. Kalaupun harga minyak dunia menjadi pertimbangan penting bagi penaikan harga BBM bersubsidi, menurut saya, hal itu bisa sedikit menurunkan penaikan harga dari semula diprediksi Rp 3.000 per liter menjadi naik Rp 2.500 per liter. Jadi, harga eceran BBM naik dari Rp 6.500 per liter menjadi Rp 9.000 per liter.

Hal itu juga diperlukan agar tekanan inflasi bisa sedikit dikurangi. Jika penaikan harga BBM sebesar Rp3.000 per liter, inflasi 2014 saya proyeksikan mencapai 7,5%-8%. Namun, jika penaikan harganya Rp2.500 per liter, inflasi 2014 bisa ditekan menjadi 7%-7,5% saja. Level itu relatif masih dapat dijangkau (affordable), jika dibandingkan dengan inflasi tahun lalu yang 8,38%.

Presiden Jokowi direncanakan akan mengumumkan langsung penaikan harga BBM, sepulang dari kegiatan di luar negeri di Tiongkok, Myanmar, dan Australia. Hanya Presiden Jokowi-lah yang paling tepat untuk mengumumkan isu sensitif itu, bukan Menko Perekonomian atau Menteri ESDM, sebagaimana pernah dilakukan pada pemerintahan sebelumnya.

Gaya komunikasi khas Presiden Jokowi juga akan sangat membantu masyarakat untuk memahaminya. Presiden Jokowi sudah memberi contoh hidup sederhana tanpa dibuat-buat sebagaimana observasi kita selama ini terhadapnya sehingga resistensi pun bisa diminimalkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar