Mengalihkan
Subsidi BBM ke Sektor Produktif
A Tony Prasetiantono ; Kepala Pusat Studi
Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada
|
MEDIA
INDONESIA, 10 November 2014
TIGA pekan yang lalu saya
berkunjung ke Shanghai dan Beijing, Tiongkok. Dalam sebuah diskusi di
Shanghai, seorang ekonom Tiongkok terperanjat ketika saya beritahu bahwa
harga eceran bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi di Indonesia ialah Rp 6.500
per liter. Di Tiongkok, harga eceran BBM sekitar 8 yuan, atau setara Rp16
ribu per liter. Itu pun masih belum apa-apa jika dibandingkan dengan di
Turki, tempat harga BBM sekitar Rp 32 ribu per liter. Turki bersama Norwegia
merupakan dua negara dengan harga eceran BBM tertinggi di dunia.
Negara-negara yang masuk 10 besar ialah Belanda, Italia, Swedia, Yunani,
Prancis, Portugal, Belgia dan Jerman.
Lalu, bagaimana pemerintah
Tiongkok melindungi daya beli (purchasing
power) rakyatnya dengan penduduk saat ini mencapai 1,36 miliar orang?
Seperti praktik di negara-negara maju, mereka memberikan bantuan tunai
langsung (cash transfer) kepada
kelompok penduduk miskin. Bagi pemerintah Tiongkok, subsidi terhadap barang
(BBM) tidak layak diberikan, tetapi yang lebih tepat ialah memberi transfer
tunai kepada kelompok rakyat yang termiskin. Itu akan lebih efektif dan kena
sasaran (targeted).
Menurut The Economist (20/10), jumlah penduduk miskin Tiongkok resminya
ialah 83 juta pada akhir 2013. Meski demikian, data itu bisa jadi mengecoh (misleading). Kriteria miskin menurut
Bank Dunia US$ 1,25 per orang per hari, sebenarnya jumlah penduduk miskin
Tiongkok 200 juta. Angka itu lebih masuk akal, yang berarti penduduk miskin
masih 14,7%. Mereka itulah yang menjadi sasaran pemberian bantuan tunai
langsung. Cara itu dianggap lebih efektif untuk memproteksi kelompok sasaran
termiskin.
Bagaimana skenarionya jika
kebijakan di Tiongkok tersebut diterapkan di Indonesia? Saat ini (APBN 2014)
subsidi BBM dan listrik ialah Rp 350 triliun, yang terdiri dari subsidi BBM
Rp 246 triliun dan subsidi listrik Rp104 triliun. Jika suatu saat nanti
subsidi BBM bisa dihilangkan (tentu saja secara bertahap), kita akan
mendapatkan ruang fiskal hampir Rp 250 triliun.
Jika kita asumsikan dana
sebesar itu dibagi dua sama rata untuk kepentingan (1) pembangunan
infrastruktur dan (2) melindungi daya beli kelompok miskin, tiap pos
mendapatkan Rp125 triliun.Besaran tersebut sangat signifikan. Sebagai
perbandingan, biaya pembangunan mass
rapid transit (MRT) di Jakarta, untuk jalur Lebak Bulus hingga Hotel
Indonesia (tahap pertama), kemudian ke stasiun Kota (tahap kedua), biaya
totalnya `hanya' Rp27 triliun. Itu pun diamortisasi sampai tujuh tahun
(2013-2020) sehingga berarti biaya per tahun `hanya' Rp4 triliun.
Biaya pembangunan bandara megah
Kualanamu di Sumatra Utara juga `hanya' Rp 5,6 triliun dalam tempo delapan
tahun. Artinya, kebutuhan dananya `cuma' Rp 700 miliar per tahun. Bandara di
Balikpapan yang indah itu juga hanya Rp 2 triliun; Bandara Ngurah Rai di Bali
cuma Rp 2,7 triliun; rel kereta ganda (double
track) Jakarta-Surabaya sepanjang 727 km hanya Rp10,6 triliun; jalan tol
di atas laut di Bali sepanjang 12 km cuma Rp 2,7 triliun, dan seterusnya. Dengan
kata lain, dana Rp125 triliun per tahun untuk menambah anggaran infrastruktur
tersebut sangatlah besar!
Kesalahan alokasi
Lalu, bagaimana dengan dana Rp 125
triliun jika kita berikan secara tunai kepada penduduk miskin? Itu juga
sangat dahsyat. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), per Maret 2014
jumlah penduduk miskin kita ialah 28,3 juta, yang terdiri dari 10,5 juta di
perkotaan dan 17,7 juta di perdesaan. Jika kita transfer dana Rp125 triliun
kepada mereka, akan diperoleh angka Rp 6 juta/ orang/tahun.
Taruhlah data BPS tersebut
sesungguhnya misleading (terlalu rendah).
Kita ambil data lain. Kriteria Bank Dunia US$1,25/orang/hari, akan ditemukan
angka penduduk miskin 65 juta orang. Dengan data itu, akan diperoleh bantuan
tunai langsung Rp 2,7 juta/orang/tahun. Jika diasumsikan per keluarga kita
berisi 4-5 orang, akan diperoleh Rp10 juta/keluarga/tahun, atau Rp 800
ribu/keluarga/ bulan.
Dengan kata lain, subsidi BBM
Rp250 triliun tersebut luar biasa besarnya. Angka itu akan naik ke Rp 263
triliun pada 2015 dan akan terus naik pada tahun-tahun berikutnya, seiring dengan
pertumbuhan ekonomi dan bertambahnya penduduk. Karena itu, keputusan
pemerintahan baru Presiden Jokowi untuk merealokasikan subsidi BBM ke belanja
lain yang lebih produktif merupakan suatu keniscayaan, bahkan keharusan.
Studi International Monetary Fund (IMF) pada 2010 sudah secara jelas
menunjukkan terjadi kesalahan alokasi subsidi BBM (misallocation of resources) di negara-negara yang memberlakukan
subsidi BBM.
Negara-negara tersebut ialah
Irak, Arab Saudi, Mesir, Ekuador, Turkmenistan, Venezuela, Yaman, Iran,
Kirgizstan, Indonesia, Yordania, Nigeria, Angola, Kongo, dan Uni Emirat Arab.
Hasilnya 80% subsidi BBM dinikmati penduduk berpendapatan menengah ke atas.
Selebihnya, 20% dinikmati penduduk menengah ke bawah). Itu sungguh tidak
adil. IMF menyimpulkan betapa subsidi BBM justru menyakiti kelompok penduduk
miskin (how subsidies hurt the poor...).
Karena itu, pemerintah perlu
melakukan langkah besar, untuk secara berangsur-angsur mengubah situasi ini.
Subsidi BBM harus secara bertahap dikurangi, bahkan akhirnya menghilangkannya
dalam beberapa tahun ke depan.
Hambatan terbesar saat ini
ialah secara psikologis masyarakat (termasuk sebagian politikus kita)
mengasumsikan Indonesia ialah pemilik cadangan minyak yang besar sehingga
rakyat layak mendapatkan subsidi BBM. Padahal, asumsi itu telah lama berlalu
dan kini sudah tidak valid lagi. Indonesia kini hanyalah produsen kecil (800
ribu barel per hari ber banding produksi total dunia 94 juta barel per hari).
Cadangan minyak yang terbukti pun (proven oil reserves) juga kecil, hanya 3,7
miliar hingga 4 miliar barel. Padahal, peringkat ke-10 di dunia, Nigeria,
cadangannya sekitar 10 kali lipat Indonesia, yaitu 37 miliar barel. Pemilik
cadangan minyak terbesar saat ini ialah Venezuela dengan 300 miliar barel.
Konon Brasil juga bakal menjadi
nomor satu dengan 320 miliar barel, tetapi data ini belum resmi. Jika
dibandingkan dengan pemilik cadangan minyak terbesar di dunia, cadangan
Indonesia hanya 1 berbanding 80. Fakta itu tampaknya belum banyak diketahui
orang. Mereka menganggap Indonesia pemilik cadangan minyak yang besar. Itu
jauh dari data dan fakta. Pemerintah harus menyosialisasi data tersebut
kepada politikus dan masyarakat.
Karena kelangkaan cadangan
minyak, kita pun harus berhemat dan mengendalikan konsumsi secara efektif,
tidak boleh sembrono. Pemberian subsidi yang besar terhadap BBM jelas tidak
mendukung upaya penghematan tersebut.
Pemerintah harus memulai
kampanye alokasi subsidi yang lebih efektif, tepat sasaran, serta mengontrol
penggunaan minyak secara efektif. Subsidi BBM justru menimbulkan moral hazard; penerima subsidi ialah
kelompok yang tak berhak (kelas menengah ke atas), yang mobil-mobilnya boros
dan bertangki besar, serta mengabaikan prinsip berhemat. Praktik semacam itu
harus dihentikan.
Tekanan inflasi
Kebijakan realokasi subsidi
yang pada akhirnya dilakukan dengan menaikkan harga eceran BBM itu tentu saja
menimbulkan banyak penentangnya. Salah satu argumentasinya ialah akhir-akhir
ini harga minyak dunia turun dari US$100-US$110 per barel menjadi US$ 85 per
barel, yang memang membuka peluang penurunan subsidi BBM dalam APBN kita. Namun,
masalahnya, sampai kapan harga US$ 85 per barel itu bakal berlangsung?
Sebulan, dua bulan, setahun? Tidak ada yang tahu.
Harga minyak dunia bakal
dipengaruhi permintaan (demand).
Sementara itu, prospek perekonomian global 2015 masih tetap terjaga.
Perekonomian AS bakal tumbuh di atas 3%. Pemerintah Tiongkok menargetkan
pertumbuhan 7,5%, meskipun Bank Dunia merekomendasikan 7% saja agar Beijing
tidak terlalu berat menderita polusi. Kombinasi pertumbuhan ekonomi AS dan
Tiongkok diyakini dapat mendorong permintaan energi minyak pada 2015 sehingga
harga akan kembali ke level di atas US$90, bahkan menuju US$100 per barel.
Rasanya sulit berharap harga
minyak dunia bakal bertahan lama di level US$85 per barel. Kalaupun harga
minyak dunia menjadi pertimbangan penting bagi penaikan harga BBM bersubsidi,
menurut saya, hal itu bisa sedikit menurunkan penaikan harga dari semula
diprediksi Rp 3.000 per liter menjadi naik Rp 2.500 per liter. Jadi, harga
eceran BBM naik dari Rp 6.500 per liter menjadi Rp 9.000 per liter.
Hal itu juga diperlukan agar
tekanan inflasi bisa sedikit dikurangi. Jika penaikan harga BBM sebesar
Rp3.000 per liter, inflasi 2014 saya proyeksikan mencapai 7,5%-8%. Namun,
jika penaikan harganya Rp2.500 per liter, inflasi 2014 bisa ditekan menjadi
7%-7,5% saja. Level itu relatif masih dapat dijangkau (affordable), jika dibandingkan dengan inflasi tahun lalu yang
8,38%.
Presiden Jokowi direncanakan
akan mengumumkan langsung penaikan harga BBM, sepulang dari kegiatan di luar
negeri di Tiongkok, Myanmar, dan Australia. Hanya Presiden Jokowi-lah yang
paling tepat untuk mengumumkan isu sensitif itu, bukan Menko Perekonomian
atau Menteri ESDM, sebagaimana pernah dilakukan pada pemerintahan sebelumnya.
Gaya komunikasi khas Presiden
Jokowi juga akan sangat membantu masyarakat untuk memahaminya. Presiden
Jokowi sudah memberi contoh hidup sederhana tanpa dibuat-buat sebagaimana
observasi kita selama ini terhadapnya sehingga resistensi pun bisa
diminimalkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar