Kamis, 13 November 2014

Mencari Sosok Jaksa Agung Ideal

Mencari Sosok Jaksa Agung Ideal

Tb Ronny Rachman Nitibaskara  ;  Guru Besar Kriminologi;
Ketua Program Ketahanan Nasional Pascasarjana UI
KOMPAS, 13 November 2014
                                                
                                                                                                                       


JAKSA merupakan salah satu profesi hukum berkedudukan cukup vital dalam penegakan hukum di Indonesia. Jaksalah yang menentukan layak-tidaknya penuntutan terhadap suatu perkara dapat dilakukan. Perjalanan suatu kasus dari tingkat kepolisian, meskipun sudah sesuai dengan prosedur dan memenuhi berkas perkara atau berita acara pemeriksaan (BAP) yang ada, dapat dimentahkan di kejaksaan apabila kejaksaan menilai ada kekurangan dan ketimpangan dalam BAP kasus itu.

Kendati beberapa kasus suap dan narkoba pernah menimpa beberapa oknum kejaksaan, masyarakat harus jujur mengakui bahwa kejaksaan tetap berusaha membuktikan dan menjaga profesionalitasnya. Tindakan positif itu antara lain dilakukan dengan cara memberi sanksi kepada para oknum di atas tanpa pandang bulu serta menyelesaikan beberapa kasus penting dalam tempo yang relatif singkat.

Kejaksaan merupakan salah satu elemen atau komponen pemerintahan sebab jaksa agung diangkat dan diberhentikan oleh presiden. Kenyataan ini menyiratkan bahwa banyak pihak memandang kejaksaan sulit tak terikat dengan politik dan kebijakan pemerintah sehingga dikhawatirkan akan jauh dari kemandirian dalam penanganan suatu kasus penting pada masa depan.

Oleh karena itu, seorang jaksa, khususnya jaksa agung, harus memperhatikan profesionalisme anggotanya, memiliki integritas moral yang tinggi, dan keberpihakan pada keadilan dan hati nurani rakyat banyak. Hal mulia tersebut dapat menurun kepada bawahannya.
Sosok ideal

Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa tahun silam seyogianya dipandang sebagai mitra oleh kejaksaan. Namun, banyak pihak yang beranggapan, terkadang di antara keduanya kerap terjadi konflik. Penegakan hukum secara beriringan, khususnya berkaitan dengan kasus korupsi, patut dilakukan keduanya.

Sebagaimana profesi hukum lain, jaksa juga kerap dikelilingi beragam godaan yang dapat menjerumuskannya dalam perangkap penyimpangan dan kejahatan. Kewenangan diskresi yang dimiliki jaksa, ataupun ”tekanan” atasan, merupakan celah yang kerap membuat oknum memanfaatkan kewenangannya untuk  menggunakan hukum demi kepentingan pribadi atau kelompok.

Menegakkan hukum  berbeda arti dengan  menggunakan hukum . Dalam penegakan hukum, terdapat kehendak agar hukum tegak sehingga nilai-nilai yang diperjuangkan melalui instrumen hukum yang bersangkutan dapat diwujudkan. Adapun dalam menggunakan hukum, cita-cita yang terkandung dalam hukum belum tentu secara sungguh-sungguh hendak diraih sebab hukum tersebut digunakan untuk membenarkan tindakan-tindakan yang dilakukan.

Posisi jaksa sebagai profesi hukum merupakan penguasa hukum di tingkat penuntutan yang leluasa ”menggunakan” hukum, baik itu untuk menegakkan hukum maupun untuk kepentingan lain. Bagi oknum jaksa yang menyalahi sumpah jabatan, serta-merta ia akan mudah tergoda untuk memanfaatkan kekuasaan yang dimilikinya. Kejahatan dengan modus demikian, seakan- akan berada dalam hukum dan dilindungi hukum itu sendiri, merupakan kejahatan dengan menggunakan hukum sebagai alatnya.

Patut dicermati pula bahwa bukan hanya profesi jaksa, setiap jabatan atau kekuasaan apa pun selalu memiliki potensi untuk disalahgunakan oleh oknum yang tidak amanah. Penyalahgunaan jabatan pada taraf tertentu akan berubah menjadi suatu tindak kejahatan. Kejahatan demikian yang dilakukan berhubungan dengan jabatan yang dimilikinya dalam literatur kriminologi sering disebut occupational crime.

Tiga ciri profesionalisme

Menghindari keadaan di atas, jaksa agung haruslah sosok yang senantiasa memperhatikan ciri-ciri pokok profesionalisme anggotanya: keahlian, rasa tanggung jawab, dan kinerja terpadu. Karena jika pengemban profesi, khususnya jaksa, tidak memiliki keahlian atau tak mampu menjalin kerja sama dengan pihak-pihak lainnya demi kelancaran profesi atau pekerjaan, sesungguhnya profesionalisme itu sudah mati.

Profesionalisme jaksa merupakan hal yang sangat penting karena di tangan jaksa, suatu peristiwa tindak pidana yang telah di-BAP kembali direkonstruksi oleh dirinya tanpa kehadiran yang bersangkutan dalam lokasi kejahatan itu. Dengan kata lain, jaksa melihat persoalan dari ”mata kedua”. Menggunakan keahliannya, di tangan jaksalah hukum akhirnya menjadi ”hidup” sehingga dapat ditentukan layak-tidaknya dilakukan penuntutan terhadap kasus dalam BAP itu. Kemampuan dan otoritas khusus tersebut kerap menimbulkan pernyataan bahwa  it doesn’t matter what the law says. What matters is what the guy behind the desk interprets the law to say.

Banyak pihak memandang bahwa hukum bagaikan gerobak yang dapat dimuati segala macam barang. Artinya, hukum dapat diisi dengan bermacam-macam kepentingan dari beragam pihak. Posisi profesi jaksa (juga profesi hukum lainnya) atau undang-undang yang tampaknya netral dapat digunakan untuk menjangkau kepentingan yang berbeda-beda sesuai dengan keinginan pihak yang mampu dan memiliki kekuasaan untuk menggunakan peraturan atau profesi tersebut. Hal demikian merupakan ujian berat bagi profesionalitas jaksa.

Di lain pihak, jaksa agung sebagai bawahan presiden harus tunduk dengan kebijakan hukum atasannya sehingga tidak sedikit para pengamat hukum dan keadilan beranggapan bahwa jaksa tidak dapat dengan dalih profesionalitas menentukan arah penuntutannya sendiri.

Oleh karena itu, dalam usaha mengembangkan profesionalitas dan kemandiriannya, sudah semestinya jaksa tidak hanya secara formal memenuhi unsur-unsur yang ada dalam perangkat peraturan perundang-undangan, tetapi harus mencermati dengan hati nurani yang sesungguhnya terjadi dan dirasakan langsung oleh masyarakat banyak, serta tidak memaksimalkan penilaian subyektif dalam suatu perkara.

Penilaian subyektif yang dipaksakan biasa digunakan oknum jaksa yang melanggar sumpah jabatan sehingga orang yang jelas bersalah dapat lolos dari hukum karena kepandaian oknum yang bersangkutan mempergunakan teknik-teknik hukum dalam prosedur hukum, atau menggunakan hukum semata tanpa menegakkan hukum, baik secara internal maupun eksternal.

Fenomena oknum ”menggunakan” hukum dengan cara di atas, ditambahkan dengan mengemukakan alibi kurang cukup bukti sehingga akhirnya para pihak yang nyata-nyata bersalah dapat tidak dituntut untuk dimajukan ke pengadilan, patut dihindari agar hukum dapat ditegakkan dengan semestinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar