Senin, 10 November 2014

Energi Baru bagi Saksi dan Korban

Energi Baru bagi Saksi dan Korban

Maharani Siti Shopia  ;  Tenaga Ahli pada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
KOMPAS, 10 November 2014
                                                
                                                                                                                       


SELAIN mengesahkan UU Pilkada yang memicu kontroversi publik, DPR pada 24 September 2014 juga telah mengesahkan RUU Perubahan UU No 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Hal ini tentu membawa angin segar bagi upaya perlindungan saksi dan korban di negeri ini. Pengesahan UU perubahan terhadap UU Perlindungan Saksi dan Korban (UUPSK) ini menjadi jawaban atas kendala yang selama ini membatasi ruang dan gerak Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Kendala tersebut di antaranya terkait dengan penguatan kelembagaan, penguatan kewenangan, perluasan subyek perlindungan terutama perlindungan terhadap ahli dan anak di bawah umur, perluasan pelayanan perlindungan terhadap korban, peningkatan kerja sama dan koordinasi antarlembaga, pemberian penghargaan dan penanganan khusus yang diberikan terhadap pelapor pengungkap kasus (whistle blower) dan saksi pelaku yang bekerja sama (justice collaborator), serta penambahan ketentuan pidana, termasuk tindak pidana yang dilakukan korporasi.

Enam perubahan besar

Selama ini kendala terbesar yang dihadapi LPSK adalah lemahnya UUPSK, yang mengakibatkan akses saksi dan korban dalam memperoleh perlindungan terhambat. Sebut saja soal ketentuan hak saksi yang belum mengakomodasi bentuk perlindungan yang dibutuhkan saksi dan korban serta belum memadainya perlindungan terhadap hak saksi dalam kategori pengungkap kasus dan saksi pelaku.

Akibatnya, banyak saksi dalam kategori ini yang masih ragu atas jaminan perlindungan yang akan ia terima. Sebutlah soal jaminan kepastian hukum, prosedur perlindungan dan penghargaan atas peran mereka dalam membongkar kejahatan, termasuk juga perlindungan terhadap saksi ahli.

Hal yang lebih penting lagi adalah terkait belum maksimalnya dukungan pemulihan terhadap korban kejahatan. Itu karena selama ini dukungan itu hanya terfokus kepada korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat. Padahal, banyak korban kejahatan lain yang butuh upaya pemulihan, seperti korban tindak pidana terorisme dan korban kejahatan seksual.

Dengan pengesahan UU Perubahan atas UUPSK, ada energi baru bagi upaya perlindungan saksi dan korban. Setidaknya penulis mencatat enam perubahan besar yang tercantum dalam UU itu. Pertama, perluasan subyek perlindungan, yang semula hanya mengatur perlindungan terhadap saksi dan korban, kini mencakup pelapor pengungkap kasus, saksi, saksi pelaku, ahli, dan saksi yang merupakan anak di bawah umur.

Kedua, penguatan kelembagaan LPSK. Kewenangan LPSK yang semula tak secara eksplisit diatur dalam ketentuan UU lama kini secara detail kewenangan itu diperkuat. Di antaranya meminta keterangan secara lisan dan/atau tertulis dari pemohon dan pihak lain yang terkait dengan permohonan, meminta informasi perkembangan kasus dari penegak hukum, mengubah identitas terlindung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, mengelola rumah aman, memindahkan atau merelokasi terlindung ke tempat yang lebih aman, dan melakukan penilaian ganti rugi dalam pemberian restitusi dan kompensasi. Selain itu, diatur pula ketentuan pemberian sanksi bagi pejabat ataupun pihak lain yang mengabaikan permintaan LPSK dalam melaksanakan kewenangan tersebut.

Ketiga, perluasan perlindungan terhadap korban. Semula, ketentuan pemberian bantuan medis dan psikososial hanya difokuskan pada korban pelanggaran HAM berat. Namun, dalam UUPSK hasil perubahan juga memberikan ruang bagi korban tindak pidana terorisme, perdagangan orang, penyiksaan, kekerasan seksual, dan penganiayaan berat. Bantuan medis dan rehabilitasi psikososial dimaksud mencakup pemulihan kesehatan fisik korban, termasuk pengurusan dalam hal korban meninggal, seperti pengurusan jenazah hingga pemakaman.

Singkat kata, negara melalui LPSK berupaya melakukan peningkatan kualitas hidup korban, termasuk bekerja sama dengan instansi terkait untuk bantuan pemenuhan sandang, pangan, papan, akses pekerjaan, atau bantuan kelangsungan pendidikan, serta bentuk bantuan lain untuk pemulihan kejiwaan korban.

Keempat, pemberian syarat spesifik dan reward khusus bagi pengungkap kasus dan saksi pelaku. Upaya ini penting agar mereka merasa aman dan nyaman dalam menjalankan misinya demi penegakan hukum.

Apalagi pengungkap kasus itu berpotensi mendapat pembalasan ketika dukungan dan perlindungan yang diharapkannya minim atau tiada reward memadai yang sebanding dengan informasi yang mereka ungkap bagi penegakan hukum. Adapun saksi pelaku juga mendapat perluasan makna. Dalam UU Perubahan atas UUPSK, pengertian saksi pelaku tak hanya dalam kapasitasnya sebagai saksi, bisa juga mencakup tersangka, terdakwa, atau narapidana.

Kelima, kehadiran organ baru, yakni dewan penasihat yang diatur dalam ketentuan Pasal 16 D UU Perubahan atas UU No 13/2006. Diakui atau tidak, LPSK sebagai lembaga yang memiliki peran strategis dalam sistem peradilan pidana tentu tidak lepas dari intervensi penguasa dan institusi penegak hukum lain. Adanya sorotan negatif belakangan ini dari sebagian pihak mengenai integritas kelembagaan LPSK serta kualitas keputusan LPSK dalam menerima permohonan perlindungan dan bantuan dari saksi dan/atau korban yang mengajukan permohonan kepada LPSK tentu bak gayung bersambut dengan kehadiran dewan penasihat dalam UU Perubahan atas UUPSK. DPR menilai, salah satu tujuan dari kehadiran dewan penasihat dimaksudkan untuk mencegah atau mendeteksi terjadi suatu perilaku menyimpang dari pelaksanaan tugas dan kewenangan LPSK.

Keenam, penambahan ketentuan pidana dalam perubahan UUPSK menjadi fenomena tersendiri. Kini, ketentuan penjatuhan pidana bukan hanya terhadap setiap orang yang menghalang-halangi pemberian perlindungan terhadap saksi dan korban, melainkan juga terhadap korporasi. Korporasi dapat dijatuhi hukuman denda lebih berat tiga kali lipat dan juga pencabutan izin usaha, pencabutan status badan hukum, dan/atau pemecatan pengurus.

Sebagaimana diketahui, kejahatan korporasi adalah salah satu fenomena yang timbul dengan semakin majunya kegiatan perekonomian dan teknologi. Dalam konteks perlindungan saksi dan korban, tindakan korporasi dapat mengakibatkan saksi tak memperoleh perlindungan dan sarat intimidasi. Intimidasi ini dapat berupa pemecatan dan upaya kriminalisasi terhadap saksi.

Perlu komitmen LPSK

Namun, keenam energi baru bagi upaya perlindungan saksi dan korban ini hanya tinggal aturan tertulis jika tidak segera ditindaklanjuti dengan komitmen dan keberanian LPSK sebagai institusi yang ditunjuk negara menjalankan amanah dari UU perubahan UUPSK ini. Perubahan UUPSK ini sekaligus menjawab tuntutan kontekstualisasi dari pesatnya kejahatan jenis baru yang semakin canggih dan modern.

Tentu saja hal ini harus berbanding lurus dengan dukungan dan komitmen pemerintahan baru dalam upaya peningkatan kapasitas aparat penegak hukum dan kualitas perangkat hukum normatif yang ada. Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar