Jenderal Pramono Edhie menyatakan bahwa TNI AD akan
terlibat dalam penanganan konflik sosial di daerah rawan (Tempo.co,
31/1/12). Sebelumnya, Presiden SBY mengeluarkan Inpres Nomor 2 Tahun 2013
tentang Penanganan Gangguan Keamanan Dalam Negeri (Inpres No. 2/2013). Pada
2012, DPR mengesahkan Undang-Undang Penanganan Konflik Sosial (UUPKS).
UUPKS dan Inpres No. 2/2013 memungkinkan TNI ikut terlibat dalam penanganan
konflik sosial. Membaca proses itu dalam urutan historis, tersirat narasi
politik yang diciptakan oleh struktur kekuasaan tentang keterlibatan TNI
dalam penanganan konflik sosial. Narasi politik yang keluar dari desain
tata kelola konflik berbasis pada konstitusi dan demokrasi.
Konflik dalam kemajemukan masyarakat Indonesia menjadi
lebih rentan terhadap kekerasan ketika muncul pada konteks kemiskinan,
pengangguran, dan rivalitas penguasaan sumber daya langka. Karena itu,
pengelolaan konflik oleh negara harus sensitif terhadap konteks agar mampu
memberi penanganan dan penyelesaian atas setiap konflik secara relevan. Pengelolaan
konflik sensitif konteks, pada gilirannya, membutuhkan kelembagaan negara
dan sistem yang mampu menjalankan pendekatan transformatif. Pendekatan ini
menciptakan arah penyelesaian konflik dan pemecahan akar masalah secara
damai. Metode mendasarnya adalah pemberdayaan lingkungan di mana hidup
kelompok-kelompok sosial dan mekanisme adat lokal.
Pendekatan transformatif secara garis besar bekerja
pada dua level situasi, yaitu konflik normatif dan konflik kekerasan. Level
situasi konflik normatif adalah dinamika pertentangan atau persaingan yang
masih dimanifestasikan secara damai atau tanpa kekerasan fisik. Pada level
situasi normatif, kelembagaan negara non-keamanan yang memiliki birokrasi
dan kepemimpinan politik di dalamnya merupakan penanggung jawab pengelolaan
konflik. Sebagaimana pendapat Zartman dalam "Governance as Conflict Management" (1997) bahwa
kepemerintahan (governance) tidak
hanya berurusan dengan fungsi administratif, tapi juga dengan fungsi tata
kelola konflik dalam masyarakat sesuai dengan wilayah kerja masing-masing.
Lembaga-lembaga negara non-keamanan, seperti Departemen Kehutanan,
Departemen Sosial, Departemen Agama, ataupun kepala daerah, secara ideal
bertanggung jawab atas pengelolaan konflik normatif yang selalu ada.
Level situasi konflik normatif cenderung mengalami
perubahan menjadi kekerasan ketika lembaga-lembaga negara non-keamanan
gagal mengelola konflik secara transformatif. Seperti dalam kasus konflik
kekerasan di Sumbawa pada akhir Januari 2013, konflik kekerasan antardesa
di Lampung Selatan akhir 2012, dan konflik kekerasan dengan isu pilkada di
beberapa daerah selama awal tahun ini. Kasus-kasus konflik kekerasan
tersebut memberi nilai bahwa lembaga negara non-keamanan tidak membangun
pendekatan transformatif melalui pemberdayaan lingkungan. Kelompok-kelompok
berkonflik dan tatanan adat terlihat terabaikan dalam laju konflik yang
tidak terkendali. Isu-isu emosional menguasai dan mengarahkan nalar
kelompok-kelompok berkonflik pada mobilisasi kekerasan kolektif. Respons kepemimpinan
dari struktur pemerintahan pun lambat dan tidak berkualitas. Akibatnya,
berbagai konflik normatif mengalami eskalasi pada level konflik kekerasan.
Transisi di antara situasi konflik normatif menuju
kekerasan secara teoretis membutuhkan lembaga yang memiliki dualitas
peranan, yaitu peranan sipil sekaligus keamanan. Lembaga tersebut adalah
kepolisian. Karena itu, Pasal 2 Undang-Undang Polri secara substantif
mendefinisikan dualitas peranan kepolisian ke dalam peranan
keamanan-ketertiban dan pengayoman-pelayanan masyarakat. Kepolisian mampu
mengerahkan kekerasan negara, dalam pengertian positif, untuk menciptakan
keamanan-ketertiban, dan sekaligus melayani masyarakat dengan mekanisme
dialog damai. Berdasarkan konsep dualitas peranan inilah, kepolisian
menjadi bagian integral dari kelembagaan tata kelola konflik-konflik sosial
dalam negara. Dualitas peranan tersebut menyebabkan kepolisian menjadi
lembaga yang fleksibel untuk bekerja sama dengan lembaga-lembaga negara
non-keamanan untuk mencegah dan menangani situasi konflik kekerasan.
Posisi TNI
Mengikuti desain kelembagaan tata kelola konflik
tersebut di atas, berbagai konflik sosial normatif di Indonesia yang pecah
menjadi kekerasan adalah indikasi dari dua kondisi. Pertama, kualitas
kepemerintahan dalam fungsi pengelolaan konflik dalam masyarakat masih
buruk. Lembaga-lembaga negara non-keamanan tidak atau belum sukses
melakukan pemberdayaan lingkungan dari situasi konflik normatif. Kedua,
lembaga kepolisian belum optimal melaksanakan dualitas peranan dalam
mengelola konflik sosial.
Karena itu, upaya negara mengelola konflik-konflik
sosial dalam masyarakat seharusnya berkonsentrasi pada upaya menjawab dua
kondisi kelembagaan tersebut. Wacana keterlibatan TNI dalam penanganan
konflik sosial, pada gilirannya, telah mereduksi konsep kelembagaan kelola
konflik sosial. Lebih dari itu adalah pengabaian terhadap upaya peningkatan
kualitas kepemerintahan dalam mengelola konflik sosial. TNI merupakan
lembaga negara bidang pertahanan, sebagaimana dijelaskan mendetail dalam
Bagian Kedua UU TNI, yang desain utamanya adalah fungsi perlindungan
kedaulatan wilayah nasional.
Berdasarkan konsep peranan pertahanan inilah, melalui
UU TNI, tentara dan struktur organisasinya secara substantif tidak diberi
mandat melaksanakan pengelolaan konflik sosial. TNI hanya diberi tugas
non-pertahanan dalam bentuk bantuan kemanusiaan, seperti penyelamatan
korban dan distribusi logistik di wilayah bencana alam. Kehendak memberikan
bantuan penanganan konflik sosial, terutama dalam mencegah dan menghentikan
konflik kekerasan, telah keluar dari desain pengelolaan konflik negara.
Baik secara konstitusional maupun konsep demokrasi, TNI tidak bisa
dilibatkan dalam dinamika konflik yang sarat oleh tarik-menarik kepentingan
ekonomi-politik dan identitas.
Pengalaman konflik kekerasan di Ambon selama 1999-2002,
misalnya, telah memaparkan bagaimana aparat TNI terseret sebagai bagian
dari pihak berkonflik. Konflik-konflik sosial, dengan isu agraria dan
sumber daya alam di banyak wilayah Indonesia, pun tidak jarang mengubah
posisi aparat TNI sebagai kelompok berkonflik. Bahkan sebagian aparat TNI
menjadi pelindung dari kelompok tertentu seperti pengusaha. Permasalahan
keterlibatan aparat TNI dalam konflik-konflik tersebut seharusnya yang
menjadi perhatian kepemimpinan TNI, agar TNI menjadi makin profesional dan
harus berada pada kesiapan strategis pertahanan.
Gagasan keterlibatan TNI dalam penanganan
konflik sosial harus sungguh-sungguh dielaborasi secara mendalam dan
merujuk pada konstitusi serta demokrasi. Berbagai konflik kekerasan yang
pecah di beberapa daerah masih berada dalam jangkauan kelembagaan
pengelolaan konflik negara. Program mendasar yang perlu direalisasi oleh
pemerintah adalah memperbaiki kualitas kepemerintahan dan memperkuat
kepolisian. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar