Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya menetapkan
Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum sebagai tersangka. Anas diduga
terlibat kasus Hambalang saat menjadi Ketua Fraksi Demokrat DPR 2009.
Menurut juru bicara KPK, Johan Budi S.P., KPK tidak hanya menjerat Anas
dalam kasus Hambalang, tapi juga proyek lain. Anas pun dijerat dengan Pasal
12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana
Korupsi.
Selain menetapkan Anas sebagai tersangka, KPK meminta
Imigrasi mencegah Anas bepergian ke luar negeri selama enam bulan
mendatang. KPK pun menegaskan bahwa keputusan yang dibuat murni proses
hukum dan tidak terkait dengan urusan politik. Tak ada pernyataan resmi
dari Anas setelah dia ditetapkan sebagai tersangka. Hanya beberapa saat
kemudian Anas memasang status pada BBM-nya dengan tulisan, "Nabok Nyilih Tangan".
Kalimat berbahasa Jawa itu berarti menampar dengan meminjam tangan orang
lain.
Penetapan status tersangka oleh KPK terhadap Anas
terasa antiklimaks bagi Ketua Umum PB HMI 1997-1999 ini. Terkait proyek
Hambalang, Anas berulang kali membantah keterlibatan dirinya. Bahkan, pada
9 Maret 2012, di kantor DPP Partai Demokrat, Jakarta, Anas menyatakan, "Satu rupiah saja Anas korupsi
Hambalang, gantung Anas di Monas." Dalam Pemilu 2009, Anas bersama
Angelina Sondakh dan Andi A. Mallarangeng tampil sebagai bintang iklan
kampanye Partai Demokrat yang terkenal dengan slogan "Katakan Tidak pada Korupsi". Namun kini sebagian
bintang iklan kampanye itu dituduh korupsi. Ironis memang!
Penetapan Anas sebagai tersangka sejalan dengan harapan
Majelis Tinggi Partai Demokrat, yang menginginkan agar Anas berfokus pada
kasus hukum yang tengah dijalaninya. Dengan status sebagai tersangka,
semakin terbuka peluang Majelis Tinggi Demokrat mengambil alih peran Anas.
Penetapan Anas sebagai tersangka oleh KPK otomatis membuat Ketua Umum
Partai Demokrat itu harus mundur, sesuai dengan pakta integritas yang
ditandatangani semua kader Partai Demokrat.
Penetapan Anas sebagai tersangka kasus korupsi menjadi
babak baru di tubuh Partai Demokrat, sekaligus jalan terjal bagi Anas.
Kiprah Anas dalam dunia politik Indonesia termasuk cemerlang. Ia sempat
diharapkan menjadi tokoh muda penuh harapan. Sayang, kasus korupsi
menyebabkan karier gemilang itu bak hancur ditelan bumi. Politikus muda
kelahiran Blitar ini mengawali perjalanan politiknya ketika berkuliah di
Universitas Airlangga, Surabaya, melalui jalur Penelusuran Minat dan
Kemampuan (PMDK). Di kampus itu, ia belajar jurusan ilmu politik. Anas pun
lulus sebagai mahasiswa teladan dan lulusan terbaik.
Anas kemudian melanjutkan pendidikan di Program
Pascasarjana Universitas Indonesia dan meraih gelar master ilmu politik
dengan tesis "Islamo-Demokrasi:
Pemikiran Nurcholish Madjid". Anas pun pernah menjabat Ketua Umum
PB HMI periode 1997-1999. Dan pada 2001-2005 terpilih sebagai komisioner
KPU setelah sebelumnya duduk dalam Tim Sebelas yang mempersiapkan
pembentukan KPU. Seusai Pemilu 2004, Anas masuk Partai Demokrat, lalu
terpilih sebagai anggota DPR periode 2009-2014. Namun jabatan Ketua Fraksi
Demokrat ia tinggalkan, karena ia terpilih sebagai ketua umum partai.
Kini, karier politik Anas terancam hancur. Anas pun
terancam pidana penjara selama 20 tahun, karena sangkaan menerima hadiah
atau janji terkait proyek Hambalang. Pasal 12 huruf a atau b UU Tipikor
berbunyi, "Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima
hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah
tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan
sesuatu dalam jabatannya."
Kemudian, "Pegawai negeri atau penyelenggara
negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa
hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena melakukan
atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan
kewajibannya. Maka, dipidana dengan pidana seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar."
Penetapan Anas sebagai tersangka korupsi oleh KPK akan
membuka pertarungan yang sesungguhnya antara kubu Anas dan kubu Ketua
Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono. Penetapan Anas
sebagai tersangka dan pengunduran diri yang bersangkutan dari jabatan ketua
umum tidak serta-merta mampu menyelesaikan perseteruan yang melanda
Demokrat. Selama ini Anas dijadikan kambing hitam atas merosotnya
elektabilitas Partai Demokrat. Apakah dengan demikian, penetapan Anas
sebagai tersangka lantas menaikkan popularitas Demokrat?
Pertama, kemerosotan elektabilitas Demokrat merupakan
dampak kinerja kolektif kader-kader Demokrat yang tidak bekerja keras untuk
kemajuan Demokrat. Banyak kader Demokrat menjadikan partai ini semata-mata
sebagai kendaraan politik meraih kekuasaan dan jalan mulus korupsi. Dengan
menjadi anggota lembaga legislatif dan eksekutif, terbuka kesempatan
melakukan korupsi. Kader-kader oportunis dan partisan ini justru
mempercepat pembusukan Demokrat dari dalam. Celakanya, mayoritas pendukung
Demokrat adalah massa mengambang yang kepercayaan publik dan loyalitasnya
layak dipertanyakan.
Kedua, semakin tidak adanya daya tarik Demokrat dalam
menghadapi Pemilu 2014. Tertutupnya peluang SBY mencalonkan diri sebagai
presiden dalam Pemilu 2014 mendatang menyebabkan Demokrat kehilangan figur
pemersatu yang mampu merapatkan barisan kader-kader. Faktor SBY tidak ada
duanya di tubuh Demokrat. Karena itu, penurunan elektabilitas dapat
dimaknai sebagai hukuman publik atas buruknya kinerja pemerintahan SBY
sekaligus Partai Demokrat yang terbelit kasus-kasus korupsi.
Ketiga, boleh jadi ungkapan-ungkapan Anas, seperti "Politik Sengkuni" dan "Nabok Nyilih Tangan",
yang diungkapkan di media sosial merupakan ungkapan kegundahan hati Anas
yang tidak berdaya di hadapan senior-senior Demokrat yang berharap Anas
segera mengundurkan diri. Dengan demikian, bisa jadi Anas justru menuai
simpati karena telah "dizalimi" oleh rezim.
Pertarungan antara SBY dan loyalis-loyalis
Anas diperkirakan semakin terbuka di hari-hari mendatang. Ini karena
loyalis-loyalis Anas cukup mengakar di daerah-daerah. Bukan tidak mungkin
penetapan Anas sebagai tersangka diikuti dengan pengunduran diri
kader-kader Demokrat pendukung Anas di daerah. Karena itu, penetapan Anas
sebagai tersangka bukanlah akhir dari babak "goro-goro" Partai
Demokrat. Di masa mendatang, bisa jadi justru Demokrat kian babak belur
manakala gagal mengkonsolidasi kader-kader di daerah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar