Dalam empat belas tahun terakhir, bangsa Indonesia mencandra (melihat-Red) perubahan
penting dan dahsyat. Kita saksikan demokratisasi terjadi di berbagai lini:
politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum dan hankam. Pun demikian, kita
tidak bisa menutup mata dari anomali dan anomitas akibat perubahan yang
berlangsung cepat dan mendadak. Perubahan pasca Reformasi dirasakan belum
menghasilkan tatanandemokrasi yang mapan.
Kita telah memilih demokrasi sebagai ‘kontrak politik dan
sosial’ bangsa. Kita gandrung demokrasi, karena emoh terhadap
otoritarianisme, despotisme, fasisme, monarkisme, dan atau
khilafatisme-teokratik. Kita memilih demokrasi, karena ia menjanjikan
keteraturan dan kehidupan yang berkeadilan dan berkesejahteraan. Kita
memilih demokrasi, karena kita telah memilih visi optimistik dalam melihat
masa depan.
Mengapa ‘Jalan Demokrasi’ belum lempang mewujudkan
tatanan dan sistem berkeadilan dan berkesejahteraan? Mengapa setiap
perubahan sistemik yang ada belum mampu mendekatkan mimpi ke-Indonesiaan
kita menuju “sebuah negeri yang aman tentram di bawah naungan Tuhan”? Apa
yang perlu dilakukan untuk menyempurnakan deru perubahan transformatif yang
tengah sama-sama kita pilih dan lalui ini?
Feodalisme yang Merusak
Dalam Pidato Kebudayaan di TIM akhir tahun lalu,
Hajriyanto Y. Thohari menyatakan perubahan sistem dan prosedur yang
demokratis akan sempurna jika dibarengi oleh perubahan mental kebudayaan
masyarakat Indonesia. Sistem itu, tamsil Wakil Ketua MPR RI itu, bagaikan
tonggak dan pilar sebuah bangunan rumah. Sedangkan, tanah adalah sikap
mental dan budaya. Rumah seindah dan semegah apapun jika tanahnya masih
berupa lumpur, tentu akan mudah roboh di terpa angin. Sebaliknya, jika
tanahnya keras dan solid, tentu, rumah yang akan kita bangun dan diami mampu
bertahan dari perubahan iklim dan cuaca, termasuk gempa.
Penamsilan ini tampak cocok dengan realitas yang terjadi
saat ini. Begitu banyak perubahan dan reformasi sistem dan prosedur
demokrasi kita: empat kali amandemen UUD 1945, UU Otoda, UU Partai Politik,
Pilkada dan Pilpres, reformasi hukum, dan sebagainya. Semua perubahan itu
hakikatnya mendekatkan pada terwujudnya Indonesia yang maju, adil, makmur,
sentosa dan demokratis. Namun, “tanah” Indonesia yang masih berlumpur
budaya feodal, egoistik dan primordial akan memorakporandakan soliditas
tiang pancang perubahan Indonesia.
Dalam tanah kebudayaan yang masih feodal, teater politik
kita masih dipenuhi politisi antagonis yang memuakkan. Politisi yang lahir
berkat uang dan popularitas. Karena itu, feodalisme menyuburkan laku
koruptif dan machevelianistik sebagian politisi kita yang glamor dan rakus
uang dan kuasa. Akibatnya, prinsip res-publika digadaikan oleh negosiasi
Mahadelaila dan politik 'daging sapi'. Kita jengah dan bertanya, 'mengapa
teater politik kita bukan milik politisi sejati yang penuh hikmat dan
kebijaksanaan, sebagaimana saran Al-Farabi dalam al-Madinah al-Fudhla (Kota
Utama), yakni politik dan politisi yang membajikkan seluruh umat manusia? '
Kondisi ekonomi diumpankan pada gurita liberalisme
kapitalistik yang meminggirkan ‘wong cilik’. Krisis seringkali menjadi
alibi, yang menggalibkan banalitas kemiskinan dan ketidaksejahteraan.
Padahal, kuasa ekonomi liberal itulah yang telah mencabik-cabik prinsip
keadilan ekonomi yang termaktub pada UUD 1945 dan Pancasila. Ekonomi
rakyatpun dalam jurang 'kekafiran' dan kesekaratan. Begitupula dengan rasa
keadilan hukum di negeri ini yang telah dan tengah dimenangkan oleh
gerombolan mafia beruang.
Rakyat jatuh dalam rundung bingung, terhuyung dalam ketiadaan
tauladan. Rakyat ditinggalkan sendirian, dalam sengkarut kehidupan yang
melelahkan. Rakyat pun bebas meniru tiap adegan dan pembabakan yang
dimainkan para elite politik, sosial, agama, dan budaya yang tengah dimabuk
kedirian. Akibatnya fatal, amok dan amarah dalam bentuk konflik dan
kekerasan menjadi sebuah delik kelaziman. Elite-pun mendapatkan
“peruntungan politik” dari ketidakberaturan ini: rakyat yang sibuk dengan
dirinya, tak akan mengurusi pemimpinnya.
Dalam tradisi politik feodal, pemimpin itu pangreh praja
yang diangkat sebagai abdi dalem yang harus patuh pada Baginda Raja.
Feodalisme melahirkan “pejabat-pejabat” yang memuja aksesoris politik,
ekonomi dan sosial budaya yang dilekatkan pada baju kebesarannya.
Feodalisme mematikan spirit pengabdian dan pelayanan pada rakyat. Pejabat
feodal menggunakan kekuasaan untuk dignitas semu: kekayaan dan pangkat.
Sebaliknya, budaya politik egaliter dan kosmopolitan, pemimpin pada
dasarnya adalah pelayan rakyat. Jabatan politik dipandangnya sebagai kefanaan
yang wajib ditunaikan. Karena itu, ia sedih manakala tak mampu membayar
mandat rakyat. Pelayan rakyat melayani semua kelompok masyarakat. Ia tidak
membangun istana palsu (simulacra) sebagai pesolek politik yang bergincu.
Membangun Watak
Feodalisme juga menggerus elan kebangsaan dan
kemandirian. Kita nyaman untuk menghamba pada Sang Liyan, sebab ia
menjanjikan kemudahan dan kemewahan. Kita tanpa berdosa merelakan kekayaan
dan khazanah surgawi Ibu Pertiwi pada kerakusan politik, ekonomi dan
kebudayaan Sang Liyan. Kita masih menganggap bangsa kita selalu kalah
bersaing dalam segala hal. Sebaliknya, meyakini Sang Liyan adalah segalanya.
Kita yakin, Sang Liyan memiliki kamukten yang mengatasi
kita. Sedangkan kita? “Ah, kita belum beranjak dari bangsa kuli”, seloroh
kaum elite penguasa tidak tahu diri. Rakyat pun mengamini, “sami’na wa
atho’na, benar sekali kata-kata Anda Duli Tuanku. Akibat feodalisme yang
menggelayut, kita menjadi pribadi minder dan kurang percaya pada diri dan
menghargai sesama anak bangsa.
Kita sesungguhnya adalah bangsa besar yang mempunyai
watak kuat. Kita mewarisi sejarah kerajaan dan kesultanan di Nusantara yang
disegani dan dikagumi dunia. Konon, kita juga pewaris peradaban Atlantis,
jika kita bersetuju dengan tesis dan temuan Prof. Aryos Santos dari Brazil
itu. Melalui “Atlantis: The Lost
Continent Finally Found, The Definitive Location of Plato’s Lost
Civilisation (2005)”, Santos mewartakan Atlantis itu ada di Indonesia!
Kita bukanlah bangsa “sudra” yang mengidap rasa rendah
diri dan saling berseteru. Kishore Mahbubani dalam bukunya Can Asians Think? (2010) secara
tegas mengatakan bahwa bangsa Asia termasuk Indonesia memiliki asian values
yang membantah mitos jika bangsa Asia itu pemalas. Kita ini, sebaliknya,
adalah bangsa yang giat dan rajin bekerja, biasa berkorban untuk sebuah
mimpi dan cita-cita, tak pernah putus asa meski kegagalan kadang menyapa.
Kita memiliki semua syarat untuk maju. Sejarah dan
pengalaman bangsa yang adiluhung selama ribuan tahun meggerakkan kita semua
untuk menggapai Indonesia yang memakmurkan dan membajikkan semesta manusia
dan alam. Untuk itu, mari bersama kita siangi, pilah, pisah dan jauhkan
feodalisme, egoisme, dan primordialisme. Sebaliknya, kita tanami akal budi
dan jiwa raga ini dengan benih-benih yang berkualitas, yakni mentalitas
rasional, tekun, dan giat bekerja dalam mencapai kemajuan, yang dilandasi
prinsip kekeluargaan dan kegotongroyongan serta kepercayaan diri dan pada
orang lain.
Tuhan Maha Tahu ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar