Pagi itu masih gelap, baru pukul
2.30, ketika saya dan dua rekan dari Institut Pertanian Bogor tiba di
bandar udara internasional Indira Gandhi di New Delhi, India. Bandara itu
begitu luas, megah, dan modern.
Desain dan
fasilitasnya tak kalah dengan bandara sekelasnya di Asia. Di sana sini
dipajang tulisan yang membanggakan bandara ini sebagai bandara terbaik
nomor dua di Asia. Menurut data, bandara ini melayani sekitar 16,5 juta
penumpang per tahun. Sebenarnya ini jumlah yang relatif kecil dibandingkan
Bandara Soekarno- Hatta yang melayani 22 juta penumpang per tahun, atau
Changi di Singapura yang melayani 44 juta penumpang per tahun.
Dengan
fasilitas yang ada, India sebenarnya bisa melayani jumlah penumpang yang
jauh lebih besar. Meskipun pertumbuhan ekonomi India termasuk yang cukup
pesat dalam kurun waktu sepuluh tahun ini, belum banyak orang yang
menganggap negeri ini sebagai tempat wisata, berbisnis, atau meneruskan
pendidikan tinggi. Mungkin karena itu pula, volume pengunjung dari luar
negeri belum terlihat memadati bandara itu.
Undangan yang
sampai ke meja saya dan rekan-rekan saya tadi dilatarbelakangi oleh
semangat pemerintah dan masyarakat India untuk keluar dari citra lama
negeri ini yakni yang kerap digambarkan seperti gajah gemuk yang bergerak
sangat lamban. Suasana di bandara tadi menggambarkan langkah perubahan itu.
Lamban? Maklumlah, karena dalam sejarah, India memang bukan negara yang
terbiasa untuk membuka diri seluasluasnya pada pengaruh asing.
Dari segi
ideologi,memang kini ada ragam ideologi yang hidup dalam partai-partai
politik yang bertarung dalam pemilu di sana, dari yang sosialis (seperti
partai Congress) sampai yang belakangan ini sangat gencar mempromosikan ide
liberalisasi ekonomi (yakni partai BJP alias Bharatiya Janata Party).Tapi,
realitanya ada nilai-nilai sosial yang mereka pegang kuat sampai sekarang
yakni ketaatan pada tradisi agama dan adat serta juga ajaran Gandhi dan
Nehru yang mengutamakan kesederhanaan dan kemanusiaan.
Berjalan di New
Delhi yang katanya sudah termasuk paling modern dibandingkan kotakota lain
di India, hampir tak terlihat dominasi mal atau pusat perbelanjaan berlogo
perusahaan asing. Yang ada adalah kumpulan pedagang kaki lima, rangkaian
toko yang relatif besar di bangunan tua, atau rangkaian toko kecil di
bangunan baru yang baru setengah jadi di pinggir jalan yang berdebu karena
telah berbulan-bulan belum usai jua pembangunannya.
Di sana
berkembang juga gerai makanan siap saji seperti McDonald atau KFC walau
pada awal 1990-an meluas protes keras atas kehadiran perusahaan asing macam
ini.Menu gerai mereka pun disesuaikan dengan diet nondaging sapi dan
kegemaran masyarakat India pada bumbu kari. Namun, keseharian masyarakat
India bukanlah pelahap makanan ala Barat macam itu. Menyusul krisis ekonomi
2008,saat ini rata-rata masyarakat India merasakan penurunan daya beli
akibat mata uangnya yang melemah.
Yang
pertama-tama mereka “potong” adalah kebiasaan jajan di restoran. Dari segi
penampilan, ratarata masyarakat hidup dengan sangat sederhana. Boleh
dikatakan, India sangat apa adanya. Di perempatan jalan utama, dapat kita
saksikan para tunawisma yang tidur beralas kasur lusuh serta tali-tali
jemuran yang memanfaatkan tonggak hiasan kota.Menurut pejabat yang saya
tanyakan, Pemerintah India memang terganggu dengan pemandangan macam itu.
Karena belum
bisa memberi solusi yang permanen untuk masalah kemiskinan, biarlah si
miskin memanfaatkan fasilitas umum yang ada saja.Selain itu, nyaris tidak
saya temui orangorang yang berpenampilan glamor dalam keseharian di
sana.Semua berpakaian serupa dan bersahaja. Rata-rata kendaraan yang hilir
mudik adalah bus, taksi, bajai, dan kendaraan- kendaraan pribadi yang
rata-rata ber-cc kecil. Bayangkan, sulit bagi mereka untuk saling
kebut-kebutan bukan? Kalaupun mereka saling kebut, suasananya sungguh mirip
yang sering kita saksikan di pentas Bollywood.
Mereka saling
sodok, bahkan bertabrakan, tapi selesai mengangkat bahu, berlalulah semua
itu. Jalanan yang paling ramai pun ternyata tidak sampai macet total pada
jam-jam sibuk. Masyarakat berbondong memadati kereta api yang memang
menjangkau berbagai wilayah dan kota di pelosok India. Yang
menarik,kesederhanaan tersebut berpadu dengan otak yang cerdas dan rasa
ingin tahu yang besar pada ilmu.
Tempat paling
menarik di India ternyata adalah toko buku. Dalam ruang yang sempit,
berjejer buku-buku terkini dengan ragam topik dari berbagai penjuru dunia.
Bukubuku terbitan asing yang ditulis oleh ekonom atau tokoh ternama, yang
biasanya hardcover dan mahal, di India bisa didapatkan dalam bentuk
softcoverdengan ukuran lebih kecil dan jenis kertas yang lebih
murah.Harganya pun hanya sepertiga harga aslinya.
Semuanya sah
karena rupanya ada kerja sama antara penerbitan di India dan para penerbit
asing agar distribusi ke pasar India tetap dipegang penerbitan
lokal.Serunya,para penjaga toko buku ternyata rajin membaca deretan
buku-buku itu! Beda betul suasananya dengan toko buku di Indonesia. Saya
kaitkan ini dengan agenda kedatangan saya ke India.
Dalam bidang
luar negeri, tahun ini merupakan tahun kelima mereka mensponsori Delhi
Dialog, yakni forum diplomasi track 1.5 yang melibatkan dialog antarpejabat
negara di bidang luar negeri dan kerja sama regional (ASEAN) dengan para
akademisi dan peneliti dalam membahas isuisu strategis bagi pengembangan
kerja sama India dengan ASEAN. Media massa berjejal di baris belakang,
mengabadikan tiap perkembangan dan dari berbagai sudut.
Jadi, yang
istimewa di sini adalah bahwa tahun ini, India makin menunjukkan keseriusannya
untuk menembus lapisan-lapisan “pertahanan” Asia Tenggara. Rata-rata
penduduk Asia Tenggara boleh dikatakan masih memandang sebelah mata pada
India,dan India mau mengubah itu semua. Kepada masyarakatnya, Pemerintah
India pun menegaskan bahwa jalur perekonomian dan kerja sama industri
(termasuk agrobisnis dan energi) yang strategis adalah dengan Asia
Tenggara.
Itu sebabnya
mereka mendesak universitas-universitas mereka untuk membuka diri pada
mahasiswa dari Asia Tenggara. Pemerintah India bahkan menyodorkan paket-paket
beasiswa untuk menarik universitas di India maupun ASEAN. Singkat kata,jika
pada 2011 saya pernah menulis di koran SINDO bahwa India ingin semakin
dekat pada ASEAN. Dalam kurun waktu relatif singkat, mereka membuktikan
kegigihan niatnya itu.
Pada 20- 21
Desember 2012, India berhasil mengumpulkan kepalakepala pemerintahan ASEAN
untuk menandatangani Kerangka Kerja Sama Strategis. Tahun ini mereka masuk
ke jantung permasalahan. Kepentingan mereka adalah ketahanan pangan, pasar
energi, perluasan konektivitas Asia Tenggara dengan daratan India lewat
Indo-China dan kerja sama maritim serta pembukaan pelabuhan-pelabuhan di
sisi Timur India.
Jepang segera
menanggapi hal ini dengan menawarkan bantuan dan ide pembangunan jalan raya
serta jalur kereta api yang menjangkau pelosok India. Di mana posisi
Indonesia dalam hal ini? India paham betul bahwa mereka sudah punya cukup
modal untuk merambah pasar baru di Asia Tenggara. Saya pun yakin mereka
bisa berhasil karena niat pemerintah dan para akademisi di sana cukup bulat
dan terpadu.Kompetensinya pun ada.Justru ada kegamangan karena Pemerintah
Indonesia masih terlihat wait and see. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar