Saat ini di Dewan Perwakilan Rakyat sedang dibahas
secara intensif Rancangan Undang-Undang Radio Televisi Republik Indonesia
(RTRI) yang merupakan gabungan RUU untuk RRI dan TVRI. RUU RTRI ini akan
mendampingi RUU Penyiaran, yang merupakan induknya. Dalam RUU Penyiaran
yang baru disebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut tentang RTRI disusun oleh
undang-undang secara terpisah dan tersendiri. Kita berharap pada akhir
tahun ini akan lahir UU Penyiaran dan UU RTRI yang baru.
Selama ini RRI dan TVRI sebagai lembaga penyiaran
publik tidak mendapat perhatian yang layak. Beberapa pihak melihat
persoalan ini secara pragmatis dan sederhana, yaitu kurangnya perhatian
negara dalam membantu secara finansial RRI ataupun TVRI. Seharusnya RRI dan
TVRI diberi bantuan cukup besar, misalnya Rp 2-5 triliun per tahun.
Selanjutnya langkah pembenahan manajemen dan sumber daya manusia dilakukan.
Saya mencoba melihat persoalan ini dari sisi pandang
yang lain. Pertama kali yang harus dilakukan adalah mencari jawaban yang
bersifat fundamental. Mengapa pada zaman reformasi selama belasan tahun ini
pihak legislatif, eksekutif, dan regulator tidak memberi perhatian yang
layak kepada RRI dan TVRI sebagai lembaga penyiaran publik?
Sebagian besar kalangan legislatif, eksekutif, ataupun
regulator penyiaran, terutama Kementerian Komunikasi dan Informatika, tidak
atau kurang memahami posisi, peran, dan fungsi lembaga penyiaran publik,
atau bahkan tidak peduli. Hal itu tecermin dari beberapa kali perubahan
status TVRI, yaitu menjadi perusahaan jawatan, kemudian menjadi perseroan
terbatas, barulah kemudian menjadi lembaga penyiaran publik. Sayangnya,
pesan UU Penyiaran tidak dilanjutkan dengan pemahaman yang memadai tentang
penyiaran publik. Bahkan, pada 14 Desember 2009, Wakil Presiden, dalam
sambutan pada ulang tahun ke-72 Lembaga Kantor Berita Nasional Antara,
mengatakan, untuk mengimbangi media massa di luar pemerintah, unit-unit
media massa pemerintah, yaitu Antara, RRI, TVRI, diminta bersinergi.
Implisit dalam pernyataan ini, TVRI diminta menjadi corong pemerintah.
Sebenarnya lembaga penyiaran publik tidak boleh menjadi corong pemerintah
dan harus independen. Ketidakpahaman akan posisi ini juga dinyatakan oleh
beberapa pejabat negara yang mengatakan bagaimana mungkin TVRI bisa
independen bila biayanya berasal dari pemerintah.
Banyak pihak tidak memahami posisi dan peranan lembaga
penyiaran publik, seperti RRI dan TVRI. Untuk itu, perlunya mengutip
rumusan yang disampaikan oleh World Radio and Television Council pada 2002
yang mengatakan Lembaga Penyiaran Publik (Public Service Broadcasting) bukanlah lembaga komersial dan
bukan lembaga yang dikontrol oleh pemerintah. Ia adalah lembaga independen
milik publik. Alasan utama kehadirannya (raison d'etre) adalah melayani
publik, berbicara kepada setiap warga negara, menawarkan dan memberikan
akses agar terjadi partisipasi publik dalam kehidupan bernegara dan
bermasyarakat, membangun dan memajukan pengetahuan, memperluas cakrawala
berpikir, serta memberdayakan masyarakat untuk bisa mengerti posisi dirinya
dengan lebih mengerti tentang dunia dan kehidupan sekitarnya (Banerjee,
2006). Contoh lembaga penyiaran publik ini antara lain British Broadcasting Corporation di Inggris, Nippon Hoso Kyokai
di Jepang, dan Australian
Broadcasting Corporation di Australia.
Di samping itu, tidak ada pemahaman bahwa lembaga penyiaran
publik adalah institusi penting dalam sistem penyiaran yang demokratis yang
harus dijamin dan diberdayakan di samping lembaga penyiaran swasta dan
komunitas. Pemerintah dan regulator, khususnya Kementerian Komunikasi,
terjebak dan larut dalam liberalisasi berlebihan. Pasar dibiarkan bergerak
liar tanpa kontrol. Seolah undang-undangnya multitafsir, padahal yang
sebenarnya-menurut Mahkamah Konstitusi (MK)-tidak multitafsir, serta
membiarkan penguasaan berlebihan dan konsentrasi lembaga penyiaran swasta
berada di tangan segelintir orang. Inilah yang disebut oleh MK sebagai
masalah implementasi norma. Artinya, norma yang tidak dijalankan.
Penguasaan berlebihan ini harus dihentikan.
Digitalisasi penyiaran sebenarnya diharapkan akan
memecah konsentrasi dan memberi peluang kepada banyak pihak untuk terlibat
dalam penyiaran. Namun, ternyata, izin Lembaga Penyiaran Penyelenggara
Penyiaran Multipleksing (LPPPM) diberikan kepada lembaga penyiaran yang
sudah mempunyai IPP. Itu berarti diberikan kepada lembaga penyiaran swasta
yang existing, yang berarti juga
mengukuhkan konsentrasi dan pemusatan kepemilikan.
Sebagaimana diketahui, untuk beberapa zona, pemenang
LPPPM adalah lembaga penyiaran yang existing. Kompas TV atau Tempo TV
jangan berharap menjadi LPPPM karena belum memiliki IPP. Seharusnya dibuka
terlebih dulu kesempatan kepada semua pihak untuk memperoleh izin
penyelenggaraan penyiaran digital kepada setiap badan hukum, barulah
kemudian dipilih dan diseleksi siapa yang menjadi LPPPM sebagaimana terjadi
di banyak negara demokrasi. Atau pengelola LPPM ini diberikan kepada badan
usaha milik negara atau swasta yang independen terhadap lembaga penyiaran.
Harus ada independensi dan keadilan dalam pengelolaan LPPPM.
Lebih dari itu, lembaga penyiaran publik hanya memiliki
satu di antara enam kanal yang tersedia pada tiap zona yang berjumlah 15.
Sementara lima kanal lainnya diberikan kepada pihak swasta. Ini berarti
lebih kecil dari 20 persen. Bukankah ini liberalisasi berlebihan?
Pemerintah belum cukup siap menyelenggarakan penyiaran
digital. Hal itu terlihat dari maju-mundurnya pelaksanaan seleksi dan
pengumuman. Banyak sekali terjadi aksi protes dari hampir semua pemangku
kepentingan, antara lain DPR, LSM, Asosiasi Televisi Lokal, Asosiasi
Televisi Jaringan, bahkan dari beberapa lembaga penyiaran swasta sendiri.
Namun pemerintah tampaknya tidak peduli.
Inilah masalah utamanya, banyak pihak tidak mengerti
dan tidak peduli bagaimana membangun sebuah sistem penyiaran yang
demokratis, termasuk memberdayakan RRI dan TVRI, yang merupakan penyiaran
publik. Bila ada komitmen, dana seharusnya bukan masalah, bisa Rp 2 triliun
atau Rp 5 triliun, tergantung perencanaannya. Biaya diperoleh dari APBN,
atau cara lain yang sah, termasuk iuran. Untuk RRI dan TVRI, biayanya harus
ditanggung oleh negara, tidak mungkin mencari sendiri dan mandiri
sebagaimana lembaga komersial. Peranan dan fungsi lembaga penyiaran publik
berbeda dengan swasta, meskipun semuanya harus untuk kepentingan publik
karena mempergunakan frekuensi milik publik. Yang satu bersifat non-
komersial, sedangkan lainnya bersifat komersial.
Tentu saja langkah berikutnya adalah melakukan audit
dan evaluasi total terhadap peralatan dan sumber daya manusia. Kita
sekarang tak bisa menyebutkan angka. Audit dan evaluasi total ini harus
dilakukan oleh sebuah badan independen.
Untuk itulah, dalam undang-undang baru
tentang RTRI nanti, harus dinyatakan secara jelas dan terperinci soal
peran, fungsi, dan tugasnya. Kemudian, dalam pasal transisi disebutkan dan
diperintahkan oleh undang-undang agar audit dan evaluasi total dilakukan
oleh pimpinan RTRI melalui sebuah lembaga independen sehingga bisa efektif
dan efisien. Memberdayakan RRI dan TVRI sebagai lembaga penyiaran publik
adalah keharusan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar