”SUATU hari aku membaca sebuah buku dan seluruh kehidupanku pun
berubah”, demikian Orhan Pamuk, peraih Nobel Sastra 2006, memulai
novelnya yang sangat memikat, The New
Life (1997).
Kalau Anda
ingin terkenal, menulislah! Atau berbuatlah sesuatu sehingga orang menulis
tentang perbuatan Anda itu. Tidak ada cara yang lain selain itu.
Demikianlah kata almarhum Prof Dr Mukti Ali, menteri agama RI pada 1970-an,
dalam suatu kesempatan memberikan kuliah sambil secara berseloroh. Mukti
Ali adalah satu di antara sedikit pejabat negara di negeri ini yang pandai
menulis sendiri.
Kata ”sendiri”
perlu ditambahkan karena faktanya banyak sekali pejabat yang (sepertinya)
banyak menulis (makalah, artikel, kolom, dan buku), tetapi sebenarnya
dituliskan orang lain. Pekerjaan menulis, tentu, bukan sekadar urusan keterkenalan
atau popularitas. Menulis pada sejatinya adalah mengartikulasikan pikiran
atau gagasan.
Walhasil,
seorang penulis adalah seorang yang banyak pikiran, gagasan, imajinasi.
Tentu mengartikulasikan pikiran dan gagasan bisa dengan lisan (oral) dan
bisa pula dengan tulisan (literal). Hanya, artikulasi dengan tulisan jauh
lebih bertahan lama. Verba volant
scripta manent, kata ungkapan Latin. Yang diucapkan akan terbang, yang
dituliskan akan abadi. Jika pikiran-pikiran dan gagasan itu ditulis dalam
bentuk buku, bahkan jauh lebih monumental.
Buku, seperti
kata Khaled Abou El-Fadl dalam bukunya, Conference
of the Book (University Press of
America, Lanham, 2001), adalah simbol peradaban. Peradaban, kata El-Fadl,
tidak dibangun di atas kenyamanan dalam kelambanan dan kebodohan. Peradaban
selamanya dibangun di atas penderitaan para syuhada perbukuan! Buku memang
memiliki kekuatan yang sangat revolusioner. Tak heran jika ayat pertama
Alquran berbunyi: ”Iqra”, yang artinya ”Bacalah!”. Buku memang seperti
ragi, dapat mengubah dunia persis seperti judul buku Robert Brown, Books that Changed the World.
Artikulasi Literal
Banyak memang
orang pandai yang kaya dengan pikiran dan gagasan maju. Tentu faktanya
tidak semua orang pandai bisa mengartikulasikan pikiran- pikirannya secara
runtut dan sistematis. Ada empat jenis orang berkaitan dengan kemampuan
artikulasinya. Pertama, orang-orang yang sangat artikulatif secara lisan,
tetapi tidak secara literal. Kedua, orangorang yang sangat artikulatif
secara literal, tetapi tidak secara lisan.Ketiga, orangorang yang
artikulatif baik secara lisan maupun tulisan.
Keempat, ada
juga orang-orang yang tidak artikulatif baik secara lisan maupun tulisan.
Orang jenis ini bicara tidak bisa,menulis apalagi! Tak heran jika kita
sering bertemu orang yang memiliki kemampuan berpidato luar biasa hebat,
tetapi tidak bisa menuliskannya. Atau kalau dipaksa menulis, tulisannya
tidak karu-karuan: bahasanya tidak baik dan tidak benar, bahkan tidak jelas
mana subjek, mana predikat, dan mana objek atau keterangannya.
Kita pun pasti
juga pernah menemukan orang yang tulisan-tulisannya sangat bagus,lancar,
dan enak sekali dibaca, tetapi giliran diminta berbicara—apalagi
berpidato—terasa kalimatkalimatnya tersendat,tidak lancar, sulit dipahami,
dan cenderung berputar-putar sampaisampai pendengar kesulitan, bahkan tidak
tahu apa yang dimaksudkannya. Tentu ada juga orang yang pandai bicara atau
berpidato dan lancar pula menulis. Buya Hamka adalah contoh orang yang
sangat artikulatif secara lisan sekaligus tulisan.
Lihat saja,
tulisan-tulisan Buya HAMKAitu, baik esai maupun novel-novelnya, dan
dengarkan pula pidato-pidatonya: keduanya sama-sama enak dan memikat. Buya
HAMKA itu pandai pidato dan pandai menulis atau mengarang. Dia penulis dan
pengarang, sekaligus orator. Para pemimpin politik Indonesia pada masa lalu
yang tidak terlalu jauh seperti Bung Karno, Bung Hatta, Natsir, Sahrir, Tan
Malaka, dan masih banyak lagi juga orator sekaligus penulis yang sangat
artikulatif. Sejak reformasi 1998 kita menyaksikan fenomena yang sangat
mengesankan dalam dunia penulisan di negeri ini.
Suasana yang
sangat kondusif berkat demokrasi dan kebebasan memberikan inspirasi bagi
lahirnya penulis dan penerbitan buku.Penulis-penulis baru bermunculan bak
cendawan pada musim hujan. Penerbitan buku mengalami lonjakan yang sangat
signifikan. Beberapa penerbit buku bahkan membuka ”klinik penulis” untuk
memberikan bimbingan dan pembinaan bagi lahirnya penulis-penulis baru.
Meski belum
sepadan dengan proporsi jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 250 juta
jiwa, sulit untuk menolak kesimpulan bahwa dunia kepenulisan mengalami
kemajuan yang sangat mengesankan dalam satu dasawarsa terakhir ini. Yang
lebih hebat lagi akhirakhir ini banyak sekali tokoh, pejabat negara dan
mantan pejabat, juga para pemimpin, yang tampil sebagai penulis. Banyak di
antara mereka yang menulis biografi, otobiografi, memoar, catatan hidup,
atau apa pun namanya bahkan dimaksudkan sebagai monumen kehidupannya.
Ada yang
menulis sendiri dan lebih banyak lagi dituliskan oleh orang lain atau
bahkan penulis profesional yang terkenal.Tradisi menulis biografi itu sejak
lama dilakukan orang. Ketika tahun yang lalu saya berkunjung ke New Delhi,
India—karena harga buku yang sangat murah meriah—saya membeli banyak
buku-buku tebal yang sebenarnya tidak begitu urgen untuk dibeli seperti
Baburname, Akbarname, dan lainlainnya yang merupakan memoar atau catatan
harian Sultan Babur dan Sultan Akbar ketika mereka memerintah Mughal Empire
pada beberapa abad lalu.
Mendorong Menulis
Dalam konteks
dan perspektif ini sungguh fenomena pesatnya perkembangan penerbitan buku
di Indonesia sejak satu dasawarsa terakhir ini menjadikan hati kita membuncah.
Kuantitas dan kualitas penerbitan buku berkembang secara sangat
mengesankan. Demikian juga halnya aktivitas penerjemahan bukubuku asing
hampir telah menjadi sebuah gerakan yang cukup masif.Para penerbit buku
pantas dikategorikan sebagai pejuang perbukuan.
Betapa benarnya
hal ini terlebih lagi bila kita menyaksikan fakta bahwa persoalan buku
sejak dulu luput dari perhatian dan kepedulian negara. Sangat
meyakinkan,bangsa Indonesia ini bangsa yang besar dan berpotensi untuk maju
karena ternyata menyenangi buku dan gemar membacanya. Mereka berpotensi
untuk maju dan besar karena ternyata mau membaca buku, sang induk dan
penggerak peradaban. Bangsa Indonesia bukan bangsa yang full hearing
seperti sinyalemen Amin Sweeney, melainkan bangsa yang beraksara.
Tradisi
keberaksaraan yang hebat ini telah ditenggelamkan oleh kemiskinan dan
kemelaratan sebagai akibat dari ketidakbecusan pemimpin-pemimpin bangsa
menghela negeri yang sejatinya mempunyai apa saja ini. Rasanya tidak sulit
untuk mendorong bangsa ini maju dan berjaya. Jika kita memiliki pemimpin
bangsa yang ikhlas, tulus, dan sedikit saja mempunyai visi, kita akan
menjadi bangsa yang sangat maju. Semua prasyarat untuk maju dan mandiri ada
di negeri ini. Verba volant scripta
manent. Ayo, menulis! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar