JURU bicara Komisi PemPem
berantasan Korupsi (KPK) Johan Budi dalam konpers pada Jumat (22/2)
memberikan jawaban atas banyaknya pertanyaan seputar nasib Ketua Umum
Partai Demokrat Anas Urbaningrum (AU) pada kasus Hambalang. Dapat dicermati
adanya 3 hal yang penting dari KPK, yakni pertama bahwa Anas mulai tanggal
22 Februari 2013 dicegah bepergian keluar negeri untuk jangka waktu 6 bulan
ke depan. Secara normatif memang pengajuan pencegahan untuk bepergian
keluar negeri ini dimaksudkan agar setiap saat dipanggil untuk keperluan
penyidikan dapat dilakukan dengan cepat tanpa menunggu waktu lama, serta
untuk mencegah larinya seseorang yang sedang menghadapi masalah hukum.
Kedua, bahwa KPK telah meningkatkan tahapan
dari penyelidikan ke penyidikan dengan mengeluarkan surat perintah
penyidikan (sprindik) yang ditandatangani oleh Wakil Ketua KPK Bambang
Widjojanto. Dengan terlebih dahulu dibubuhkannya paraf oleh kelima pemimpin
KPK ( Abraham M Samad, Adnan Pandu, Busyro Muqoddas, Zulkarnain, dan
Bambang Widjojanto), dengan menetapkan Anas sebagai tersangka yang diduga
telah melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b dan Pasal 11 UU No 31/1999
juncto UU No 20/ 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Ketentuan pasal 12 huruf a menyatakan bahwa pegawai negeri atau pejabat negara
yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa
hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau
tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan
kewajibannya. Sementara itu, Pasal 12 huruf b menyatakan bahwa pegawai
negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah. Padahal, diketahui
atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau
karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang
bertentangan dengan kewajibannya. Pasal 11 dalam UU tersebut dinyatakan
bahwa dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama
5 tahun.
Dan atau pidana denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250
juta. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau
janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut
diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan
jabatannya. Atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau
janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.
Melihat konstruksi dan rumusan Pasal 12
huruf a dan huruf b serta Pasal 11 dalam UU Pemberantasan Tipikor tersebut,
mudah ditebak kiranya hadiah atau janji yang diterima Anas Urbaningrum
sewaktu menjadi anggota DPR RI periode 2009-2014, karena setelah menjadi
Ketua Umum Partai Demokrat, Anas mengundurkan diri sebagai anggota DPR.
Selain
itu, dugaan pasal 12 dan pasal 11 tersebut menguatkan dugaan bahwa adanya
pemberian uang untuk keperluan pemenangan perebutan jabatan ketua umum pada
kongres di Bandung tahun 2010, dan pemberian mobil Toyota Harrier oleh
rekanan.
Penandatanganan sprindik oleh Wakil Ketua
KPK Bambang Widjojanto seolah menguatkan apa yang telah disampaikan Wakil
Ketua KPK itu pada waktu menetapkan Deddy Kusdinar sebagai tersangka yang
merupakan anak tangga pertama dalam kasus Hambalang, dan dilanjutkan dengan
penetapan Andi Alifian Mallarangeng (AAM) sebagai tersangka (6/12/2012).
Ketiga, dengan ditetapkan Anas sebagai
tersangka juga menampik anggapan bahwa penetapan ini berhubungan dengan
tarik ulur kepentingan politik. Pendapat yang demikian tidaklah salah jika
dilihat selama satu setengah bulan terakhir ini suasana politik nasional
sangat didominasi dengan ketidakpastian soal keterkaitan pria kelahiran 15
Juli 1969 itu dalam kasus Hambalang. Apalagi, setelah bocor atau beredarnya
sprindik ke publik yang menyatakan 3 dari 5 pimpinan KPK telah
menandatangani surat penetapan Anas sebagai tersangka. Dengan penetapan ini
seolah-olah telah mengubur beredarnya bocoran sprindik yang dilakukan oleh
orangorang yang tidak bertanggung jawab.
Pascatersangka
Anas
Dengan penetapan Anas Urbaningrum sebagai
tersangka, ada sejumlah permasalahan yang menghadang di depannya.
Pertama, dalam perspektif hukum penetapan
ini diharapkan dapat menguak tabir dalam proses pengadilan nantinya. Akan
diketahui bagaimana peran Ketua Umum PD itu dalam kasus megaproyek
Hambalang.
Kedua, dalam kaitan dengan kepartaian, Anas
telah menandatangani pakta integritas. Yang salah satu isinya mau
mengundurkan diri dari partai manakala berkaitan dengan masalah hukum dan
ditetapkan sebagai tersangka atau terdakwa dalam kasuskasus korupsi dan
suap atau pemberian imbalan, baik uang maupun barang. Dengan demikian,
mempertimbangkan pakta integritas yang telah ditandatangani oleh Anas
Urbaningrum dan kode etik Partai Demokrat yang telah disahkan tanggal 24
Juli 2011 itu, jabatan Ketua Umum Partai Demokrat berakhir. Tentunya akan
segera digantikan guna membangun kembali Demokrat dari tsunami politik
partai pemenang Pemilu 2009 tersebut.
Ketiga adalah ungkapan dari Anas yang
menyatakan bahwa `Gantung Anas jika Anas terbukti menerima satu sen pun
dari Hambalang'. Pernyataan Anas dengan agak bercanda dan tanpa ada
perasaan bersalah sedikit pun itu dapat menjadi bumerang bagi Anas sendiri.
Berulang-ulangnya pernyataan tersebut disampaikan oleh media elektronik
seolah-olah mengingatkan pentingnya Anas untuk merealisasikannya. Keempat,
setelah penetapan Anas Urbaningrum sebagai tersangka, apakah merupakan obat
pamungkas bagi PD dari anggotanya yang tersandung perkara-perkara korupsi.
Apakah penetapan ini akan menurunkan elektabilitas partai atau justru
dengan penataan kembali kepengurusan partai tanpa Anas dapat meningkatkan
elektabilitas Demokrat untuk memenangi Pemilu 2014.
Memang melihat sepintas dari hasil berbagai
lembaga survei, semuanya menunjukkan tingkat elektabilitas Partai Demokrat
selalu turun. Hingga menurut survei terakhir yang dilakukan oleh Saiful
Mujani Research and Consulting (SMRC), tingkat elektabilitas Partai
Demokrat tinggal 8%. Menjadi pertanyaan besar kini apakah yang menjadi
penyebab turunnya elektabilitas partai yang pada Pemilu 2004 mendapatkan 7
7,45% 45% dan me meningkat menjadi 20,85 pada Pemilu 2009.
Menurut penulis, faktornya adalah banyak
pengurus teras dan kader yang tersangkut perkara-perkara korupsi, yakni
Nazaruddin yang telah divonis 4 tahun 10 bulan; Angelina Sondakh yang telah
divonis 4 tahun 6 bulan, serta penetapan tersangka kepada mantan Menteri
Pemuda dan Olahraga Andi Alifian Mallarangeng, juga peran sang Ketua Umum
Anas Urbaningrum yang diduga tersangkut dalam perkara korupsi Hambalang.
Banyaknya pengurus teras yang nyata-nyata
telah melakukan perbuatan yang melukai perasaan masyarakat sehingga
menyengsarakan dan menjadikan jutaan masyarakat miskin. Di samping itu,
kekurangkompakan para petinggi Demokrat jika menghadapi permasalahan yang
sedang dihadapi. Hal yang tidak kalah penting adalah sering kalinya Partai
Demokrat menjadi bulan-bulanan media massa jika ada permasalahan krusial
dalam pemerintahan serta tidak cukupnya amunisi media propemerintah yang
digunakan untuk meng-counter-nya.
Pascamundurnya
Anas
Sehari pascapenetapan Anas Urbaningrum
sebagai tersangka oleh KPK, mantan Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) itu
menggelar konferensi pers (23/2) di Kantor DPP Partai Demokrat. Jika
diperhatikan dengan saksama, paling sedikit ada 5 poin penting yang dapat
diuraikan. Pertama, Anas menyatakan diri berhenti sebagai Ketua Umum Partai
Demokrat. Pernyataan pengunduran diri merupakan realisasi dari
penandatanganan pakta integritas yang ditandatangani oleh semua pengurus
partai Demokrat baru-baru ini.
Dalam perspektif perbaikan etika politik
nasional tindakan Anas ini merupakan langkah gentleman dan susulan yang sebelumnya
dilakukan oleh Andi Alifian Mallarangeng yang juga telah mengundurkan diri
dari jabatan Sekretaris Dewan Pembina dan Menteri Pemuda dan Olahraga
sehari setelah dinyatakan sebagai tersangka. Langkah mundurnya Anas ini
sangat bisa dipahami mengingat hampir tidak mungkin bisa menjalankan tugas
sehari-hari untuk menggerakkan roda partai. Karena dalam fase sebagai
tersangka memikirkan diri sendiri saja sudah sulit dan begitu berat
sehingga ia harus meminta bantuan para ahli hukum (lawyer) untuk mendampinginya.
Kedua, Anas menyatakan bahwa sebagai ketua
umum yang terpilih sebagai pemenang dalam kongres di Bandung tahun 2010
sebenarnya ia merupakan bayi yang lahirnya tidak diharapkan. Pernyataan
kedua ini agaknya Anas ingin mengungkapkan misteri di balik kongres
tersebut. Publik belum lupa bahwa pada kongres tersebut Anas menang melalui
dua putaran. Di mana pada putaran pertama mengungguli Andi Alifian
Mallarangeng dan Marzuki Alie. Pada putaran kedua, Anas menang tipis dari
Marzuki Alie. Apakah bayi lahir yang dikehendaki dalam kongres itu Andi
Mallarangeng ataukah Marzuki Alie yang sampai saat ini masih menjabat Ketua
DPR? Lalu, siapakah `orangtua atau bapak' yang tidak menginginkan
kelahirannya? Sebelum Anas menjelaskan ke publik, hanya Anas-lah yang tahu
4 makna dan arti `bayi yang lahir tidak diharapkan' itu.
Ketiga, bahwa dengan berhentinya dia
sebagai Ketua h Umum PD, itu bukan merupakan akhir atau tamatnya Anas. Akan
tetapi, merupakan babak baru, jilid baru, dan halaman pertama dari sebuah
buku yang halaman-halaman berikutnya akan dapat dibaca seiring dengan
perjalanan waktu. Statement Anas yang ketiga ini bisa dimaknai bahwa
setelah berhentinya Anas karena ditetapkan sebagai tersangka itu
kemungkinan besar akan ada episode-episode baru kasus dugaan korup kasus
dugaan korup si Hambalang, dan dalam dinamika politik internal Partai
Demokrat atau bahkan politik nasional. Hal ini bisa disadari karena besarnya
pengaruh Partai Demokrat di dalam dinamika perpolitikan nasional.
Keempat, statement Anas yang bersayap manakala ia menyatakan Partai
Demokrat merupakan partai yang jujur, bersih, beretika, bertanggung jawab,
dan ramah. Pernyataan ini tentunya akan diuji seiring dengan makin
kompleksnya permasalahan dalam Partai Demokrat. Kelima, cukup mengagetkan
kiranya ungkapan Anas yang menyatakan bahwa ia baru tahu saat ketua dewan
pembina menyatakan bahwa ketua umum diminta untuk berkon lam menghadap
permasalahan hukum yang melilitnya. Rasanya aneh kalau hal itu baru
diketahui dan tidak diketahui sebelumnya oleh Anas.
Andaikan hal ini benar, situasi selama ini
menunjukkan tidak adanya proses komunikasi yang sehat antara ketua umum dan
ketua dewan pembina. Situasi seperti ini juga dikuatkan dalam pernyataan
mundurnya Anas di Kantor DPP tanpa didampingi oleh Edy Baskoro Yudhoyono,
sang sekretaris jenderal partai. Dengan dinyatakannya sebagai tersangka dan
diikuti mundurnya Anas sebagai ketua umum, `partai pemerintah' sekarang ini
apakah akan mampu menjadi partai yang jujur, beretika, bertanggung jawab
dan ber sih serta ramah sehingga dapat menaikkan elekta bilitas Partai
Demokrat pascamundurnya Anas itu atau justru makin menurun.
Hanya waktulah yang akan mengurai dan
menjawab serta mempertontonkan nya kepada khalayak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar