BADAN Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mulai mengurai akar
persoalan gagal realisasi investasi (GRI) tahun 2013. Institusi itu
mencatat tren peningkatan kegagalan realisasi investasi, terutama dari
lanskap investasi padat karya manufaktur. Dari 103 izin prinsip investasi
manufaktur yang diterbitkan BKPM pada 2012, hanya 45% yang benar-benar
terealisasi, dalam arti investor mengucurkan modal dan berusaha secara
nyata serta berkelanjutan (SM, 23/01/13).
Artinya, sebagian besar investor masih
berputar-putar pada tahapan letter of intent (LoI) atau memorandum of
understanding (MoU), yang sekadar macan kertas investasi. Mereka belum
sampai pada bentuk-bentuk kerja sama berkelanjutan dengan berbagai pihak di
Indonesia.
Tapi baru pada tahapan investor manufaktur
mengantongi izin prinsip investasi, pemerintah melalui BKPM sudah mulai
menghitung sebagai nilai investasi. Bahkan pemerintah mencitrakan sebagai
capaian kinerja investasi nasional. Padahal penghitungan nilai investasi
hanya bisa dilakukan setelah investor menjalankan bisnis secara nyata,
bukan pada tahap ia mengantongi izin prinsip.
Mendasarkan pada fakta itu, wajar bila
banyak pihak, termasuk pemda se-Indonesia, tidak terlalu yakin pada potret
capaian nilai investasi yang diterbitkan pemerintah pusat. Jangan-jangan
angka dalam capaian itu sekadar pencitraan semu demi kepentingan politik
terkait rezim berkuasa.
Ketua Umum Apindo Sofyan Wanandi bahkan
menyatakan bahwa nilai investasi yang diklaim sebagai hasil kerja keras
pemerintah kurang realistis lantaran peran, tugas, dan kewenangan
pemerintah justru amat minim.
Apindo menyatakan kendati pemerintah rajin
berkampanye mengenai investasi dengan aneka janji fasilitasi, faktanya
banyak investor menghadapi sejumlah masalah serius terkait rencana usaha
mereka. Janji atau slogan siap melayani investor dengan ikhlas, jujur, dan
profesional (ungkapan khas pejabat terkait investasi) sering tidak
konsisten dalam tataran praktik. Tahun ini, pemerintah melalui BKPM,
menargetkan investasi Rp 390 triliun. Angka ini meningkat dibanding tahun
2011 yang sebesar Rp 240 trilun, dan tahun 2012 senilai Rp 283 triliun.
Jika pemerintah bisa merealisasikan nilai investasi itu, khususnya dalam
wujud investasi padat modal, bisa menghasilkan multiplier effect luar
biasa, terutama penyerapan tenaga kerja serta agenda eradikasi pengangguran
dan kemiskinan.
Operasional Investasi
Sayang, nilai investasi yang dilaporkan
BPKM kadang masih bersifat abu-abu karena bersamaan dengan itu institusi
tersebut belum bisa memastikan apakah nilai sebesar itu benar-benar untuk
investasi padat karya. Profesor Toru Yanagihara tahun 2012 dalam buku
riset Emerging Global Investment mencatat
beberapa biang kerok yang mengadang investor global merealisasikan
investasi mereka di negara-negara dunia ketiga (miskin dan berkembang).
Pertama; bias informasi mengenai kejelasan
investasi pada berbagai level birokrasi (pusat dan daerah). Pejabat pusat
(kementerian/lembaga pemerintah) biasa mengatakan, ''Kita siap
merealisasikan investasi sesuai dengan keinginan investor''. Faktanya,
ketika investor mendatangi lokasi yang dijanjikan oleh pejabat pusat,
respons pejabat daerah justru sebaliknya.
Kedua; masih ada watak birokrasi korup,
kolutif. Jika ada investor besar yang benar-benar mampu merealisasikan
investasi, hal itu lebih karena ia berhasil menjinakkan hasrat perburuan
rente oleh pejabat pada berbagai level; dan bukan lantaran kejelasan sistem
berinvestasi. Ketiga; keminiman database konflik sosial dan lahan. Hal ini
terlihat ketika pemerintah menyatakan lahan itu tak bermasalah, ternyata
menyisakan persoalan dan mengancam eksistensi investor.
Pemerintah pusat juga harus mempunyai
beberapa strategi guna memberangus biang kerok kegagalan realisasi
investasi. Pertama; semua level birokrasi harus meramu database informasi
investasi sedetail mungkin, khususnya lahan. Jika faktanya lahan itu masih
dalam konflik, pemerintah harus jujur sekaligus siap dan cepat
menyelesaikan masalah itu sebelum penanam modal merealisasikan
investasinya.
Kedua; membangun kolaborasi lintas
stakeholders, semisal menggalang dukungan, partisipasi, dan deliberasi
dengan berbagai pihak terkait, termasuk dengan ormas, LSM, partai politik,
ataupun kalangan eksternal birokrasi lain. Strategi ini untuk memangkas
potensi konflik sosial yang mungkin timbul.
Ketiga; mengawasi hingga tataran
operasional investasi. Ketika semua persyaratan administrasi investasi
terpenuhi, jajaran birokrasi jangan buru-buru santai, apalagi menunggu
setoran dari investor. Sebaliknya, birokrasi harus bisa memastikan bahwa
operasionalinvestor benar-benar bisa berjalan sesuai dengan aturan legal.
Dalam konteks ini, pemerintah, dari pusat
hingga daerah, harus bersama-sama mengawasi investasi secara berkelanjutan.
Sinergitas ini tidak hanya membantu keamanan, kenyamanan, dan ketertiban
berinvestasi, tetapi juga akan mempersempit ruang gelap mafia investasi
beroperasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar