INSIDEN penembakan di Puncak
Jaya, Papua, beberapa hari lalu, kembali menjadi topik hangat. Apakah
perhatian publik kali ini disebabkan kasus itu merupakan kasus pertama yang
telah merenggut nyawa manusia paling banyak, yakni tewasnya 8 anggota TNI
dan 2 warga sipil? Bahkan pada waktu evakuasi korban coba dilakukan,
helikopter M17 kembali ditembaki, yang mengakibatkan tiga awak tertembak
sehingga evakuasi batal dijalankan.
Apakah itu merupakan kejadian acak ataupun
strategi ‘baru’ kelompok masyarakat sipil bersenjata di Papua untuk mencari
perhatian otoritas yang berkuasa? Berbagai spekulasi itu tidak dapat
dijawab sampai pihak yang berwenang mengusut tuntas dan mengumumkannya
secara resmi kepada publik.
Meski demikian, di dalam buku Papua Road
Map (PRM) yang ditulis pada akhir 2008 dan diluncurkan pada awal 2009, para
peneliti Tim Papua LIPI telah menjelaskan empat isu utama di dalam konflik
vertikal antara Jakarta dan
Papua.
Pertama, masalah marginalisasi terhadap
orang asli Papua dan efek diskriminasi yang ditimbulkan karena kebijakan
yang ambigu.
Kedua, kegagalan pembangunan karena
implementasi Undang-Undang (UU) Otonomi Khusus (Otsus) Papua yang tidak
optimal, khususnya di empat sektor prioritas pembangunan, yakni pendidikan,
kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat, dan pembangunan infrastruktur.
Ketiga, kekerasan negara dan pelanggaran
HAM di masa lalu. Keempat, masalah sejarah dan status politik di Papua.
Kemudian pada 17 Desember 2012, Tim Kajian
Papua LIPI mencatat sepanjang tahun itu, Papua masih diwarnai dengan
kekerasan politik, baik yang dilakukan aparat keamanan, masyara kat sipil
bersenjata, maupun antarpendukung calon kepala daerah di dalam pemilihan
umum kepala daerah (pemilu kada) langsung.
Merujuk ke PRM dan catatan akhir 2012 dari
LIPI, kekerasan di Papua memang bukan masalah baru. Namun, insiden terakhir
di Papua membuktikan siklus kekerasan di Papua memang belum bisa diakhiri,
bahkan tidak ada pihak yang dapat menjamin kapan kekerasan di Papua akan
berakhir. Kapan Papua akan menjadi daerah yang aman dan damai? Itu sebagian
pandangan pesimistis mengenai masa depan Papua, how to secure the future of Papua?
Masa depan Papua ditentukan
perbaikan kesejahteraan fisik dan nonfisik. Kesejahteraan fisik mencakup,
antara lain, peningkatan pelayanan publik, khususnya pendidikan dan
kesehatan. Kese jahteraan nonfisik meliputi penghentian kekerasan dan
perbaikan komunikasi politik ataupun dialog.
Tujuan utama komunikasi politik antara
Jakarta dan Papua bukan untuk mempertegas dikotomi di antara keduanya,
melainkan untuk mengurangi kesalahpahaman serta perbedaan pemahaman dan
pandangan mengenai akar masalah di Papua, juga kesenjangan nilai.
Perdamaian di Papua bukan hal yang
mustahil. Kalau tercipta perdamaian, yang paling beruntung adalah
masyarakat yang hidup di Papua meskipun hal itu otomatis menjadi
‘kemenangan’ pemerintah Indonesia dalam mewujudkan kesejahteraan fisik dan
nonfisik bagi masyarakat di wilayah itu.
Tekad untuk menciptakan perdamaian di Papua
harus dilandasi kesadaran pemerintah dan masyarakat bahwa Papua adalah
Indonesia yang harus dibangun setara dengan daerah lainnya. Tanpa kesadaran
tersebut, upaya membangun perdamaian di Papua hanya merupakan sebuah reaksi
sesaat yang melemahkan legitimasi pemerintah atas setiap keputusan dan
kebijakan politik yang ditujukan untuk perbaikan di Papua.
Demikian pula, tanpa kesadaran Papua untuk
menerima kenyataan bahwa dia merupakan bagian dari Indonesia, kemajuan Papua
akan semakin lamban.
Tanpa kesadaran Papua untuk
menerima kenyataan bahwa dia merupakan bagian dari Indonesia, kemajuan Papua
akan semakin lamban. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar