TAHUN 2013, kata SBY, adalah tahun
politik karena banyak pemilihan kepala daerah. Implikasinya, banyak pejabat
publik lebih asyik mengurus partai politik ketimbang tugas utama sebagai
pejabat negara. Wakil Ketua DPR Pramono Anung bahkan menyinyalir kinerja
anggota DPR menurun karena mereka sering mangkir, tak aktif menghadiri
persidangan kendati target legislasi menunggu mereka (SM, 21/02/13).
Kita bisa melihat banyak anggota parlemen turun ke bawah, menemui
konstituen, supaya kembali terpilih dalam pileg mendatang. Di daerah,
banyak cagub turun ke kantong konstituen, baik di komunitas pesantren,
ormas pemuda, maupun majelis taklim. Sebagian dari cagub itu pejabat aktif
sehingga masyarakat sulit membedakan apakah ketika menghadiri suatu acara
itu sebagai pejabat pemerintah yang notabene pelayan rakyat atau cagub?
''Mahar'' Politik
Mendagri Gamawan Fauzi mengatakan, seorang cagub bisa menghabiskan biaya Rp
250 miliar untuk pilkada. Ini belum termasuk biaya dari APBD. Untuk bisa
mendapatkan kendaraan politik, cagub harus membeli tiket Rp 10 miliar-Rp 25
miliar. Untuk tingkat cabup/ cawalkot harus siap membeli tiket Rp 5
miliar-Rp 10 miliar.
Ini masih diperburuk oleh model sandera dari parpol besar. Berdalih sebagai
strategi pemenangan kontestasi, parpol besar memilih menerbitkan rekomendasi
pada ''detik-detik'' akhir pendaftaran di KPU. Tak tertutup kemungkinan
cagub atau cabup/ cawalkot pemohon rekomendasi harus menyiapkan ''amunisi''
lebih besar supaya mendapat kepastian bahwa dia benar-benar bisa
mengantongi rekomendasi itu.
Jadi, sebelum berkompetisi dalam pilgub atau pilbup/ pilwakot, calon kepala
daerah, sudah harus menguras energi dan ''amunisi'' untuk mahar politik.
Ini eufimisme untuk tidak mengatakan sebagai money politics. Mereka pun
harus siap mental seandainya tidak mendapat rekomendasi dari partai
pengusung.
Tak bisa dimungkiri pada saat ini parpol cenderung pragmatis, tidak lagi
menyoal ideologi atau visi dan misi. Siapa pun dapat dengan mudah membeli
mahar politik yang sangat mahal tersebut. Ini baru pada babak pemilu
gubernur atau bupati/wali kota.
Calon kepala daerah itu harus membayar mahar politik lebih besar lagi
karena mereka harus membayar saksi di TPS, membiayai tim sukses, mencetak
baliho, kaus, dan berkampanye. Terlebih pada detik-detik menjelang pelaksanaan
pilkada.
Saat ini memang tidak ada lagi serangan fajar karena sudah terang-terangan
diperbarui menjadi serangan duha. Cagub atau cabup/ cawalkot juga wajib
menyediakan angkutan dengan segala macam uba rampe-nya, menjemput pemilih
dari luar wilayah atau basis pemilih. Bukankah semua itu bisa disebut money
politics? Jawabannya bermacam-macam tapi yang jelas mahar politik memang
mahal.
''Ijon'' Korupsi
Bagaimana kalau kita mengaitkan dengan ijon? Masyarakat mengartikan ijon
dalam konteks ingin membeli barang tapi barang itu belum ada. Istilahnya
pesan tapi harus bayar dulu. Ada yang mengistilahkan inden, atau bila
menggunakan bahasa fikih, yaitu bai' al-salam.
Tentu kata ijon tidak enak seandainya kita gunakan dalam konteks ''ijon''
korupsi. Artinya, cagub atau cabup/ cawalkot, dan boleh jadi rumus ini
berlaku untuk pileg untuk DPR, DPRD provinsi atau kabupaten/ kota, butuh
biaya mahal untuk bisa meraih jabatan dan kursi politik. Selain itu kursi
panas, biaya pilkada memang mahal bila dibanding besaran gaji dan take
homepay yang bakal diterima setelah cagub, cabup/ cawalkot, atau caleg
menduduki jabatan tersebut.
Itu belum termasuk biaya atau ''nafkah politik'' yang harus diberikan
kepada parpol pengusungnya. Gubernur atau bupati/ wali kota bisa dianggap
wanprestasi bila tidak memberikan nafkah politik, dan dapat dipastikan
tidak akan diusung lagi dalam pilkada atau pileg berikutnya. Bahkan anggota
DPR atau DPRD bisa ''dipecat'' tiap saat, dan kursi yang ia tinggalkan
sudah ditunggu oleh calon anggota antarwaktu.
Bagaimana dengan rumus tidak ada sesuatu yang gratis? Dalam rumus ekonomi
atau ekonomi politik, gaji atau take homepay riil dan halal yang diterima
guburnur, bupati/ wali kota, atau wakil rakyat selama 5 tahun (satu
periode) tak akan cukup untuk mengembalikan modal awal.
Istilahnya, mereka tak bakal mencapai ''break
even point'' (BEP) sehingga kompensasinya adalah korupsi yang bisa
dilakukan lewat berbagai cara. Seandainya tidak terendus atau tidak
ditangkap oleh KPK atau lembaga penegak hukum yang lain, praktik itu pun
sebenarnya termasuk korupsi. Rasanya tak terlalu salah bila kita membuat
dalil kemahalan mahar politik sama dengan ijon korupsi.
Apakah negara yang kita cintai ini bisa menghentikan praktik korupsi yang
cenderung makin nggegirisi, bahkan menggiring negara menuju kondisi
darurat? Secara umum KPK kadang kalah cepat dan kalah canggih dari pelaku
korupsi.
Tentu banyak faktor berpengaruh tapi untuk bisa menyapu bersih korupsi,
sapunya memang harus bersih. Karena itu, kita mutlak butuh pejabat politik
yang bersih. Omong kosong kita bicara berapi-api akan memerangi korupsi
tapi aktor korupsi masih merajalela di badan legislatif, eksekutif, dan
yudikatif, baik di pusat maupun daerah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar