Rabu, 27 Februari 2013

Mahar Politik dan Ijon Korupsi


Mahar Politik dan Ijon Korupsi
Ahmad Rofiq  Guru Besar Hukum Islam IAIN Walisongo,
Sekretaris Umum MUI Jawa Tengah
SUARA MERDEKA, 26 Februari 2013


TAHUN 2013, kata SBY, adalah tahun politik karena banyak pemilihan kepala daerah. Implikasinya, banyak pejabat publik lebih asyik mengurus partai politik ketimbang tugas utama sebagai pejabat negara. Wakil Ketua DPR Pramono Anung bahkan menyinyalir kinerja anggota DPR menurun karena mereka sering mangkir, tak aktif menghadiri persidangan kendati target legislasi menunggu mereka (SM, 21/02/13). 

Kita bisa melihat banyak anggota parlemen turun ke bawah, menemui konstituen, supaya kembali terpilih dalam pileg mendatang. Di daerah, banyak cagub turun ke kantong konstituen, baik di komunitas pesantren, ormas pemuda, maupun majelis taklim. Sebagian dari cagub itu pejabat aktif sehingga masyarakat sulit membedakan apakah ketika menghadiri suatu acara itu sebagai pejabat pemerintah yang notabene pelayan rakyat atau cagub? 

''Mahar'' Politik 

Mendagri Gamawan Fauzi mengatakan, seorang cagub bisa menghabiskan biaya Rp 250 miliar untuk pilkada. Ini belum termasuk biaya dari APBD. Untuk bisa mendapatkan kendaraan politik, cagub harus membeli tiket Rp 10 miliar-Rp 25 miliar. Untuk tingkat cabup/ cawalkot harus siap membeli tiket Rp 5 miliar-Rp 10 miliar.

Ini masih diperburuk oleh model sandera dari parpol besar. Berdalih sebagai strategi pemenangan kontestasi, parpol besar memilih menerbitkan rekomendasi pada ''detik-detik'' akhir pendaftaran di KPU. Tak tertutup kemungkinan cagub atau cabup/ cawalkot pemohon rekomendasi harus menyiapkan ''amunisi'' lebih besar supaya mendapat kepastian bahwa dia benar-benar bisa mengantongi rekomendasi itu. 

Jadi, sebelum berkompetisi dalam pilgub atau pilbup/ pilwakot, calon kepala daerah, sudah harus menguras energi dan ''amunisi'' untuk mahar politik. Ini eufimisme untuk tidak mengatakan sebagai money politics. Mereka pun harus siap mental seandainya tidak mendapat rekomendasi dari partai pengusung.

Tak bisa dimungkiri pada saat ini parpol cenderung pragmatis, tidak lagi menyoal ideologi atau visi dan misi. Siapa pun dapat dengan mudah membeli mahar politik yang sangat mahal tersebut. Ini baru pada babak pemilu gubernur atau bupati/wali kota.

Calon kepala daerah itu harus membayar mahar politik lebih besar lagi karena mereka harus membayar saksi di TPS, membiayai tim sukses, mencetak baliho, kaus, dan berkampanye. Terlebih pada detik-detik menjelang pelaksanaan pilkada. 

Saat ini memang tidak ada lagi serangan fajar karena sudah terang-terangan diperbarui menjadi serangan duha. Cagub atau cabup/ cawalkot juga wajib menyediakan angkutan dengan segala macam uba rampe-nya, menjemput pemilih dari luar wilayah atau basis pemilih. Bukankah semua itu bisa disebut money politics? Jawabannya bermacam-macam tapi yang jelas mahar politik memang mahal.

''Ijon'' Korupsi

Bagaimana kalau kita mengaitkan dengan ijon? Masyarakat mengartikan ijon dalam konteks ingin membeli barang tapi barang itu belum ada. Istilahnya pesan tapi harus bayar dulu. Ada yang mengistilahkan inden, atau bila menggunakan bahasa fikih, yaitu bai' al-salam. 

Tentu kata ijon tidak enak seandainya kita gunakan dalam konteks ''ijon'' korupsi. Artinya, cagub atau cabup/ cawalkot, dan boleh jadi rumus ini berlaku untuk pileg untuk DPR, DPRD provinsi atau kabupaten/ kota, butuh biaya mahal untuk bisa meraih jabatan dan kursi politik. Selain itu kursi panas, biaya pilkada memang mahal bila dibanding besaran gaji dan take homepay yang bakal diterima setelah cagub, cabup/ cawalkot, atau caleg menduduki jabatan tersebut.

Itu belum termasuk biaya atau ''nafkah politik'' yang harus diberikan kepada parpol pengusungnya. Gubernur atau bupati/ wali kota bisa dianggap wanprestasi bila tidak memberikan nafkah politik, dan dapat dipastikan tidak akan diusung lagi dalam pilkada atau pileg berikutnya. Bahkan anggota DPR atau DPRD bisa ''dipecat'' tiap saat, dan kursi yang ia tinggalkan sudah ditunggu oleh calon anggota antarwaktu.

Bagaimana dengan rumus tidak ada sesuatu yang gratis? Dalam rumus ekonomi atau ekonomi politik, gaji atau take homepay riil dan halal yang diterima guburnur, bupati/ wali kota, atau wakil rakyat selama 5 tahun (satu periode) tak akan cukup untuk mengembalikan modal awal.

Istilahnya, mereka tak bakal mencapai ''break even point'' (BEP) sehingga kompensasinya adalah korupsi yang bisa dilakukan lewat berbagai cara. Seandainya tidak terendus atau tidak ditangkap oleh KPK atau lembaga penegak hukum yang lain, praktik itu pun sebenarnya termasuk korupsi. Rasanya tak terlalu salah bila kita membuat dalil kemahalan mahar politik sama dengan ijon korupsi.

Apakah negara yang kita cintai ini bisa menghentikan praktik korupsi yang cenderung makin nggegirisi, bahkan menggiring negara menuju kondisi darurat? Secara umum KPK kadang kalah cepat dan kalah canggih dari pelaku korupsi. 

Tentu banyak faktor berpengaruh tapi untuk bisa menyapu bersih korupsi, sapunya memang harus bersih. Karena itu, kita mutlak butuh pejabat politik yang bersih. Omong kosong kita bicara berapi-api akan memerangi korupsi tapi aktor korupsi masih merajalela di badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, baik di pusat maupun daerah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar