Terdapat anggapan yang diterima
secara meluas bahwa aneka problematik di bidang politik, ekonomi, dan
sosial yang dihadapi Indonesia saat ini bersumber dari krisis nilai-nilai
komunal.
Aneka persoalan itu dianggap
sebagai gejala ketika orang telah jauh dari kesalehan pribadi—sebagai inti
terpenting dari moral komunal.
Anggapan semacam itu memunculkan
logika sederhana bahwa solusi atas persoalan kebangsaan adalah kembali
kepada bentuk-bentuk kesalehan pribadi. Kesalehan pribadi dalam perspektif
ini dipandang sebagai sumber moralitas untuk mengatur kehidupan di ranah
publik.
Sepintas lalu, anggapan semacam
itu tampak cukup masuk akal. Namun, jika ditelaah lebih dalam, akan segera
tampak asumsi itu mengandung problemnya sendiri. Karena sifatnya yang
khas, moral komunal hanya dapat diberlakukan secara khusus (terkait dengan
kandungan nilainya) dan terbatas (terkait dengan komunitas yang
meyakininya).
Jenis moral semacam ini, oleh
karena itu, sulit diterapkan di ranah publik yang ditandai sifat kehidupan
yang jauh lebih luas, kompleks, dan multidimensi dibandingkan dengan
kehidupan di level komunitas. Berbeda dengan moral komunal, moral atau
etika publik justru dibangun untuk mengatasi partikularitas komunal serta
mencegah moralitas suatu komunitas—sekalipun berkedudukan mayoritas—tak
mendominasi komunitas lain.
Dunia publik merupakan suatu
”medan kehidupan” yang mempertautkan hubungan antara kekuasaan politik
(negara) dan warga negara. Di ranah ini, perilaku warga negara terikat
dengan moralitas sekuler dan, oleh karena itu, ”identitasnya” tidak lagi
terikat pada moralitas asal suku ataupun agama yang dianutnya. Di sisi
lain, warga negara juga memperoleh akses dan hak yang sama dan diperlakukan
setara di ranah publik.
Perlindungan Negara
Seorang individu dapat
berpartisipasi dalam acara budaya tertentu tempat ia berasal ataupun
merayakan hari besar agama yang dianutnya. Dalam konteks ini berlaku
moralitas khusus yang hanya bisa diterapkan pada komunitas tertentu. Pada
situasi ini, negara memberi perlindungan terhadap hak dan kebebasan setiap
komunitas untuk mengekspresikan diri tentu dalam batas-batas yang hanya
berlaku di setiap komunitas itu sendiri.
Sebagai sebuah negara, Indonesia
memiliki platform etika atau moral di ranah publik. Alasan dan tujuan
didirikannya NKRI, sebagaimana tertuang pada Pembukaan UUD 1945, merupakan
acuan konstitusional yang jadi landasan bagi pengaturan kehidupan di ranah
publik. Pesan yang terkandung di dalamnya mengisyaratkan negara ini
didirikan atas nama dan untuk kepentingan umum, res publica.
Secara konstitusional,
negara—melalui aparat dan perangkat kebijakan publiknya—dituntut kebal dan
netral dari intervensi moralitas komunal. Dasar etiknya, moralitas publik
yang mewajibkan negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan
memajukan kesejahteraan umum. Gagasan inilah yang menjadi raison d'être
eksistensi Republik Indonesia. Soal ini pula yang menjelaskan mengapa para
Bapak Pendiri negara kita secara sadar dan visioner memilih kata republik
di depan kata Indonesia.
Dengan demikian, problematik yang
kini dihadapi Indonesia jelas bukan terletak pada ditinggalkannya moralitas
komunal di ranah publik, melainkan diabaikannya moralitas publik. Hal ini
antara lain terlihat dari perilaku para penyelenggara negara yang sering
kali justru mengusung pandangan-pandangan komunal. Lebih aneh lagi, jabatan
publik yang melekat pada setiap penyelenggara negara dianggap tak memiliki
konsekuensi etis apa pun kala mereka membiarkan kebijakan publik dibajak
oleh ideologi komunalisme.
Ranah publik sedemikian rupa telah
dibelokkan dan dijauhkan dari nilai profetiknya sebagai penjaga persamaan
hak warga negara dan penjamin keadilan distributif. Gejala semacam ini oleh
filsuf Jürgen Habermas dipreposisikan sebagai refeodalisasi ranah
publik.
Revitalisasi Amanat UUD
Dengan demikian, merupakan suatu
kekeliruan jika persoalan kebangsaan yang saat ini dihadapi Indonesia
dipandang sebagai memudar atau ditinggalkannya moralitas komunal. Apa yang
dihadapi Republik ini justru terletak pada kegagalan membangun moralitas
publik yang diamanatkan konstitusi. Kegagalan mewujudkan pesan
konstitusi dapat mengundang ancaman permanen dari berbagai gerakan sosial
yang mengusung moralitas komunal.
Lebih dari enam dasawarsa yang
lalu, the founding fathers kita telah meletakkan kode etik bernegara
sebagai dasar penyelenggaraan kehidupan di ranah publik. Yang perlu
dilakukan adalah merevitalisasi dan mereaktualisasi amanat konstitusi agar
ranah publik tak semakin terancam gerakan-gerakan politik berbasis
identitas.
Jika para penyelenggara kekuasaan
negara tidak melakukan upaya semacam itu, terdapat alasan kuat
mempertanyakan, masihkah negara ini memiliki legitimasi konstitusional
untuk menyandang predikat Republik? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar