"Lebih baik pemerintah dan BI memprioritaskan pengendalian
inflasi serta kestabilan dan perbaikan nilai tukar rupiah"
PEMERINTAH, melalui Kemenkeu dan Bank Indonesia (BI), belakangan ini
gencar menyosialisasikan program redenominasi, yaitu mengubah nilai
uang Rp 1.000 menjadi Rp 1. Pemerintah dan BI mendalihkan pada penurunan
minat masyarakat terhadap uang rupiah lama, berkait kepraktisan, dan karena
itu secara perlahan-lahan mengurangi penerbitan rupiah lama (periode
2016-2018). Diperkirakan tahun 2019 tak ada lagi orang berminat terhadap
rupiah lama dan tahun 2022 pemerintah menerapkan redenominasi.
Apa perbedaan mendasar dari sanering yang dikhawatirkan banyak orang?
Sanering adalah pemotongan daya beli masyarakat melalui pemotongan nilai
mata uang. Hal yang sama tidak dilakukan pada harga barang dan jasa sehingga
daya beli masyarakat otomatis menurun.
Dalam redenominasi tak ada kerugian karena daya beli masyarakat tetap
sama. Hal itu berbeda dari sanering yang menimbulkan banyak kerugian karena
daya beli masyarakat menurun drastis. Selain itu, redenominasi bertujuan
menyederhanakan pecahan mata uang agar lebih efisien dan nyaman dalam
bertransaksi.
Tujuan berikutnya adalah untuk mempersiapkan kesetaraan ekonomi
Indonesia dengan perekonomian negara regional. Berbeda dari sanering yang
bertujuan mengurangi jumlah uang yang beredar akibat kemelonjakan
harga-harga setelah terjadi hiperinflasi (inflasi yang sangat tinggi).
Sudah sedemikian mendesakkah hingga pemerintah kita melakukan
redenominasi, yang berisiko menimbulkan gejolak harga bila sosialisasi dan
implementasinya tidak dibarengi disiplin tinggi sekaligus monitoring
ekstraketat? Kita bisa melihat selama ini banyak kebijakan publik yang
kedodoran akibat ketidakdisiplinan.
Tak hanya tidak berdisiplin menjalankan berbagai kriteria yang
diperlukan terkait dengan kebijakan publik, bangsa ini juga ambigu
menerapkan kebijakan publik yang akan dan sudah diambil. Jadi, sudah
tepatkan bila pemerintah menempatkan redenominasi sebagai prioritas utama
dalam menentukan nasib rupiah? Padahal masih banyak persoalan bangsa menyangkut
perekonomian, yang berujung pada kestabilan nilai tukar rupiah, yang perlu
pembenahan cepat oleh pemerintah.
Ketimbang fokus pada persoalan redenominasi, lebih baik pemerintah
dan BI memprioritaskan pengendalian inflasi serta kestabilan dan perbaikan
nilai tukar rupiah. Pasalnya hal itulah yang lebih dibutuhkan oleh pelaku
dunia usaha. Mau tidak mau kita harus mengakui bahwa selama ini sulit
mencapai kestabilan nilai tukar rupiah.
Disiplin Pasar
Nilai tukar rupiah terus saja bergejolak, tanpa ada nilai yang pasti,
padahal kondisi itu bisa menyulitkan eksportir dan importir. Kalau rupiah
terlalu mahal maka importir yang akan kesulitan, sementara kalau terlalu
murah maka eksportir yang akan kelabakan.
Kadin menyatakan persoalan nilai tukar rupiah masih memberatkan
pengusaha dan pelaku industri, termasuk importir dan eksportir. Nilai
tukar moderat adalah Rp 9.600 per dolar AS. Semestinya keluhan Kadin dan
asosiasi yang terkait dengan berbagai bisnis di Tanah Air perlu didengar
oleh petinggi negeri ini, termasuk pejabat Kemenkeu dan BI. Kalau perlu
mereka diajak membicarakan persoalan ini, termasuk melibatkan pelaku dunia
usaha besar (skala korporasi).
Targetnya adalah kestabilan nilai tukar rupiah, bukan sekadar
penguatan. Bukan saatnya lagi bangga terhadap penguatan nilai tukar rupiah.
Pemerintahan China tidak mau nilai tukar renmimbi (yuan) terus mengalami
penguatan seiring dengan pertumbuhan ekonomi negara itu. Penguatan nilai
tukar yuan justru membuat komoditas China tidak akan kompetitif di pasar
internasional. Karena itu yang mereka lakukan justru menstabilkan mata uang
sehingga ada iklim kepastian bagi dunia usaha.
Terkait rencana redenominasi, kita harus bicara masalah disiplin
pasar dalam penerapan kebijakan tersebut. Tidak tertutup kemungkinan
pedagang semaunya sendiri menaikkan harga barang dan jasa dalam bentuk
pembulatan ke atas. Terutama harga komoditas yang tidak bulat ribuan atau
jutaan. Pembulatan itu bisa saja dilakukan dengan alasan kepraktisan
bertransaksi mengingat nantinya transaksi tak memerlukan pecahan kecil.
Persoalannya adalah bila fenomena pembulatan ke atas harga diterapkan
untuk komoditas yang berjumlah banyak pasti memicu inflasi. Padahal kita
acap lemah dalam persoalan kedisiplinan terkait dengan pengawasan dan pemberlakukan
kebijakan baru. Kita tidak bisa memungkiri terlalu banyak orang ingin
meraih keuntungan sesaat dengan mengabaikan rambu-rambu dan aturan main.
Mumpung belum telanjur, pemerintah dan Bank Indonesia sebaiknya
berpikir ulang untuk menerapkan redenominasi. Kebijakan pembatasan
penggunaan BBM bersubsidi saja sampai saat ini belum berjalan
sebagaimana mestinya. Padahal kebijakan publik semacam itu menjadi batu
ujian keberhasilan pemerintah me-launching sesuatu
yang melibatkan banyak stakeholder,
termasuk kebijakan sekelas redenominasi. Belajar dari pengalaman selama
ini, lebih baik kita menunda rencana redenominasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar