Minggu, 24 Februari 2013

Penetapan Skala Prioritas Redenominasi


Penetapan Skala Prioritas Redenominasi
Susidarto Praktisi Perbankan, Tinggal di Yogyakarta
SUARA MERDEKA, 23 Februari 2013


"Lebih baik pemerintah dan BI memprioritaskan pengendalian inflasi serta kestabilan dan perbaikan nilai tukar rupiah"

PEMERINTAH, melalui Kemenkeu dan Bank Indonesia (BI), belakangan ini gencar  menyosiali­sasikan program redenominasi, yaitu mengubah nilai uang Rp 1.000 menjadi Rp 1. Pemerintah dan BI mendalihkan pada penurunan minat masyarakat terhadap uang rupiah lama, berkait kepraktisan, dan karena itu secara perlahan-lahan mengurangi penerbitan rupiah lama (periode 2016-2018). Diperkirakan tahun 2019 tak ada lagi orang berminat terhadap rupiah lama dan tahun 2022 pemerintah menerapkan redenominasi.
Apa perbedaan mendasar dari sanering yang dikhawatirkan banyak orang? Sanering adalah pemotongan daya beli masyarakat melalui pemotongan nilai mata uang. Hal yang sama tidak dilakukan pada harga barang dan jasa sehingga daya beli masyarakat otomatis menurun.

Dalam redenominasi tak ada kerugian karena daya beli masyarakat tetap sama. Hal itu berbeda dari sanering yang menimbulkan banyak kerugian karena daya beli masyarakat menurun drastis. Selain itu, redenominasi bertujuan menyederhanakan pecahan mata uang agar lebih efisien  dan nyaman dalam bertransaksi.

Tujuan berikutnya adalah untuk mempersiapkan kesetaraan ekonomi Indonesia dengan perekonomian negara regional. Berbeda dari sanering yang bertujuan mengurangi jumlah uang yang beredar akibat keme­lonjakan harga-harga setelah terjadi hiperinflasi (inflasi yang sangat tinggi).

Sudah sedemikian mendesakkah hingga pemerintah kita melakukan redenominasi, yang berisiko menimbulkan gejolak harga bila sosialisasi dan implementasinya tidak dibarengi disiplin tinggi sekaligus monitoring ekstraketat? Kita bisa melihat selama ini banyak kebijakan publik yang kedodoran akibat ketidakdisiplinan.

Tak hanya tidak berdisiplin menjalankan berbagai kriteria yang diperlukan terkait dengan kebijakan pu­blik, bangsa ini juga ambigu menerapkan kebijakan publik yang akan dan sudah diambil. Jadi, sudah tepatkan bila pemerintah menempatkan redenominasi sebagai prioritas utama dalam menentukan nasib rupiah? Padahal masih banyak persoalan bangsa me­nyangkut perekonomian, yang berujung pada kestabilan nilai tukar rupiah, yang perlu pembenahan cepat oleh pemerintah.

Ketimbang fokus pada persoalan redenominasi, lebih baik pemerintah dan BI memprioritaskan pe­ngendalian inflasi serta kestabilan dan perbaikan nilai tukar rupiah. Pasalnya hal itulah yang lebih dibutuh­kan oleh pelaku dunia usaha. Mau tidak mau kita harus mengakui bahwa selama ini sulit mencapai kestabilan nilai tukar rupiah.

Disiplin Pasar

Nilai tukar rupiah terus saja bergejolak, tanpa ada nilai yang pasti, padahal kondisi itu bisa menyulitkan eksportir dan importir. Kalau rupiah terlalu mahal maka importir yang akan kesulitan, sementara kalau terlalu murah maka eksportir yang akan kelabakan.
Kadin menyatakan persoalan nilai tukar rupiah masih memberatkan pengusaha dan pelaku industri,  termasuk importir dan eksportir. Nilai tukar moderat adalah Rp 9.600 per dolar AS. Semestinya keluhan Kadin dan asosiasi yang terkait dengan berbagai bisnis di Tanah Air perlu didengar oleh petinggi negeri ini, termasuk pejabat Kemenkeu dan BI. Kalau perlu mereka diajak membicarakan persoalan ini, termasuk melibatkan pelaku dunia usaha besar (skala korporasi).

Targetnya adalah kestabilan nilai tukar rupiah, bukan sekadar penguatan. Bukan saatnya lagi bangga terhadap penguatan nilai tukar rupiah. Pemerintahan China tidak mau nilai tukar renmimbi (yuan) terus mengalami penguatan seiring dengan pertumbuhan ekonomi negara itu. Penguatan nilai tukar yuan justru membuat komoditas China tidak akan kompetitif di pasar internasional. Karena itu yang mereka lakukan justru menstabilkan mata uang sehingga ada iklim kepastian bagi dunia usaha.

Terkait rencana redenominasi, kita harus bicara masalah disiplin pasar dalam penerapan kebijakan tersebut. Tidak tertutup kemungkinan  pedagang semaunya sendiri menaikkan harga barang dan jasa dalam bentuk pembulatan ke atas. Terutama harga komoditas yang tidak bulat ribuan atau jutaan. Pembulatan itu bisa saja dilakukan dengan alasan kepraktisan bertransaksi mengingat nantinya transaksi tak memerlukan pecahan kecil.
Persoalannya adalah bila fenomena pembulatan ke atas harga diterapkan untuk komoditas yang berjumlah banyak pasti memicu inflasi. Padahal kita acap lemah dalam persoalan kedisiplinan terkait dengan pengawasan dan pemberlakukan kebijakan baru. Kita tidak bisa memungkiri terlalu banyak orang ingin meraih keuntungan sesaat dengan mengabaikan rambu-rambu dan aturan main.

Mumpung belum telanjur, pemerintah dan Bank Indonesia sebaiknya berpikir ulang untuk menerapkan redenominasi. Kebijakan pembatasan penggunaan BBM bersubsidi saja sampai saat ini  belum berjalan sebagaimana mestinya. Padahal kebijakan publik semacam itu menjadi batu ujian keberhasilan pemerintah me-launching sesuatu yang melibatkan banyak stakeholder, termasuk kebijakan sekelas redenominasi. Belajar dari pengalaman selama ini, lebih baik kita menunda rencana redenominasi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar