Akuntabilitas
versus Tribalisme
Wawan Sobari ; Peneliti The Jawa Pos Institute of
Pro-Otonomi,
Kandidat Doktor Ilmu Politik Flinders
University, Australia
|
|
JAWA
POS, 27 Februari 2013
SECARA konstitusional sejatinya Indonesia telah memasuki
era negara modern sejak UUD 1945 berlaku 67 tahun lalu. Konstitusi telah
memuat format modernitas yang menggariskan bahwa para pemimpin pemerintahan
dan parlemen dipilih secara demokratis. Konstitusi memutus mata rantai
kekuasaan berdinasti ala kerajaan. Namun, konstitusi majal terhadap
absolutisme kekuasaan sebelum era reformasi.
Amandemen konstitusi pada era reformasi membatasi periode
kekuasaan kepala negara dan pemerintahan. Amandemen juga telah melahirkan
sejumlah koreksi atas malinterpretasi dan malpraktik kekuasaan era
sebelumnya. Termasuk koreksi terhadap ketidakberdayaan lembaga legislatif.
Namun, konstitusi yang telah mengalami perbaikan belum
tentu diikuti praktik dan kinerja politik dan pemerintahan yang modern.
Alasannya, politik dan pemerintahan belum menjunjung akuntabilitas sebagai
salah satu filosofi tatanan politik modern satu negara.
Menurut Fukuyama (2011), dua indikator kunci pemerintahan
yang akuntabel, yaitu, pertama, para pembuat kebijakan (pemimpin)
bertanggung jawab kepada rakyatnya. Kedua, mereka menempatkan kepentingan
rakyat di atas kepentingan pribadi dan golongannya.
Kondisi tersebut kontras terhadap format pemerintahan
modern yang akuntabel, yakni pemerintahan yang dikelola secara tribalistik.
Dalam format seperti ini, kepercayaan terhadap pemimpin diukur berdasar
kemampuannya memberikan bermacam sumber daya (uang, kebutuhan pokok,
proyek, infrastruktur) kepada kelompoknya secara eksklusif. Ini mirip peran
kepala suku kepada kelompoknya.
Rakyatnya pun akan memilih pemimpin bukan karena
pertimbangan program dan manfaat jangka panjang. Mereka memilih pemimpin
yang bisa mendistribusikan sumber daya untuk kelompoknya. Untuk kasus itu,
Fukuyama (2011) berkaca dari praktik pemerintahan negara-negara Melanesia,
terutama Papua Nugini dan Kepulauan Solomon.
Karena itu, sistem pemerintahan yang tribalisme seperti
itu tidak mudah mengakui prinsip-prinsip barang publik dalam
mendistribusikan sumber daya (anggaran). Terjadi praktik manipulasi barang
publik menjadi barang privat demi meraih tujuan-tujuan individu dan
kelompok.
Kronologi kasus korupsi pembangunan sport center Hambalang
(Jawa Pos, 23/2)
mempertontonkan perilaku tersebut. Kepentingan untuk mencari rente
individual dan kelompok menjadi bagian dari proses pengambilan kebijakan.
Alokasi anggaran menjadi ajang intervensi dan distribusi rente bukan untuk
pemenuhan kepentingan publik.
Dugaan kasus gratifikasi kebijakan impor sapi merupakan
variasi lain praktik pemerintahan yang tribalistik. Partai politik menjadi
instrumen dalam kapitalisasi kepentingan kelompok. Menteri yang berasal
dari partai politik menjadi pintu masuk intervensi kebijakan yang
menguntungkan individu dan kelompok secara ekonomi dan politik.
Sebagaimana diungkap Ketua Harian Dewan Hortikultura
Nasional Benny Kusbini bahwa pengaruh orang-orang partai dalam pengambilan
kebijakan di kementerian merupakan hal biasa. Bukan hanya di Kementerian
Pertanian, kementerian dan partai lain pun terbiasa mengintervensi kebijakan
yang ditengarai menguntungkan kekuatan politik tertentu (Jawa Pos, 3/2).
Intervensi tersebut bisa menjadi penyebab tingginya harga
komoditas atau penurunan kualitas infrastruktur atau penyebab kerugian
negara. Kepentingan publik terabaikan. Sementara itu, tantangan terhadap
akuntabilitas pemerintahan lainnya datang dari sistem pemilu legislatif
yang juga tribalistik. Sistem perwakilan semidistrik yang menggunakan
daerah pemilihan menimbulkan orientasi sempit para wakil rakyat terpilih.
Mereka cenderung lebih memprioritaskan pemenuhan janji konstituen di
wilayah yang diwakilinya.
Mencuatnya debat mengenai alokasi dana aspirasi untuk
tiap anggota DPR tiga tahun lalu menunjukkan kecenderungan itu. Usul yang
mendapat reaksi negatif dari akal sehat publik itu bertentangan dengan
prinsip akuntabilitas pemerintahan.
Bagi-bagi dana pembangunan tiap dapil tidak berbeda
dengan praktik pemerintahan tribalistik. Para wakil rakyat berupaya keras
membagi insentif dana pembangunan tertentu kepada konstituen agar tetap
dipilih. Alhasil, wujud tanggung jawab sebagai wakil rakyat terpilih
tereduksi lewat distribusi insentif material.
Konsekuensinya, ukuran kompetensi kinerja dan prestasi
sebagai wakil rakyat menjadi terabaikan. Publik tidak lagi mempertimbangkan
kinerja para legislator, terutama dalam meningkatkan kemanfaatan publik
atas setiap UU yang dibuat maupun dalam penetapan alokasi anggaran.
Bila kebijakan tersebut diteruskan, ada tiga prinsip
akuntabilitas alokasi APBN sebagai barang publik yang dilanggar. Yaitu,
prinsip inklusivitas, non-rivalitas, dan non-penolakan dalam pemanfaatan
APBN sebagai barang publik.
Meski demikian, pemerintah justru dinilai terus mengalami
kemajuan dalam akuntabilitas pengelolaan uang negara. Setiap tahun hasil
audit laporan keuangan pemerintah pusat (LKPP) menunjukkan perbaikan opini
yang diberikan BPK. Hal ini, antara lain, terindikasikan oleh bertambahnya
kementerian dan lembaga (KL) yang memperoleh predikat wajar tanpa
pengecualian (WTP).
Hingga 2011 sudah 84 persen KL yang mendapat opini WTP.
Makanya, BPK memberikan opini wajar dengan pengecualian (WDP/qualified opinion) terhadap LKPP
2011.
Penjelasan dari fakta bertentangan itu bahwa ukuran
akuntabilitas formal masih mendapat tantangan. Di antaranya penyimpangan
dalam praktik pengambilan dan implementasi kebijakan. Dengan demikian,
klaim sebagai negara modern sejatinya masih banyak persoalan.
Sebagai catatan akhir, praktik-praktik politik era
tribalisme yang kerap mewarnai praktik pemerintahan saat ini sungguh
berkonsekuensi cukup berat. Makna akuntabilitas pemerintahan menjadi
terdistorsi sangat tajam. Akuntabilitas pemerintahan akhirnya secara
eksklusif hanya ditujukan kepada para pendukung fanatik pemanfaat transaksi
barang publik. ●
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar