TAHUN 2014 sebagai tahun
pertarungan politik telah di ambang pintu, wajar bila partai politik makin
giat merancang berbagai jurus, demi menjala sebanyak mungkin kursi parlemen
karena itulah cetak biru terpenting mereka.
Beberapa waktu lalu, seorang petinggi partai politik besar mewacanakan kembali
perlunya mengkaji Pasal 215 Ayat a UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu
Anggota DPR, DPD, dan DPRD, yaitu calon terpilih ditetapkan berdasarkan
suara terbanyak. Ia sengaja menggulirkan bola wacana itu guna menguji
dukungan publik, apakah setuju atau tidak. Pemerhati politik tentu mahfum,
sesungguhnya ada kegalauan pada petinggi partai terhadap sistem
proporsional daftar terbuka, yang notabene hasil karya mereka sendiri.
Realitas itu justru memperlemah otoritas elite terhadap anggota, khususnya
anggota legislatif.
Tatkala ruang pendapatan partai menyempit, di tengah kegencaran spirit
pemberantasan korupsi, mau tak mau partai politik harus kembali
mengandalkan anggota sebagai ’’mesin uang’’ partai. Dalam konteks ini,
sistem proporsional daftar terbuka justru menghambat maksud tersebut.
Seribu satu argumen tentu harus didalilkan guna menampik sinyalemen bahwa
kegalauan mereka bersumber pada isu tersebut, demi citra partai. Bagi
petinggi partai, memiliki power adalah persyaratan agar mampu mengendalikan
anggota, karena itu berbanding lurus dengan efektivitas pengelolaan partai.
Power juga diperlukan untuk melanggengkan status quo.
Pembelokan Argumentasi
Untuk memenangkan argumennya, elite parpol tentu paham bahwa wacana yang
dikemukakan tidak boleh selugas tujuan di baliknya. Alasan sebenarnya harus
disembunyikan agar opini berbelok sesuai harapan, dan seolah-olah masuk
akal. Wacana yang kemudian sering kita dengar adalah tingginya biaya
politik itu akibat dari sistem proporsional daftar terbuka, biang kerok
dari perilaku korup.
Inilah wacana mainstream yang akhir-akhir ini sering mengemuka. Gayung pun
bersambut, berbagai pihak mulai percaya bahwa biang kerok itu harus
dilenyapkan. Padahal,
perilaku korup tidak bisa dipandang semata-mata sebagai akibat dari
tingginya biaya politik. Nikmat korupsi jauh lebih memesona, ketimbang
sekadar motif mengganti biaya politik yang telah dikeluarkan.
Bahkan ancaman penjara sekalipun tidak menakutkan para koruptor. Itu karena
sistem hukum (rule of law),
proses hukum (due process of law),
dan penegakan hukum (law enforcement)
kita masih menyisakan banyak celah, sehingga praktis mudah ditaklukkan.
Fenomena mafia peradilan, mafia anggaran. dan sebagainya tumbuh subur bukan
karena high cost of politics
melainkan karena ada peluang yang tercipta dari kelemahan sistem hukum
kita. Biaya politik tinggi juga tidak semata-mata merupakan andil dari
sistem proporsional terbuka tetapi karena kebanyakan caleg lebih suka
meraih suara secara instan.
Pekerjaan lapangan seperti menyerap aspirasi rakyat, memperjuangkan
kepentingan konstituen, mendampingi dan melakukan advokasi terhadap rakyat,
kalah pamor dari pekerjaan gedongan, seperti pengawasan, legislasi, dan
penganggaran. Wajar, bila lomba baliho, jor-joran iklan, bahkan politik
uang yang notabene berbiaya tinggi, menjadi pilihan standar para caleg.
Akibatnya jelas, biaya politik otomatis menjadi mahal.
Tapi yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo menjadi bukti bahwa
memenangi pilkada tidak selalu harus mahal. ’’Model Jokowi’’ inilah yang
sejatinya dilakukan guna menekan biaya politik, bukan kembali kepada sistem
proporsional daftar tertutup.
Terbuka dan Tertutup
Perbedaan penting antara sistem proporsional daftar terbuka dan tertutup
dari aspek ekonomi adalah, model terbuka akan mengalirkan biaya politik ke
rakyat, sementara model tertutup lebih mengalirkan biaya politik ke
petinggi partai. Tentu mudah ditebak, model manakah yang bakal dipilih
petinggi partai.
Ditinjau dari aspek pembangunan ekonomi, tentu model terbuka lebih
berdampak positif terhadap peningkatan pendapatan masyarakat. Riuh-rendah
kampanye pasti seiring dengan kemenderasan duit mengalir ke rakyat, kepada
pembuat baliho, produsen kaos, spanduk, leaflet, dan sebagainya.
Maka jelas model proporsional terbuka lebih dirasakan manfaatnya oleh
rakyat, ketimbang model proporsional tertutup. Masalahnya, kegalauan
petinggi partai tidak melulu pada aspek finansial mengingat model terbuka
disinyalir dapat mempertajam kompetisi internal, dan berisiko memecah
belah-partai.
Menurut hemat penulis justru sebaliknya, proses kompetisi internal dapat
menjadi tolok ukur, sejauh mana sebuah parpol telah dewasa secara politik.
Apakah benar-benar siap menyambut elan demokrasi? Apakah telah menempa diri
untuk memasuki kultur baru yang membutuhkan paradigma baru berpolitik? Apabila jawaban atas beberapa pertanyaan itu adalah belum maka model
proporsional terbuka seolah-olah destruktif bagi parpol.
Sudah menjadi tugas parpol untuk mendidik para kader menyongsong asas
demokrasi yang telah dipilih oleh rakyat. Siap atau tidak siap, partai
harus menempa diri supaya makin dewasa dan lebih akrab dengan demokrasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar