Selasa, 26 Februari 2013

Jokowi, Anas, dan Perpustakaan


Jokowi, Anas, dan Perpustakaan
Ahmad Baedowi  Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA, 25 Februari 2013


DUA minggu terakhir khalayak diberi pelajaran berharga dengan kasus dua Anas. Anas pertama ialah Anas Effendi, mantan Wali Kota Jakarta Selatan yang dimutasi menjadi Kepala Perpustakaan dan Arsip Daerah, serta Anas Urbaningrum yang dinyatakan sebagai tersangka oleh KPK. Joko Widodo (Jokowi), sebagai figur di balik pemutasian Anas Effendi, seperti ingin memberi pesan tak langsung bahwa jangan-jangan kinerjanya kurang baik lantaran Anas Effendi malas membaca buku. Menempatkannya sebagai kepala perpustakaan daerah sesungguhnya merupakan suguhan pesan moral luar biasa dalam konteks pembelajaran ala Jokowi.

Saya sedang membayangkan, jika proses Anas Urbaningrum di KPK akan berakhir di jeruji besi, mungkinkah Anas Urbaningrum ditempatkan di perpustakaan Sukamiskin? Adakah perpustakaan di penjara Sukamiskin? Oh, mungkin ini terlalu mengada-ada. Namun, jika dirunut peristiwa yang menimpa kedua Anas, pastilah ada sisi pembacaan keduanya yang kurang lengkap bahwa membaca merupakan langkah awal setiap orang untuk mengisi relung pikir dan jiwanya dengan beragam kecerdasan, termasuk kecerdasan spiritual dan emosional. Padahal, hubungan perpustakaan dengan minat baca jelas berkorelasi erat dengan situasi kekinian Indonesia yang karutmarut dengan persoalan korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Jokowi memang punya kecerdasan yang istimewa dalam merangkai problematik yang menerpa birokrasinya. Solusinya juga cerdas dan sangat membumi. Seperti melantik Wali Kota Jakarta Timur di lapangan terbuka, memutasi pejabat ke perpustakaan, menghampiri rakyatnya dengan aura keikhlasan yang tak kenal lelah, serta menjaga determinasi kejujuran dengan sikap yang bersahaja tanpa keinginan untuk memikirkan kepentingan diri sendiri dan keluarganya. Mungkin Anas Urbaningrum agak terlambat untuk berkaca pada karakter Jokowi sehingga kepiawaiannya dalam berpolitik kurang diimbangi kesantunan faktual dalam membaca tanda-tanda zaman.

Di perpustakaan manakah dulu Jokowi sering membaca? Jika ditilik dari latar belakang pendidikan terakhirnya yang lulusan sarjana kehutanan, tampaknya dia memang ditakdirkan untuk mengurus ‘hutan’ rimba manusia di Indonesia yang kerasukan kerakusan untuk saling memangsa dan menghina. Saya justru membaca dengan jelas maksud tersurat dan tersirat dari Jokowi yang menempatkan Anas Effendi sebagai kepala perpustakaan daerah sebagai pesan pendidikan bagi aparatur lainnya untuk tetap terus belajar, baik sendiri maupun bersama-sama rakyatnya. A governs that learns pantas disandang Jokowi yang mempertontonkan karakter leadership yang menjunjung tinggi nilai kejujuran dan kesahajaan.

Karena itu, saya ingin memberi saran, ada baiknya Jokowi memerintahkan kepala perpustakaan daerah untuk `blusukan' ke setiap sekolah, kelurahan, dan kecamatan serta dinas-dinas untuk melihat ada-tidaknya fasilitas perpustakaan yang memenuhi standar kenyamanan orang untuk betah dan mau membaca. Mungkin juga baik jika di setiap sudut halte busway dibuat small library corner tempat calon penumpang bisa meminjam buku dan mengembalikannya di halte tempat mereka turun. Bayangkan, dalam sehari berapa ribu orang akan tercerahkan oleh buku bacaan yang berkualitas di halte-halte busway, kantor kelurahan, kecamatan, dinas-dinas, masjid, gereja, dan taman-taman terbuka umum.

Jika langkah itu diambil Jokowi, saya berharap juga setiap partai akan terinspirasi dan mau berlomba-lomba membuat perpustakaan di setiap kantor DPC, DPW, DPP, serta small library corner di setiap posko partai mereka masing-masing. Daripada setiap sudut kota dipenuhi baliho, spanduk, dan foto-foto caleg, lebih baik dana tersebut dihibahkan untuk membuat perpustakaan yang akan mencerahkan masa depan Indonesia. 

Pentingkah ini? Jelas penting karena minat baca masyarakat Indonesia yang rendah salah satunya dipengaruhi minimnya fasilitas-fasilitas pendukung, seperti jumlah perpustakaan yang tidak sesuai dengan jumlah penduduk negeri ini.

Jumlah perpustakaan umum di Tanah Air sampai saat ini hanya 2.585 perpustakaan. Jika dihitung secara rasional dengan penduduk Indonesia, satu perpustakaan umum harus sanggup melayani 85 ribu penduduk. Menurut data Badan Penelitian dan Pengembangan Perpustakaan Nasional baru-baru ini, dari 64 ribu desa yang ada di Indonesia, ternyata yang mempunyai perpustakaan hanya 22%.

Jumlah unit perpustakaan di berbagai departemen dan perusahaan baru sekitar 31%. Rendahnya minat baca di kalangan siswa pun tidak terlepas dari persoalan perpustakaan sekolah yang tidak mencukupi dan memadai. Hal itu terlihat dari 110 ribu sekolah yang ada di Indonesia teridentifikasi hanya 18% yang mempunyai perpustakaan.

Selain itu peran perpustakaan penting dalam mendukung proses pendewasaan demokrasi. Perpustakaan dapat menjadi penyedia akses yang setara dalam hal pengetahuan dan ide-ide setiap individu sebagai seorang warga negara, selain sebagai sarana untuk ‘mendemokratisasi’ pengetahuan bagi setiap orang. Dalam bahasa Herman Rosch (2009), perpustakaan jelas memiliki empat fungsi dasar, yaitu edukasi, sosial, politik, dan penyediaan hak akan informasi. Keempat hal itu berjalin berkelindan sebagai sebuah bangunan untuk meningkatkan peran serta warga negara dalam mengawal proses demokrasi yang sedang dibangun.

Memang, mengaplikasikan harapan tentang jumlah perpustakaan ideal tentu tidak semudah membayangkannya. Anggapan yang mengatakan kita sebagai negara berkembang sulit menuju hal tersebut, harus pelan-pelan dipatahkan. Sinergi antara perpustakaan, semua elemen masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, partai politik, dan pemerintah perlu untuk dilakukan dan mengupayakan paradigma baru perpustakaan sebagai pusat pencerahan dan percepat an Indonesia baru yang lebih bermoral. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar