DUA minggu terakhir khalayak
diberi pelajaran berharga dengan kasus dua Anas. Anas pertama ialah Anas
Effendi, mantan Wali Kota Jakarta Selatan yang dimutasi menjadi Kepala
Perpustakaan dan Arsip Daerah, serta Anas Urbaningrum yang dinyatakan
sebagai tersangka oleh KPK. Joko Widodo (Jokowi), sebagai figur di balik
pemutasian Anas Effendi, seperti ingin memberi pesan tak langsung bahwa
jangan-jangan kinerjanya kurang baik lantaran Anas Effendi malas membaca
buku. Menempatkannya sebagai kepala perpustakaan daerah sesungguhnya
merupakan suguhan pesan moral luar biasa dalam konteks pembelajaran ala
Jokowi.
Saya sedang membayangkan, jika proses Anas
Urbaningrum di KPK akan berakhir di jeruji besi, mungkinkah Anas
Urbaningrum ditempatkan di perpustakaan Sukamiskin? Adakah perpustakaan di
penjara Sukamiskin? Oh, mungkin ini terlalu mengada-ada. Namun, jika
dirunut peristiwa yang menimpa kedua Anas, pastilah ada sisi pembacaan
keduanya yang kurang lengkap bahwa membaca merupakan langkah awal setiap
orang untuk mengisi relung pikir dan jiwanya dengan beragam kecerdasan, termasuk
kecerdasan spiritual dan emosional. Padahal, hubungan perpustakaan dengan
minat baca jelas berkorelasi erat dengan situasi kekinian Indonesia yang
karutmarut dengan persoalan korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Jokowi memang punya kecerdasan yang istimewa
dalam merangkai problematik yang menerpa birokrasinya. Solusinya juga
cerdas dan sangat membumi. Seperti melantik Wali Kota Jakarta Timur di
lapangan terbuka, memutasi pejabat ke perpustakaan, menghampiri rakyatnya
dengan aura keikhlasan yang tak kenal lelah, serta menjaga determinasi
kejujuran dengan sikap yang bersahaja tanpa keinginan untuk memikirkan
kepentingan diri sendiri dan keluarganya. Mungkin Anas Urbaningrum agak
terlambat untuk berkaca pada karakter Jokowi sehingga kepiawaiannya dalam
berpolitik kurang diimbangi kesantunan faktual dalam membaca tanda-tanda
zaman.
Di perpustakaan manakah dulu Jokowi sering
membaca? Jika ditilik dari latar belakang pendidikan terakhirnya yang
lulusan sarjana kehutanan, tampaknya dia memang ditakdirkan untuk mengurus
‘hutan’ rimba manusia di Indonesia yang kerasukan kerakusan untuk saling
memangsa dan menghina. Saya justru membaca dengan jelas maksud tersurat dan
tersirat dari Jokowi yang menempatkan Anas Effendi sebagai kepala
perpustakaan daerah sebagai pesan pendidikan bagi aparatur lainnya untuk
tetap terus belajar, baik sendiri maupun bersama-sama rakyatnya. A governs
that learns pantas disandang Jokowi yang mempertontonkan karakter
leadership yang menjunjung tinggi nilai kejujuran dan kesahajaan.
Karena itu, saya ingin memberi saran, ada
baiknya Jokowi memerintahkan kepala perpustakaan daerah untuk `blusukan' ke
setiap sekolah, kelurahan, dan kecamatan serta dinas-dinas untuk melihat
ada-tidaknya fasilitas perpustakaan yang memenuhi standar kenyamanan orang
untuk betah dan mau membaca. Mungkin juga baik jika di setiap sudut halte
busway dibuat small library corner tempat calon penumpang bisa meminjam
buku dan mengembalikannya di halte tempat mereka turun. Bayangkan, dalam
sehari berapa ribu orang akan tercerahkan oleh buku bacaan yang berkualitas
di halte-halte busway, kantor kelurahan, kecamatan, dinas-dinas, masjid,
gereja, dan taman-taman terbuka umum.
Jika langkah itu diambil Jokowi, saya
berharap juga setiap partai akan terinspirasi dan mau berlomba-lomba membuat
perpustakaan di setiap kantor DPC, DPW, DPP, serta small library corner di
setiap posko partai mereka masing-masing. Daripada setiap sudut kota
dipenuhi baliho, spanduk, dan foto-foto caleg, lebih baik dana tersebut
dihibahkan untuk membuat perpustakaan yang akan mencerahkan masa depan
Indonesia.
Pentingkah ini? Jelas penting karena minat baca masyarakat
Indonesia yang rendah salah satunya dipengaruhi minimnya
fasilitas-fasilitas pendukung, seperti jumlah perpustakaan yang tidak
sesuai dengan jumlah penduduk negeri ini.
Jumlah perpustakaan umum di
Tanah Air sampai saat ini hanya 2.585 perpustakaan. Jika dihitung secara
rasional dengan penduduk Indonesia, satu perpustakaan umum harus sanggup
melayani 85 ribu penduduk. Menurut data Badan Penelitian dan Pengembangan
Perpustakaan Nasional baru-baru ini, dari 64 ribu desa yang ada di
Indonesia, ternyata yang mempunyai perpustakaan hanya 22%.
Jumlah unit perpustakaan di berbagai
departemen dan perusahaan baru sekitar 31%. Rendahnya minat baca di
kalangan siswa pun tidak terlepas dari persoalan perpustakaan sekolah yang
tidak mencukupi dan memadai. Hal itu terlihat dari 110 ribu sekolah yang
ada di Indonesia teridentifikasi hanya 18% yang mempunyai perpustakaan.
Selain itu peran perpustakaan penting dalam
mendukung proses pendewasaan demokrasi. Perpustakaan dapat menjadi penyedia
akses yang setara dalam hal pengetahuan dan ide-ide setiap individu sebagai
seorang warga negara, selain sebagai sarana untuk ‘mendemokratisasi’
pengetahuan bagi setiap orang. Dalam bahasa Herman Rosch (2009),
perpustakaan jelas memiliki empat fungsi dasar, yaitu edukasi, sosial,
politik, dan penyediaan hak akan informasi. Keempat hal itu berjalin
berkelindan sebagai sebuah bangunan untuk meningkatkan peran serta warga
negara dalam mengawal proses demokrasi yang sedang dibangun.
Memang, mengaplikasikan harapan tentang
jumlah perpustakaan ideal tentu tidak semudah membayangkannya. Anggapan
yang mengatakan kita sebagai negara berkembang sulit menuju hal tersebut,
harus pelan-pelan dipatahkan. Sinergi antara perpustakaan, semua elemen
masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, partai politik, dan pemerintah
perlu untuk dilakukan dan mengupayakan paradigma baru perpustakaan sebagai
pusat pencerahan dan percepat an Indonesia baru yang lebih bermoral. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar