SETELAH lama menunggu, lebih
dari 12 tahun, penantian komunitas koperasi sampai di ujung. Rancangan UU
Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian yang digulirkan ke Senayan sejak
2000 akhirnya disahkan pada Oktober 2012, menggantikan Undang-Undang Nomor
25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.
Namun apa lacur, penantian mereka yang cukup lama itu, ujung-ujungnya harus
dikompensasi oleh perasaan skeptis bercampur kecewa. Situasi paradoks ini
antara lain terungkap dalam proses sosialisasi yang kini dilakukan
pemerintah untuk lebih memasyarakatkan regulasi baru mengenai
perkoperasian.
Mereka yang terlanjur menaruh ekspektasi kelewat tinggi, sulit
menyembunyikan kegundahan. Ada perasaan prihatin dengan sejumlah
kontradiksi seputar regulasi itu, yang dikhawatirkan memudarkan nilai-nilai
koperasi. Bahkan ada kalangan yang tengah merencanakan langkah
konstitusional mengajukan judicial
review ke MK (SM, 08/02/13)
Risiko Kongkalikong
Persoalan kontradiktif itu diawali dari pergeseran mendasar terhadap
prinsip demokrasi. Regulasi lama meletakkan prinsip demokrasi pada aspek
pengelolaan (Pasal 5 Ayat 1 Butir b), dan regulasi baru telah menggeser
prinsip demokrasi ke ranah pengawasan (Pasal 6 Ayat 1 Butir b). Tak bisa
dimungkiri, peran pengawas makin dominan dalam pengelolaan.
Pengawas berperan sejak pengusulan calon pengurus melalui RAT (Pasal 50
Ayat (1), beserta penetapan gaji dan tunjangan pengurus (Pasal 57 Ayat 2 ).
Pengawas juga memiliki kewenangan menetapkan penerimaan dan penolakan
anggota baru, mendapatkan laporan berkala tentang perkembangan usaha dan
kinerja koperasi dari pengurus, serta dapat memberhentikan pengurus untuk
sementara waktu (Pasal 50 Ayat 2 ).
Kewenangan yang menumpuk di tangan pengawas dikhawatirkan mereduksi peran
RAT yang merupakan forum pemegang kekuasaan tertinggi dalam koperasi (Pasal
32). Situasi demikian juga berisiko memunculkan kongkalikong antara
pengawas dan pengurus, yang berimplikasi pada kondisi pengelolaan usaha
koperasi yang tidak sehat.
Kekaburan prinsip demokrasi juga menimpa kepentingan anggota koperasi.
Sikap yang pada awalnya dengan santun dan terbuka mempersilakan masyarakat
secara sukarela menjadi anggota (Pasal 6, ayat 1, butir a), tiba-tiba
menjerat anggota dengan keharusan membeli sertifikat modal koperasi atau
SMK (lPasal 68 Ayat 1).
Konsep SMK yang mirip saham ini, lazimnya diperjualbelikan sesuai mekanisme
pasar. Tapi keharusan membeli SMK bagi anggota jelas merupakan pemaksaan,
jauh dari prinsip demokratis yang selama ini menjadi jati diri koperasi.
Pada suatu saat kepentingan koperasi juga bisa ''tergadai'' oleh kehadiran
unsur nonanggota dalam kepengurusan. Pasal 55 Ayat 1 memang mengamanatkan
bahwa pengurus dipilih dari anggota atau nonanggota.
Kehadiran pengurus dari unsur nonanggota pada dasarnya bisa diterima,
apalagi bila bertujuan meningkatkan kinerja dan produktivitas. Namun
ketiadaan pembatasan secara jelas mengenai komposisi dan peran
anggota-nonanggota dalam kepengurusan akan mudah menimbulkan kerancuan.
Pada suatu saat bukannya tidak mungkin, sebagian besar, atau bahkan seluruh
pengurus, terdiri atas unsur nonanggota. Realitas ini mengakibatkan
keterpasungan kepentingan anggota sehingga adagium yang selama ini
terpateri bahwa prinsip koperasi: dari, oleh, dan untuk anggota akan
memudar di tengah hiruk-pikuk kekuatan para pemodal.
Materi Usang
Memasuki era pasar global, persaingan yang dihadapi koperasi bukan saja
menyangkut aspek usaha melainkan juga kesiapan SDM pengelola. Undang-Undang
tentang Perkoperasian memelopori perlunya standar kompetensi bagi pengurus
dan pengawas (Pasal 92 Ayat 2) namun semangat menciptakan SDM yang kompeten
kurang didukung instrumen yang sesuai.
Instrumen penunjang tersebut adalah standar kompetensi kerja nasional
Indonesia (SKKNI) bagi pengelola koperasi jasa keuangan yang diterbitkan
melalui Keputusan Menakertrans Nomor 133/Men/III/2007. Setelah 5 tahun,
standar itu mestinya diperbaiki melalui konvensi nasional karena sejumlah
materi penting sudah kedaluwarsa.
Kalau proses ini tak segera dilakukan, SDM koperasi yang memerlukan
pelatihan berbasis kompetensi akan menerima materi usang, yang tak relevan
dengan perkembangan terkini. Tak usah jauh-jauh menyongsong pasar global
tahun 2020, mulai 2015 tenaga kerja asing pada sektor jasa keuangan sudah
bisa masuk ke Indonesia, seiring dengan pemberlakuan Pakta Perdangan Bebas
ASEAN.
Perlu pula mengantisipasi hasil KTT Ke-21 ASEAN di Phnom Penh pada
November 2012; yang melahirkan Pakta Perdagangan Bebas ASEAN dengan 6
negara mitra atau ASEAN Plus 6 (China, Korsel, Jepang, Australia, Selandia
Baru, dan India). Melalui pakta tersebut, pekerja asing dari negara mitra,
terutama India dan China, antusias mengincar sektor jasa di ASEAN, termasuk
di Indonesia.
Padahal ASEAN Plus 6 akan dilaksanakan tahun 2016. Apakah SDM pengelola
koperasi Indonesia telah siap atau hanya akan menjadi penonton di negeri
sendiri? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar