KPK di Lisan
Anas
Reza Indragiri Amriel ; Pengajar Psikologi Forensik,
Anggota World Society of Victimology
|
|
JAWA
POS, 25 Februari 2013
SIAPA PUN yang menyaksikan pidato
pernyataan berhenti Anas Urbaningrum dari posisi ketua umum Partai Demokrat
(PD) pada Sabtu (23/3) sangat mungkin bersepakat bahwa Anas adalah
pembicara publik yang mengagumkan. Tanpa naskah, tanpa cue card, tanpa teleprompter, pilihan kata dan urutan kalimat
Anas sangat jitu dan rapi (teksnya dimuat lengkap Jawa Pos kemarin).
Dalam
substansi pidatonya, terdapat dua penilaian yang sebenarnya kontradiktif
terhadap KPK. Awalnya, Anas menggunakan tiga kata sifat untuk menunjukkan
kepercayaannya pada profesionalitas KPK. Yaitu, KPK akan mengusut
keterlibatan kasus Hambalang secara ''adil, objektif, dan transparan''.
Namun, pada bagian berikutnya, Anas mengungkapkan keyakinannya bahwa
perkembangan situasi, yakni dia lantas dijadikan tersangka oleh KPK, adalah
didorong oleh desakan pihak tertentu agar status Anas segera diperjelas
serta setelah pihak yang sama memberikan kesempatan kepada Anas untuk
berfokus pada masalah hukumnya di KPK.
Anas, berdasar penuturannya, sudah menduga meningkatnya status hukum
dirinya di KPK. Itu, bisa dibayangkan, terasa memberatkan. Tapi, momen yang
kiranya membuat Anas paling terpukul justru bukan langkah hukum KPK.
Melainkan, tindakan atau sanksi sosial yang diterima Anas beberapa hari
sebelumnya dari jajaran puncak kelompok sosial yang terdekat dengan
dirinya.
Menurut pakar psikologi Albert Bandura, sebagai alternatif terhadap
sanksi hukum yang kerap tidak efektif, sanksi sosial bisa menjadi ganjaran
yang guncangannya tak terperikan. Bagi Anas selaku aktivis dengan jam
terbang tinggi di keorganisasian, pengucilan ''halus'' oleh kelompok
sosialnya jelas merupakan godam yang menyakitkan.
Sensasi yang tidak menyenangkan tersebut, disayangkan, memengaruhi affect bias pada diri Anas. Affect bias adalah kecenderungan manusia untuk
membuat penilaian berdasar perasaan senang maupun tidak senang terhadap
suatu objek. Anggapan Anas bahwa langkah KPK memiliki mata rantai dengan
pengucilan dirinya oleh kelompoknya merupakan perwujudan affect bias tersebut.
Perasaan gundah yang begitu hebat menghalangi Anas untuk berpikir
secara lebih menyeluruh guna menemukan nalar lebih logis di balik penetapan
dirinya selaku tersangka Hambalang. Anas menarik kesimpulan terlalu
sederhana yang menurut terma psikologinya disebut jalan pintas mental (mental
shortcut).
Berpikir jalan pintas, yang dalam konteks Anas berupa affect bias, merupakan cara
klasik bagi individu mana pun yang harus memahami dunia selekas mungkin
namun dalam situasi yang tak menentu. Surat perintah penyidikan yang bocor,
pemberian status tersangka oleh KPK, dan diperetelinya wibawa Anas selaku
orang nomor satu di organisasinya belum tentu berkaitan secara linear, tapi
karena pada saat yang sama Anas harus membangun pemahaman yang ''utuh dan
akurat'' tentang situasi yang tengah dia hadapi. Pemahaman itu pun harus
menguntungkan dirinya serta didorong oleh faktor perasaan negatif.
Anas pun terperangkap dalam keterbatasan kognitifnya sendiri.
Keterbatasan yang sesungguhnya sangat manusiawi. Wujud nyatanya adalah
penilaian bahwa KPK, di mata Anas, tidak berdaulat dari tekanan kekuasaan.
Apa boleh buat, saat terdesak, seorang politikus terdidik sekaliber Anas
pun akhirnya tetap berlindung di balik ''teori'' konspirasi.
Pemunculan affect
bias dalam penarikan
kesimpulan tentang langkah KPK menjadikan Anas senada seirama dengan para
tersangka dan terpidana korupsi lainnya. Sejajar di sini tak berarti Anas
pasti bersalah dalam kasus Hambalang. Melainkan, Anas yang secara umum
tampak matang pada saat berpidato ternyata tetap mendemonstrasikan ironi
viktimisasi seperti yang lazim diperagakan mereka yang mengenakan jaket
putih KPK.
Memang tidak dengan mengekspos keluarga atau tampil mengenakan busana
religius atau mendadak sakit untuk merebut simpati publik. Ironi viktimisasi
ditampilkan Anas lewat pengambinghitaman pihak lain sebagai kalangan yang
telah membuat dirinya sebagai orang bermasalah. Kalangan yang, menurut
Anas, sejak dulu ingin menggusur dirinya selaku bayi yang tak dikehendaki
dan kini menemukan momentum sempurnanya untuk membuang si jabang bayi.
Ironi itu pun sesungguhnya merupakan tendensi perilaku manusia:
mengklaim diri sendiri sebagai aktor yang menciptakan situasi positif,
namun berkelit dan menuding pihak lain sebagai pembuat masalah tatkala
berhadapan dengan keadaan yang tidak diharapkan. Itu pulalah dalih
kebanyakan orang pada fase-fase awal menjadi incaran hukum.
Anas bisa jadi memang tidak tahu apa dan
bagaimana seluk-beluk Hambalang. Tidak menutup kemungkinan dia memang tidak
bersalah dan hanya menjadi korban fitnah ''Sengkuni''. Atas dasar itulah,
saya menyemangati Anas untuk menepati janji dengan habis-habisan membuka
halaman demi halaman buku kisah di balik skandal Hambalang dan lainnya.
Dengan begitu, ini juga mendukung KPK. Institusi itu mempunyai
catatan fantastis dan membanggakan, yakni sangat telak dalam menyusun
setiap dakwaan, sehingga sulit lolos. Maka, kerja keras itu pula yang
diharapkan dalam memproses Anas secara ''adil, objektif, dan transparan''
hingga ending. ●
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar